tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan berencana mengelompokkan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif di dalam kategori yang sama dinilai akan menimbulkan polemik. Hal ini akan semakin menuai kontra, di saat sebelumnya RUU ini juga banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak.
Dewan Pakar Syarikat Islam, Firdaus mengatakan, kontroversi olahan tembakau sebagai zat berbahaya sama dengan narkotika dalam RUU Kesehatan mengesankan negara seolah ditekan kemauan asing.
Firdaus menilai Indonesia saat ini memiliki regulasi sendiri mengenai pertanian tembakau serta produk hasil olahannya. Diketahui, kebijakan regulasi produk olahan hasil tembakau telah ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Ditambah lagi, pemerintah Indonesia sudah sangat bijaksana dan secara konsisten tidak menyetujui untuk tergabung sebagai negara anggota Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Namun, dia menilai dorongan untuk terus menekan industri tembakau dalam negeri melalui revisi aturan-aturan dan yang terbaru kontroversi klausul tembakau serta olahannya sama dengan narkotika dalam RUU Kesehatan ini seolah menunjukkan ada upaya untuk memasukkan unsur-unsur FCTC ke dalam aturan nasional.
“Jadi tiba-tiba muncul keheranan ada apa. Kok telah ada peraturan pengelolaan tembakau namun muncul RUU yang isinya justru berbeda. Siapa yang punya kepentingan? Apa ada faktor tekanan dari negara lain karena tidak punya pertanian tembakau?” kata Firdaus dalam pernyataannya, Jumat (14/4/2023).
Firdaus menyebut asumsi tersebut wajar muncul, pasalnya pertanian tembakau dan produk olahannya bukanlah jenis baru dikonsumsi sehari-hari di Indonesia. Apalagi tembakau dan olahannya telah banyak memberikan andil ekonomi namun tiba-tiba kini disetarakan zat ilegal berbahaya.
“Sekarang tembakau dan olahannya dianggap sama bahayanya dengan narkoba, jadi membingungkan. Bisa saja perkiraannya ada negara lain terganggu karena tidak punya pertanian tembakau yang unggul,” cetus Firdaus.
Firdaus menuturkan dampak lainnya akan membuat petani tembakau dan pekerja olahannya kehilangan penghasilan yang menciptakan peningkatan angka kemiskinan.
“Jelas dong bila akhirnya tembakau dan olahannya dianggap sama seperti narkoba, tidak ada yang mau lagi bertani tembakau dan mengolahnya sebab berisiko hukum. Lantas petani tembakau kehilangan pekerjaan,” ungkap Firdaus.
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi menyatakan tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol karena dampak bahaya merokok.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 154 Draf Rancangan Undang-Undang (RUU Kesehatan) Kesehatan. Hal itu disampaikan Nadia menangapi penolakan dari para petani tembakau dan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Ketentuan tembakau sebagai zat adiktif dalam Omnibus Law RUU Kesehatan dinilai diskriminatif terhadap nasib mereka.
“Ini menjadi faktor risiko penyakit lain bukan hanya penyakit jantung atau kardiovaskuler tapi juga penyakit kanker atau penyakit kronik lainnya, dan pada akhirnya jadi beban ekonomi baik keluarga dan negara,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada reporter Tirto, Kamis (13/4/2023).
Nadia menuturkan risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan membuat angka harapan hidup rendah.
“Walau bisa panjang umur tapi tidak sehat jadi ujungnya tidak produktif,” kata dia.
Meski begitu, Nadi bilang aturan ini tidak serta-merta membuat pemerintah tidak memedulikan atau angkat tangan terhadap nasib para petani tembakau.
Untuk diketahui, Omnibus Law Kesehatan sedang digodok pembahasannya. Belakangan muncul perdebatan tentang hasil olahan tembakau karena disamakan dengan narkotika dan zat psikotropika ilegal.
Penjabaran mengenai itu masuk dalam RUU Kesehatan pasal 154 ayat (3) bahwa zat adiktif dapat berupa: a. narkotika, b. psikotropika, c. minuman beralkohol, d. hasil tembakau, dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
------
Adendum:
Redaksi telah memperjelas konteks dalam pemberitaan ini dengan menambahkan pernyataan dari pihak Kemenkes pada Jumat, 14 April 2023 pukul 15.00.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin