tirto.id - “Rekan-rekan relawan ini memiliki semangat, memiliki militansi yang tinggi. Mereka ingin berbuat yang baik untuk negara. Intinya itu. Dan saya meyakini relawan Projo ini bukan relawan kardus,” ujar Jokowi di sela menghadiri Rakornas IV Projo yang digelar di Grand Sahid Hotel, Jakarta (16/9/2018).
Projo atau Pro Jokowi adalah organisasi kemasyarakatan yang didirikan pada 23 Desember 2013 melalui Kongres I Projo. Mereka hadir di sejumlah provinsi, dan struktur organisasinya mencakup kota/kabupaten, kecamatan, hingga desa/kelurahan.
Relawan pemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 bukan hanya Projo, ada juga Pena 98 yang bergerak salah satunya lewat underbow mereka yang bernama Pospera (Posko Perjuangan Rakyat). Dalam catatan Tirto, setelah Jokowi berhasil memenangkan Pilpres 2014, sejumlah relawan ini diangkat menjadi komisaris di beberapa BUMN termasuk dari Projo.
Dalam perjalanannya Projo sempat mengalami konflik internal, di antaranya kisruh penggantian Sekjen Projo dan penerbitan sertifikat oleh Kementerian Hukum dan HAM yang salah satu isinya mengatur soal penggunaan nama dan atribut Projo. Sejak itu, penggunaan nama dan atribut Projo harus seizin deklarator organisasi tersebut.
Karena konflik itu, jelang Pilpres 2019, sejumlah relawan Projo mengalihkan dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Sementara relawan yang lain tetap mendukung Jokowi yang kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin.
Pada Pilpres 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla hanya didukung lima partai politik, yakni PDIP, PKB, Hanura, Nasdem, dan PKP. Sementara pada Pilpres 2019 yang akan digelar 17 April mendatang, Jokowi dan Ma’ruf Amin didukung sembilan partai politik, yaitu PDIP, PKB, Golkar, PPP, Hanura, Nasdem, PKP, Perindo, dan PSI.
Peta dukungan partai politik yang berubah, yakni merapatnya sejumlah partai politik ke Jokowi yang lima tahun sebelumnya mengusung kandidat lain, juga munculnya partai baru yang langsung mendukung Jokowi, membuat koalisi ini semakin gemuk dan kaya sumber daya manusia.
Bagi sebagian kalangan, kondisi ini membuat mereka meragukan peran relawan pendukung Jokowi, termasuk Projo, dalam usaha memenangkan kembali presiden petahana tersebut. Mereka menilai mesin politik parpol pendukung akan siap mengulang kemenangan Jokowi seperti lima tahun sebelumnya.
Relawan Masih Relevan
Sementara menurut sebagian lain peran relawan tetap penting, bahkan pada Pilpres 2019 perannya lebih penting daripada Pilpres 2014. Ini karena Pilpres 2019 berbarengan dengan Pileg yang akan memecah fokus partai politik.
“Pemilu 2019 adalah pemilu pertama yang menggabungkan antara Pilpres dan Pileg. Jadi dalam Pilpres, saya kira partai tidak akan terlalu banyak berperan, karena mereka akan lebih fokus kepada bagaimana meraih suara terbanyak untuk caleg-calegnya. Sehingga kedua pasangan akan lebih mengandalkan kerja-kerja relawan,” tutur Hasanuddin Ali, Direktur Alvara Research Center kepada Tirto, Senin (17/9/2018).
Pernyataan Hasanuddin memang beralasan. Pemilu legislatif yang memakai sistem proporsional terbuka akan benar-benar menyibukkan para calon anggota dewan untuk memenangkan dirinya masing-masing. Apalagi sistem seperti ini akan menguras logistik karena mereka bukan hanya bersaing dengan calon anggota dewan berbeda partai, tapi juga sesama partai.
Selain itu, berlakunya angka 4 persen untuk parliamentary threshold atau ambang batas parlemen juga akan membuat partai politik bekerja keras agar mereka tidak tersingkir dari parlemen.
Dalam konteks Pilpres, dua sumber daya yang terkuras di partai politik pendukung masing-masing kandidat, yakni manusia dan logistik, tentu akan mengurangi performa kerja mesin politik. Di titik inilah, dari segi sumber daya manusia, para relawan non-partai menjadi penting.
Hasanuddin Ali menambahkan, fungsi relawan dalam Pilpres berbeda dengan media sosial dan iklan. Menurutnya, para relawan lebih banyak bertempur dalam perang darat. Mereka bergerak dari rumah ke rumah untuk mengkonversi popularitas dan citra kandidat hingga menjadi suara di TPS.
Pendapat Hasanuddin diamini oleh Usep Saiful Ahyar, Direktur Public Opinion & Policy Research (Populi) Center. Menurutnya, dalam kontestasi Pilpres, relawan seperti Projo dan relawan lainnya justru kelompok yang paling efektif untuk menghidupkan mesin pemenangan kandidat yang bertarung.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa partai politik biasanya perannya hanya internal, sosialisasi ke dalam, sementara arena kontestasi yang mesti digarap jauh lebih luas.
“Saya kira relawan ini yang sangat berperan, hunting dan menarik simpati calon pemilih,” ujarnya.
Dalam menembus lapisan masyarakat yang tak terjangkau partai politik dan media populer, alih-alih menggunakan perumpamaan bazoka yang daya tembaknya jauh serta hulu ledaknya besar, ia justru mengibaratkan para relawan sebagai juru tembak yang memakai pistol: mereka datang dari pintu ke pintu untuk mengenalkan kandidat yang diusungnya.
Selain itu, para relawan juga ia anggap lebih luwes dan efektif dalam mengeksekusi setiap program kandidat. Berbeda dengan partai politik yang menurutnya lebih ribet dan birokratis.
“[Mereka] melakukan pertemuan dengan kelompok-kelompok kecil, blusukan, menjelajah dengan cepat, memutuskan dengan cepat, kerjanya juga bisa lebih bagus karena tidak formal,” imbuhnya.
Hal ini sejalan dengan kesimpulan Bambang Arianto dalam “Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014” yang dimuat di Jurnal Sosial Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Vol. 18, No. 2, November 2014). Menurutnya, meski para relawan kerap bergerak sendiri di luar koordinasi dan tak terstruktur, mereka sangat efektif untuk mengenalkan calon presidennya kepada masyarakat.
Dalam konteks keterlibatan warga di alam demokrasi, tambah Arianto, kehadiran para relawan seperti Projo berhasil meningkatkan partisipasi warga serta melahirkan tradisi kesukarelawanan dalam politik.
“Mentransformasi nilai-nilai politis yang bernuansa patrimonial dan oligarkis menjadi voluntarisme dan partisipatoris,” tulisnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan