Menuju konten utama

Politik Akomodasi Kabinet Jokowi: ke Mana Visi-Misi Kampanye 2019?

Jokowi menerapkan politik akomodasi, berusaha membentuk pemerintahan dengan meminimalisasi oposisi.

Politik Akomodasi Kabinet Jokowi: ke Mana Visi-Misi Kampanye 2019?
Presiden Joko Widodo (kanan) memberi selamat kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengangkat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Berbekal politik akomodasi, Jokowi punya koalisi gemuk demi membentuk satu pemerintahan tanpa oposisi.

Jokowi mengangkat 34 menteri dan 12 wakil menteri dalam kabinet Indonesia Maju. Berbeda dari susunan awal Kabinet Kerja, kali ini Jokowi mengakomodasi berbagai pihak, bahkan dari oposisi, yakni Partai Gerindra.

Susunan awal Kabinet Kerja hanya melibatkan satu orang dari oposisi, yakni Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama dari Partai Persatuan Pembangunan. Pada Pilpres 2014, PPP masih mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Lukman dipilih bukan hanya karena posisinya sebagai kader partai, tetapi juga berdasarkan latar belakang sebagai anggota Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di Indonesia.

Jokowi juga memberikan jatah kabinet kepada relawan, yakni sebagai wakil menteri. Ketua relawan Pro Jokowi (Projo) Budi Arie diangkat menjadi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) pada 25 Oktober 2019.

Awalnya, oposisi, seperti Partai Gerindra misalnya, rajin mengkritik pemerintahan Jokowi. Setelah Jokowi terpilih sebagai presiden 2019-2024, Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono menyerukan agar masyarakat memboikot pemerintahan Jokowi. Namun tiba-tiba dia bungkam setelah partainya mendapat dua jatah menteri.

Kritik lantas datang dari organ relawan Jokowi bernama Projo. Mereka tak terima jika oposisi mendapat bangku di kabinet. Padahal, selama ini, menurut Projo, relawan yang berjuang keras memenangkan Jokowi. Mereka pun mewacanakan akan membubarkan diri.

Namun, setelah mendapat kursi Wakil Menteri PDTT, Projo bungkam dan batal membubarkan diri.

Dampaknya, kubu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno saling menahan diri untuk tak mengeluarkan komentar yang berpotensi menyinggung satu sama lain. Meski Prabowo memutuskan untuk menjadi bawahan Jokowi. Tapi, koalisi Jokowi tak protes. Mereka justru menyatakan perubahan sikap dalam politik sebagai hal wajar.

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pun tidak terlihat mempermasalahkan isi kabinet. Dalam satu kesempatan, dia bersama putrinya, Puan Maharani, menyempatkan diri berfoto dengan Prabowo.

Partai Gerindra yang kerap menyerang di media sosial dan mengkritik kebijakan Jokowi juga berubah sikap 180 derajat. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menyebut susunan kabinet Jokowi sekarang hampir sempurna.

“Sembilan puluh sembilan,” kata Arief dalam tayangan Mata Najwa hari Rabu (23/10/2019) ketika ditanya nilai yang ia berikan untuk kabinet baru. “Pak Jokowi di sini melibatkan masyarakat [dalam pemilihan menteri,” lanjut Arief soal alasan penilaiannya.

Berbeda Pandangan soal Pertahanan

Dengan banyaknya pihak yang diakomodasi, Jokowi mengaku tetap ada kelompok yang tidak bisa dirangkul untuk duduk dalam kabinetnya lima tahun ke depan. Dia menuturkan, terlalu banyak kepentingan yang harus dipertemukan, sementara tempat sangat terbatas.

“Itulah meritokrasi, ada yang terpilih, ada yang tidak terpilih karena memang melalui sistem seleksi," kata Jokowi di Jakarta, Sabtu (26/10/2019). "Jadi saya mohon maaf tidak bisa mengakomodir semuanya karena ruangnya hanya 34.”

Jokowi memilih mengakomodasi bekas rivalnya, Prabowo. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini beralasan Prabowo punya pengalaman di bidang militer. Kendati demikian, Jokowi juga memberi catatan: visi-misi Jokowi-Ma’ruf sudah final, tak boleh ada visi-misi menteri.

"Yang pertama, ini perlu saya ulang bahwa tidak ada visi misi menteri," tutur Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). "Yang ada adalah visi misi presiden-wakil presiden. Jadi tolong dicatat.”

Kekhawatiran Jokowi terbilang wajar, terlebih melihat ada mantan oposisi di dalam kabinetnya. Jika bercermin pada debat keempat Pilpres 2019, Prabowo memang punya visi-misi berbeda dengan Jokowi dalam bidang pertahanan.

Visi-misi Jokowi-Ma’ruf menitikberatkan pertahanan-keamanan dengan melanjutkan transformasi sistem pertahanan yang modern dan TNI yang profesional serta meneruskan reformasi keamanan dan intelijen yang profesional dan terpercaya. Jokowi juga menyebut pentingnya pasukan keamanan yang terintegrasi. Oleh sebab itu, ia menyatakan sudah mendistribusikan personel TNI ke wilayah-wilayah yang sulit dijangkau seperti di Biak dan Gowa.

Tidak hanya itu, Jokowi juga menyatakan sudah melakukan gelar pasukan di penjuru empat arah mata angin Indonesia. Dengan integrasi pasukan dari ujung ke ujung, Jokowi yakin Indonesia aman.

“Radar maritim kita, radar udara kita, ini sudah menguasai seluruh wilayah kita, 100 persen,” tegas Jokowi hari Sabtu (30/3/2019). “Anggaran di Kementerian Pertahanan kita sekarang sudah Rp 107 triliun. Nomor dua setelah Kementerian PU.”

Apa yang disampaikan Jokowi adalah jawaban atas fokus Prabowo dalam masalah pertahanan di Indonesia. Bagi Prabowo, pertahanan Indonesia lemah karena minimnya anggaran. Ia menuding Jokowi mendapatkan informasi yang tidak akurat. Menurut Prabowo, budaya "Asal Bapak Senang" (ABS) membuat Jokowi tak sadar pertahanan Indonesia lemah.

Acuannya adalah anggaran belanja militer Singapura yang besarnya 17,2 persen dari APBN mereka, sedangkan Indonesia hanya 4,8 persen. Prabowo menggunakan data dari 2017. Dengan persentase itu, menurut Prabowo, anggapan bahwa pertahanan Indonesia kuat tidak berdasar.

Jokowi kemudian membalas : “Saya melihat Pak Prabowo ini tak percaya dengan TNI kita.”

Pernyataan ini kemudian membuat Prabowo tersenyum sinis. Begitu ada kesempatan, Prabowo naik pitam: “Bukan saya tidak percaya, pak. Saya ini TNI, pak. Saya pertaruhkan nyawa di TNI. Saya lebih TNI dari TNI.”

Dalam visi-misi yang diserahkan ke KPU, Prabowo-Sandiaga menyatakan ingin fokus pada keutuhan nasional dengan membangun sistem pertahanan dan keamanan secara mandiri yang mampu menjaga keutuhan dan integritas wilayah Indonesia.

Kementerian Pertahanan adalah salah satu lembaga yang punya anggaran paling besar dan pengelolaan anggaran yang belum rampung. Meski menerima predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pengelolaan anggaran cenderung tertutup. Bukan hanya lembaga, tapi juga para pejabat di dalamnya.

Apakah keduanya sudah punya satu visi-misi? Prabowo mengaku dia akan mengikuti arahan Jokowi “untuk ikut membantu memperkuat TNI supaya kita bisa semuanya menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.”

Namun terkait pelarangan punya visi-misi sendiri, Prabowo bisa jadi tak sepakat. Dalam kesempatan yang sama, dia juga berujar “akan sekuat tenaga melanjutkan apa yang sudah dirintis untuk mencari terobosan baru”.

Politik Akomodasi Redam Kritik

Politik akomodasi ala Jokowi bukan hal baru. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan membentuk Sekretaris Gabungan (Sekgab) partai koalisi. SBY berharap Sekgab ini bisa memudahkan koordinasi antara partai koalisi seperti Demokrat, PAN, Golkar, PKB, PPP, dan PKS. Bedanya, SBY tidak mengakomodasi oposisi seperti PDI-P. Dampaknya, kebijakan SBY menaikan BBM selalu mendapat perlawanan dari PDI-P.

Politik akomodasi dilakukan untuk merangkul kaum minoritas. Arend d'Angremond Lijphart, ilmuwan politik asal Belanda, memperkenalkan teori akomodasi yang prinsipnya adalah pembagian jatah kekuasaan melalui buku Thinking about Democracy: Power Sharing and Majority Rule in Theory and Practice (2008). bagi Lijphart, demokrasi konsosiasional (consociational democracy) memungkinkan negara bisa tetap stabil dengan “koalisi raksasa”.

Dengan sistem politik seperti ini, Belanda bisa membentuk pemerintahan yang merangkul semua pihak. Di Belanda, mayoritas pihak yang bertikai adalah kelompok agama; kaum Kalvinis, Katolik Roma, kaum sosialis, dan kaum sekuler. Konsep Lijphart ini, menurut Britannica berjalan dari 1917-1967.

Pilihan ini didasarkan pada manajemen kehidupan bersama di Belanda yang disebut "pilarisasi" (verzuiling). Dalam pilarisasi, masyarakat terbagi-bagi berdasarkan agama atau aliran politik. Tiap agama atau aliran politik ini melahirkan pranata sosialnya sendiri-sendiri. Orang Kristen akan membaca koran Kristen, orang Katolik akan dididik di sekolah Katolik, dan seterusnya.

Lijphart memandang perlu ada beberapa unsur penting agar konsosiasional bisa tercapai. Antara lain, harus ada “kartel elite” yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan kaumnya, termasuk turunannya. Elite politik juga harus punya kesadaran bahwa kisruh politik tidak bisa diselesaikan tanpa kompromi.

Para elite politik menyadari bahwa ketika semua kelompok ini saling bertikai, maka tidak akan ada yang untung. Akhirnya semua sepakat untuk bekerja sama.

“Demokrasi konsosiasional berarti pemerintahan dirancang oleh kartel elite mengubah demokrasi dengan budaya politik yang terpecah-belah menuju demokrasi yang stabil,” tulis Lijphart (2008, hlm. 31).

Profesor Universitas Leiden, Rudy B. Andeweg dan Galen A. Irwin dalam Dutch Governments and Politics (1993) mencatat ada beberapa sebab konsosionalisme terhenti di Belanda. Di antara penyebabnya adalah hilangnya kepercayaan pada Gereja Katolik dan tiga golongan lainnya. Pada 1970, 243 pastor meninggalkan gereja dan hanya 48 pastor baru yang dilantik. Akibatnya, banyak kelompok kecil di bawahnya yang membentuk grup sendiri, bahkan partai politik.

"Pada akhirnya, pilarisasi tak lagi didorong oleh para elite," catat Andeweg dan Irwin.

Infografik Prabowo dan Akomodasi Jokowi

Infografik Prabowo dan Akomodasi Jokowi. tirto.id/Sabit

Dalam konteks Jokowi, konsosiasionalisme digunakan untuk meredam konflik yang terjadi setelah Pilpres 2019. Setelah kemenangan Jokowi-Ma'ruf, kubu Prabowo-Sandiaga yang menyatakan telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Dampak tudingan itu adalah demonstrasi berujung kerusuhan selama 21-22 Mei 2019 merespon hasil pemilu di Badan Pengawas Pemilu. Kejadian itu menewaskan setidaknya 10 orang.

Belum selesai kerusuhan tersebut diinvestigasi, demonstrasi besar-besaran kembali merebak di sejumlah kota dengan tajuk #ReformasiDikorupsi. Masyarakat sipil menuntut agar RKUHP dan revisi UU KPK tak disahkan.

Meski sebagian besar hanya menolak UU KPK dan RKUHP, tapi media sosial seperti twitter ramai dengan tagar #TurunkanJokowi. Dalam salah satu aksi di Makassar 23 September 2019, salah satu poin tuntutan pun adalah Jokowi harus lengser. Pada kondisi politik yang tidak stabil, konsosasionalisme menjadi penting. Dalam teorinya, jika elite sudah berkompromi, maka golongan di bawahnya akan mengikuti.

Jika konsosionalisme Lijphart berpijak pada kelompok-kelompok yang berbeda latar belakang, seperti suku, ras, agama, dan antar-golongan, pemerintahan hari ini sebenarnya tidak berusaha mengakomodasi itu alih-alih sekadar meredam konflik dengan merangkul oposisi politik, Partai Gerindra. Di sisi lain, segala perbedaan kultural itu memang tidak melulu diterjemahkan sebagai kemunculan partai-partai baru di luar yang kini dominan.

Hanya saja, politik elite memang cenderung lebih adem belakangan ini. Dengan bergabungnya Gerindra, sebagian protes elit politik pada Jokowi telah sirna. Amien Rais yang terkenal vokal mengkritik Jokowi kini juga mulai nampak menahan diri.

"Kabinet ini menurut saya jangan dikritik dulu. Jadi berikanlah [waktu] ya tiga bulan sampai satu semester. Jangan belum apa-apa dikatakan ini kabinet yang tidak profesional, kabinet carut marut, kabinet yang membuat banyak problem," kata Amien di Masjid Jami Kota Yogyakarta, Minggu (27/10/2019) malam.

Ormas Front Pembela Islam (FPI) dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang dulu ramai mengkritik Jokowi juga tak banyak berkomentar ketika Prabowo ditunjuk sebagai menteri. Padahal, sebelumnya mereka mati-matian berusaha agar Jokowi tak lagi jadi presiden.

"Silakan Prabowo ambil kebijakan dan langkah politik dengan partainya. Bukan kapasitas kami lagi mencampuri urusan partai apapun. Termasuk partai pendukung Prabowo," ucap Ketua Presidium PA 212 sekaligus Juru Bicara FPI Slamet Ma'arif kepada Tirto hari Jumat (25/10/2019).

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf