tirto.id - Ombudsman RI menilai kepolisian telah melanggar prosedur penanganan aksi unjuk rasa penolakan revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Ombudsman berpendapat, aparat kepolisian melanggar aturan penanganan unjuk rasa antara lain menangkap massa dengan kekerasan, penganiayaan dengan pengeroyokan, serta mengintimidasi peserta aksi dan juga rekan-rekan jurnalis.
Anggota Ombudsman RI, Johannes Widijantoro, mengatakan, arogansi kepolisian dalam menangani massa unjuk rasa revisi UU Pilkada yang digelar, Kamis (22/8/2024) telah melanggar SOP pengendalian massa yang diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Tindakan Kepolisian tersebut telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan SOP Pengendalian Massa," ucap dia dalam keterangan tertulis, Jumat (23/8/2024).
Johanes mendesak kepolisian untuk membebaskan demonstran dan bersikap persuasif dalam setiap penanganan aksi demonstrasi.
Dia menambahkan, aturan pengamanan demo telah diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum serta Pasal 28 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, Dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum. Alhasil, polisi hanya boleh melakukan tindakan upaya paksa demi mencegah terjadinya hal-hal yang kontra produktif.
“Hal ini seharusnya menjadi pedoman bagi setiap anggota kepolisian yang bertugas di lapangan dalam penanganan aksi demonstrasi,” ungkap dia.
Ombudsman RI mendesak Polri mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis dalam melakukan pengawalan serta pengamanan unjuk rasa. Polri juga harus menghindari tindakan represif dalam mengamankan unjuk rasa.
“Bilamana pendekatan persuasif tidak dapat dijalankan dan situasi tidak terkendali (chaos), agar menerapkan cara bertindak dan penggunaan alat kekuatan sesuai dengan prinsip proporsional, dengan memaksimalkan fungsi intelijen dalam hal mengukur potensi kualifikasi dan kuantifikasi gangguan termasuk deteksi dini serta ancaman gangguan kamtibmas, serta melakukan evaluasi dan pengawasan berkala dari komandan satuan," kata Johanes.
Johanes mendesak, Polri memeriksa massa yang ditangkap secara obyektif dan transparan dengan menyampaikan informasi mengenai siapa saja yang ditangkap. Penanganan terhadap petugas yang diduga melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugaspun harus dilakukan.
“Peserta demonstrasi yang saat ini sedang ditahan, baik di polda maupun di polres harus tetap dipenuhi hak-haknya, khususnya untuk memperoleh pendampingan dari penasihat hukum dan diupayakan untuk dapat segera dibebaskan,” ujar dia.
Sejumlah massa unjuk rasa dikabarkan mengalami aksi intimidasi dan kekerasan saat polisi membubarkan aksi demo penolakan revisi UU Pilkada di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024) lalu. Selain kekerasan, beberapa orang dikabarkan ditangkap oleh kepolisian.
Politikus PDIP, Adian Napitupulu, menerima laporan sekitar 26 orang yang terdiri atas mahasiswa dan petugas lembaga bantuan hukum ditangkap kepolisian. Beberapa ada yang dibawa ke Polda Metro Jaya, tetapi ada juga yang dibawa ke polres.
“Itu total yang gue temui di sini ada sebelas, di sana (gerbang DPR sebelah kiri) juga ada empat belas. Ada 26 orang. Tapi yang dalam sini sudah gue catat nama-namanya,” kata Adian sebagaimana dikutip Antara.
Akan tetapi, Polda Metro Jaya mengklaim mereka tidak mengamankan peserta unjuk rasa RUU Pilkada.
"Tidak ada yang diamankan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, kepada wartawan di Komplek DPR, Kamis (22/8/2024) malam.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Andrian Pratama Taher