tirto.id - Salah satu organisasi relawan yang militan mendukung Joko Widodo sejak Pilpres 2014 adalah Projo, selain Seknas Jokowi dan Bara JP. Mereka juga salah satu yang paling rapi, terbukti karena sampai saat ini masih berdiri. Mereka bahkan terdaftar resmi sebagai organisasi kemasyarakatan.
Seperti banyak pendukung lain, Projo menjatuhkan pilihan kepada Jokowi karena mereka menganggap sosok ini adalah demokrat dan membawa semangat reformasi. Tak heran jika mereka bersikap keras terhadap Prabowo Subianto, yang saat masih jadi tentara dulu diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Satu tahun setelah terpilih, seorang elite Projo percaya diri mengatakan "kalau tidak ada relawan dan partisipasi publik, Jokowi pasti kalah melawan koalisinya Prabowo."
Sedemikian tegas mereka terhadap Prabowo sampai-sampai memutuskan membubarkan diri setelah yang bersangkutan diangkat sebagai Menteri Pertahanan oleh Jokowi.
"Ada kekecewaan soal Prabowo jadi Menhan, mengingat Prabowo rival yang cukup keras waktu itu. Kami bertarung cukup keras. Akan tetapi, sekarang menjadi Menhan," kata Sekjen Projo Handoko di kantor mereka di Pancoran, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Prabowo diumumkan jadi Menhan beberapa jam sebelum Projo menggelar konferensi pers.
Tapi, seperti sebuah parodi, mereka pamit hanya untuk kembali. Ini terjadi setelah sang Ketua Umum, Budi Arie Setiadi, diberi jatah Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT). Dia akan membantu kerja-kerja menteri baru, Abdul Halim Iskandar, seorang politikus dari PKB.
"Kami mau pamit tapi ditugaskan lagi, gimana?" kata Budi pada hari pelantikan di Istana Negara, Jumat (26/10/2019).
Dia juga mengatakan "sudah ada cinta sedikit" ke Prabowo.
Orang yang sama pada 2014 lalu tegas mengatakan "presiden selanjutnya harus bukan pelanggar HAM masa lalu." Orang yang sama pula yang tahun lalu mengatakan "jangan novel fiksi Ghost Fleet dijadikan referensi untuk pidato politik," sebagai kritik terhadap pernyataan Prabowo yang bilang kalau Indonesia akan bubar.
Ketua Bidang Organisasi DPP Projo, Freddy Alex Damanik, mengklarifikasi kalau mereka sebenarnya tidak pernah mau bubar.
"Hari Rabu itu kami dipaksa [oleh anggota] konferensi pers. Kami harus bicara tapi tidak pernah sebut bubar. Kami menarik diri dari kehidupan politik," kata Freddy, Sabtu.
Inkonsisten
Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, menegaskan tidak ada istilah lain untuk menggambarkan sikap Projo selain "inkonsisten". Mereka hanya bisa disebut konsisten jika "tetap berada di luar," katanya, Sabtu. Baginya Projo akan tetap bubar jika seandainya tak meraih kursi Wamen.
Hal ini juga membuktikan kalau Projo tidak punya posisi politik yang jelas, sebagaimana partai-partai yang saat ini berada di parlemen--apa yang menguntungkan, itulah yang diambil.
Pengajar ilmu politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai Projo memang seharusnya bubar setelah dengan cepat berubah sikap ke Prabowo, juga memaklumi politik akomodatif ala Jokowi setelah dapat jatah wamen.
Sikap ini membuat kredibilitas mereka sebagai kelompok relawan terjun bebas.
"Bagaimana bisa disebut relawan kalau kemudian meminta jabatan. Perilaku yang mirip partai ini tentu menyinggung partai-partai politik pendukung Jokowi-Ma'ruf," katanya kepada reporter Tirto.
Ubedilah lantas menyarankan agar Projo berubah saja jadi partai, karena memang perilakunya sudah seperti partai yang bicara besar saat tak diberi jatah, dan diam setelah diakomodasi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino