Menuju konten utama

Mengintip Kinerja Kepolisian Beranggaran Triliunan Rupiah

Bagaimana sebenarnya kinerja kepolisian, yang setiap tahun menikmati kenaikan anggaran?

Mengintip Kinerja Kepolisian Beranggaran Triliunan Rupiah
Periksa Data Bagaimana Sebenarnya Kinerja Kepolisian?. tirto.id/Quita

tirto.id - Tidak sedikit masyarakat yang memiliki anggapan bahwa kinerja polisi terbilang buruk, khususnya soal pungli dan suap. Tak jarang, masyarakat menjadi sinis dan cenderung tidak percaya pada institusi yang bertugas mengayomi dan melindungi masyarakat itu. Polri sendiri bukan berdiam diri, tetapi juga terus berupaya memperbaiki citranya di depan masyarakat.

Tugas dan fungsi Kepolisian diatur jelas dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagai lembaga negara, Kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya mendapat dukungan anggaran dari pemerintah. Dari tahun ke tahun, anggaran Kepolisian RI (Polri) terus meningkat .

Bila merujuk pada anggaran Polri dalam APBN, setiap tahun memang menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Pada APBN Perubahan (APBN-P) 2015, anggaran kepolisian mencapai Rp57,1 triliun. Angka ini naik menjadi Rp79,27 triliun di APBN-P 2016 dan kembali naik menjadi Rp84,01 triliun di APBN 2017.

Infografik Periksa Data Kinerja Kepolisian

Meski anggaran kepolisian terus meningkat, akan tetapi Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian tetap merasa anggaran kepolisian dalam menangani perkara belum maksimal. Anggaran yang masih minim itu dianggap membuat kinerja kepolisian tidak optimal.

Benarkah kinerja Kepolisian tak maksimal?

Kementerian PANRB merilis laporan akuntabilitas atau kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan oleh kementerian/lembaga setiap tahun. Berdasarkan laporan tersebut, terlihat bahwa nilai akuntabilitas kinerja Kepolisian terus meningkat sejak 2010. Pada 2010, nilainya adalah 47,67 yang masuk dalam kategori C atau kurang.

Kemudian pada 2011 nilainya naik menjadi 50,03 dengan kategori CC atau cukup. Pada 2013 kepolisian mendapat nilai B atau 60,02. Selanjutnya di 2015 nilainya terus naik menjadi 68,04 dengan kategori B.

Kategori nilai B menunjukkan bahwa kepolisian telah memiliki sistem manajemen kinerja yang dapat diandalkan dan telah memiliki keselarasan antara apa yang direncanakan dengan yang dilaksanakan dan dilaporkan.

Selain itu, pimpinan tinggi mulai menunjukkan keterlibatan langsung dalam proses manajemen kinerja. Dengan kata lain, hasil evaluasi dari Kementerian PANRB terhadap kepolisian mengindikasikan bahwa setiap tahun ada peningkatan kualitas kinerja kepolisian.

Namun perlu diingat, akuntabilitas hanya bagian dari rangkaian lain soal reformasi birokrasi yang mencakup beberapa aspek lain seperti kelembagaan, ketatalaksanaan, pelayanan publik, dan pengawasan. Akuntabilitas tak hanya sekadar taat aturan dalam menghabiskan anggaran, tapi efektivitas dan efisiensi dalam anggaran.

Infografik Periksa Data Kinerja Kepolisian

Dalam hal integritas kelembagaan, pada 2016, untuk pertama kalinya unit kerja kepolisian meraih predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dari Kementerian PANRB. Di atas kertas, pemberian ini memang jadi bukti Kepolisian telah melakukan reformasi birokrasi. Pada 2017, sebanyak 12 unit kerja di lingkungan Kepolisian Negara RI ditetapkan sebagai WBK dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).

Kinerja Kepolisian juga bisa dapat dilihat dari laporan Rule of Law Index yang dikeluarkan oleh The World Justice Project (WJP) –organisasi multidisiplin dan independen yang berupaya meningkatkan kualitas negara hukum di seluruh dunia. Laporan ini termasuk komprehensif dan memberikan pandangan secara detail mengenai tingkat kepatuhan negara terhadap hukum yang dipraktikkan.

Indikator yang dikelompokkan menjadi delapan faktor, yaitu pembatasan kekuasaan pemerintah, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, hak-hak fundamental, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, hukum perdata, dan hukum pidana.

Penilaian menggunakan skor berkisar 0 dan 1, di mana 0 adalah skor terendah dan 1 adalah skor tertinggi yang menunjukkan kepatuhan yang paling kuat terhadap rule of law. Dari 8 faktor, untuk meninjau kinerja kepolisian, maka dipilih faktor penegakan peraturan sebagai titik berat. Sebab faktor tersebut paling dekat dan sesuai dengan fungsi kepolisian yang tercantum dalam peraturan perundangan, yaitu bertugas untuk menegakkan peraturan.

Secara umum, skor faktor penegakan peraturan pada 2014 adalah 0,52. Angka ini turun pada tahun 2015 dan 2016 dengan skor hanya 0,51. Sementara, dalam laporan 2017/2018, nilai skor naik menjadi 0,53.

Namun, skor yang diperoleh ini hanyalah gambaran umum, sama seperti evaluasi kinerja yang dilakukan oleh Kementerian PANRB. Dari kelima subfaktor, "menghormati proses hukum" adalah subfaktor yang memiliki skor indeks paling rendah. Trennya cenderung menurun dari 2014 hingga 2016, yaitu masing-masing 0,50 dan 0,36 pada 2015.

Infografik Periksa Data Kinerja Kepolisian

Dari laporan WJP memperlihatkan adanya peningkatan di beberapa subfaktor, walaupun nilai-nilai tersebut masih tergolong dinamis dan belum mendekati skor angka 1. Dari semua subfaktor yang dilihat, aspek “menghormati proses hukum” adalah subfaktor paling perlu mendapatkan sorotan.

Aspek proses hukum ini tentu berkaitan erat dengan Kepolisian Negara RI. Sebagai aparat legal dalam penegakan hukum, kepolisian tentu tidak hanya berlaku sebagai “penjaga hukum” belaka.

Proses hukum yang berkadar baik di masyarakat tentu mengisyaratkan kemampuan kesadaran hukum ataupun soal kedisiplinan. Kepolisian Negara RI tentu perlu memberikan contoh terbaik, bahkan sebelum mereka sebagai institusi mampu meningkatkan kinerjanya.

Sebuah laporan Jacqui Baker yang berjudul The Parman Economy: Post-Authoritarian Shifts in the Off-Budget Economy of Indonesia's Security Institutions (Indonesia, No 96, Oktober 2013) menyebut bahwa (dengan rujukan laporan riset LPEM FE UI sekitar tahun 2002/2003) sebanyak 25 persen anggaran kepolisian mengalir ke Markas Besar Polri, sisanya 7 persen yang disalurkan ke aparat wilayah.

Anggaran memang dipergunakan untuk belanja pegawai, administrasi dan infrastruktur. Namun, Baker juga menyebut, pada 2002, ada sekitar 65 persen pejabat Polres dan 85 persen pejabat Polsek tidak pernah melihat alokasi anggaran, dan tahu berapa banyak anggaran.

Namun, adanya indikator perbaikan yang didapatkan kepolisian di atas perlu diapresiasi oleh masyarakat. Tugas Polri kini memastikannya agar tak terbuai dengan capaian tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Scholastica Gerintya

tirto.id - Hukum
Reporter: Scholastica Gerintya
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra