tirto.id - Susi Pudjiastuti membuat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/Permen-KP/2015 tentang “Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia”. Peraturan itu muncul sebagai usaha untuk mendorong penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan.
Selama ini, berbagai jenis alat tangkap ikan, seperti pukat hela dan pukat tarik, tidak ramah lingkungan. Alat-alat ini tak menghasilkan tangkapan secara selektif. Sekali jaring disebar ke dalam laut, hasil tangkapannya beragam. Umumnya, hasil itu tidak berguna atau dibuang kembali sebagai limbah. Akibatnya, praktik-praktik ini mengancam ekosistem.
Peraturan Menteri Kelautan ini bukanlah aturan buat nelayan yang pertama kali ada di Indonesia. Pada 1980, sebuah aturan dikeluarkan untuk mendorong pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Keputusan Presiden No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawls itu dinyatakan berlaku di wilayah perairan Jawa, Sumatera, dan Bali. Aturan tersebut muncul karena penggunaan jaring trawl begitu marak dan memunculkan problem tersendiri.
Trawl diketahui sudah mulai dipergunakan di wilayah Indonesia sejak dekade 1960-an. Conner Bailey, dalam kertas kerjanya yang berjudul "Conflict in The Commons: The Case of Indonesian Fisheries" (1986), dengan mengacu pada beberapa sumber, menyebutkan bahwa "trawl" diketahui pertama kali muncul di Asia Tenggara sekitar tahun 1940-an.
Sekitar pertengahan dekade 1960-an, teknologi alat tangkap ikan itu lantas diadopsi oleh nelayan-nelayan Malaysia di sekitar perairan selat Malaka. Karena wilayah itu dekat secara geografis dengan Indonesia, trawl lantas dicangkok oleh nelayan Indonesia, terutama yang berada di sekitar Sumatera.
Cantrang yang Paling Mengundang Respons
Aturan Peraturan Menteri Kelautan No.2/Permen-KP/2015 pun kembali melarang trawl alias pukat hela. Namun, kali ini, bersama trawl, pukat tarik pun dilarang. Ada total 20 alat tangkap yang dilarang dari dua jenis kapal berbeda. Dalam aturan itu, cantrang berada di bawah klasifikasi pukat tarik yang dilarang.
Menurut KKP, pihaknya melarang cantrang karena banyak nelayan yang menggunakan cantrang modifikasi. Karena dimodifikasi, alat tangkap itu tiada beda dengan jenis trawl yang secara umum disorot mengancam kelestarian lingkungan.
Meski banyak alat lain yang juga dilarang, pelarangan cantranglah yang mendatangkan gelombang aksi unjuk rasa nelayan, termasuk protes hingga ke depan Istana Negara, Jakarta. Respons ini bahkan berbuah rekomendasi dari Ombudsman RI (ORI), yakni agar KKP memberlakukan masa transisi dari cantrang ke alat baru, yang sesuai kriteria ramah lingkungan seperti persyaratan yang berlaku.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tren penggunaan alat penangkap ikan jenis dogol—termasuk lampara dasar, cantrang, jaring arad—secara nasional (2001-2012) meningkat. Pada 2001, jumlahnya sebesar 10.314 buah dan meningkat hingga mencapai 28.442 buah pada 2012. Meskipun data terakhir KKP ini data lama, ia mengindikasikan bahwa dogol merupakan alat tangkap yang umum dipakai nelayan.
Merujuk kertas kerja untuk workshop FAO dari Endroyono (2017) berjudul "Overview of the trawl fisheries socio-economic conditions in Indonesia after the second trawl band", cantrang berpalang diketahui dipergunakan di wilayah Selat Malaka dan Laut Jawa.
Dalam informasi yang sama, cantrang cenderung dipergunakan sebagai alat tangkap untuk industri pencari ikan kelompok kecil dengan ukuran kapal di bawah 5 GT. Artinya, cantrang dipergunakan oleh sebagian besar nelayan biasa. Poin ini sedikitnya memberi jawaban ihwal mengapa pelarangan cantrang diprotes secara besar-besaran.
Perikanan Tangkap di Indonesia
Perbincangan soal peraturan menteri yang melarang cantrang seharusnya juga menimbang kontribusi perikanan tangkap terhadap total produksi perikanan. Data yang diolah dari KKP menunjukkan bahwa proporsi hasil perikanan tangkap hanya sekitar sepertiga dari produksi perikanan di Indonesia. Hasil perikanan budidaya menjadi penyumbang terbesar dalam produksi perikanan nasional.
Pada 2012, misalnya, perikanan tangkap hanya menyumbang sekitar 37,60 persen, sementara perikanan budidaya mampu menyumbang 62,40 persen dari total produksi nasional yang tercatat sebesar 15,5 juta ton.
Bahkan, sampai 2016, perikanan budidaya masih menjadi penyumbang terbesar, yaitu sebesar 70,94 persen dari keseluruhan produksi perikanan nasional yang mencapai 23,51 juta ton. Porsi produksi perikanan tangkap semakin menurun menjadi 29,06 persen atau setara dengan 6,83 juta ton.
Apakah angka ini akan semakin berkurang lebih signifikan lagi dengan dilarangnya cantrang dan alat tangkap ikan lain? Data tahun-tahun mendatang yang akan menjawabnya.
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Suhendra & Maulida Sri Handayani