tirto.id - Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyarankan kepolisian untuk mengutamakan pelaporan RS terhadap SU soal dugaan pemerkosaan tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Pengaduan RS dibuat 9 Oktober 2019, atas dugaan pencabulan, namun dalam prosesnya, penyelidikan perkara itu dihentikan penyidik karena dianggap tidak terdapat cukup bukti.
Project Multatuli membuat laporan terkait apa yang dialami RS, dengan judul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’. Namun, 10 hari usai tulisan tersebut terbit, SU justru mengadukan RS ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan pada 16 Oktober 2021 atas dugaan pencemaran nama baik.
RS -dalam artikel tersebut ditulis ‘Lydia’, nama samaran-, merupakan bekas istri SU sekaligus ibu dari tiga anak yang diduga diperkosa oleh SU, kini ia menjadi terlapor perkara.
“Pengaduan dugaan pencemaran nama baik tidak diprioritaskan [oleh polisi], yang harus diprioritaskan adalah kasus kekerasan seksualnya terlebih dahulu,” kata Siti dalam konferensi pers daring, Senin (18/10/2021).
Pelaporan balik SU terhadap RS, kata Siti adalah upaya membungkam korban. Aminah pun setuju bahwa narasumber harus dilindungi.
“Kami menjadikan kasus ini sebagai catatan betapa sulitnya [pengusutan] kasus kekerasan seksual. Kami meminta kepolisian-kepolisian menggunakan hak jawab dan hak korektif terhadap setiap bentuk jurnalistik,” jelas Aminah.
Berdasar data Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2021, pencabulan menempati urutan pertama yaitu 412 kasus.
Tindak pidana pencabulan yang didefinisikan “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya.”
Dengan demikian, pengertian pencabulan sendiri lebih merupakan serangan seksual yang bersifat fisik, namun tidak sampai terjadi penetrasi. Namun juga tindak pidana pencabulan dalam pemberlakuannya digunakan sebagai pasal subsidaritas tindak pidana pemerkosaan sulit dibuktikan.
Tahun 2019, RS pernah mengadukan langsung dugaan pencabulan yang dialami oleh tiga anaknya kepada Komnas Perempuan. RS mengadukan: ARP (perempuan, usia 7 tahun), RR (laki-laki, usia 5 tahun), AAR (perempuan, usia 3 tahun), korban pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh ayah kandung. Dugaan ini diketahui setelah RS mendengar keluhan anak-anaknya yang kesakitan di bagian vagina dan dubur.
Puskesmas mendiagnosis bahwa ARP dan AAR mengalami abdominal and pelvic pain (R10) atau kerusakan pada organ vagina akibat dari pemaksaan persenggamaan, dan RR mengalami internal thrombosed hemorrhoids atau kerusakan pada bagian anus akibat pemaksaan persenggamaan. Namun polisi menghentikan penyelidikan kasus ini.
SU mengadukan RS karena perempuan itu diduga mencemarkan nama baiknya melalui internet dan transaksi elektronik. SU mendapatkan tautan itu dari pesan singkat di WhatsApp dari rekannya yang bernama Firawati.
"Kemudian saya membaca berita tersebut, yang isi beritanya adalah menuduh saya selaku mantan suami RS selaku terduga pelaku pemerkosaan terhadap ketiga anak saya," begitu bunyi alasan pelaporan dalam surat tersebut.
Di kalimat akhir surat, SU berharap kepolisian menindaklanjuti pengaduannya. Agus Melas, kuasa hukum SU, mengatakan RS pernah melaporkan suaminya dengan dugaan pencabulan tapi polisi menghentikan kasus itu karena tidak cukup dua alat bukti. Karena pertimbangan namanya tercoreng, SU melaporkan balik RS.
“Tiba-tiba saja viral. Viralnya diawali dengan narasi dari Project Multatuli. Kalau kami membaca narasi itu seolah menjadi pemantik warganet untuk menanggapi,” ujar Agus ketika dihubungi Tirto, Senin (18/10).
Banyak warganet yang menanggapi dengan tuduhan kepada kliennya.
“Seolah-olah itu menjadi proses pengadilan klein kami, yang sebenarnya belum sampai ke situ (proses hukumnya)," jelasnya.
Ketika ditanya apakah tim kuasa hukum akan melaporkan Project Multatuli secara pidana, Agus menyatakan “itu menjadi kewenangan aparat penegak hukum.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto