tirto.id - Rabu pagi, 14 Mei 1980, Sugiarto bergegas meninggalkan Bina Graha, Komplek Istana Negara. Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) itu baru saja menghadap orang nomor satu di Indonesia. Ia membawa kabar baik buat para nelayan, Presiden Soeharto menyetujui melarang kapal trawl tipe "Bagansiapi2" melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Setelah pertemuan itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39/1980 tentang penghapusan pukat harimau (trawl) yang berlaku mulai 1 Oktober 1980 untuk perairan Laut Jawa. Lalu menyusul, berlaku di Pulau Sumatera mulai 1 Januari 1981. Trawl dilarang karena dianggap merugikan nelayan kecil sehingga memicu konflik.
Apakah persoalan alat tangkap ikan menjadi tuntas? Rupanya tidak. Perdebatan terus berlanjut. Bahkan hingga hari ini.
Selang 30 tahun kemudian, persoalan alat tangkap nelayan kembali menjadi bola panas. Belum lama ini, nelayan di bawah bendera Aliansi Nelayan Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (11/7/2017). Demo ini merespons keputusan pemerintah yang hanya memperpanjang penggunaan cantrang sampai akhir 2017 saja, terutama untuk wilayah Jawa Tengah. Para nelayan menuntut pemerintah melegalkan alat tangkap cantrang dan payang secara nasional.
Demo semacam ini bukan yang pertama terjadi di era Presiden Jokowi. Setidaknya rentetan demo sudah mulai muncul sejak terbit Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Perkembangan alat tangkap ikan terus berkembang, dari segi perubahan bentuk, model, serta cara pengoperasian. Sebutannya pun berbeda-beda.
Cantrang, misalnya, pada dasarnya tetaplah pukat tarik yang telah dilarang oleh pemerintah. Alat tangkap tersebut tetap mengacu pada salah satu kelompok alat tangkap ikan yang dilarang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan.
"Presiden sudah melarang saya keluarkan energi untuk cantrang," kata Susi dikutip dari Antara.
Larangan cantrang memang cukup menguras perhatian pemerintah bila dibandingkan dengan aturan Susi yang lainnya yang juga tak kalah kontroversial. Berbagai regulasi seperti moratorium perizinan usaha perikanan tangkap, larangan transhipmentkapaldan lainnya yang terbit sejak 2014 mengusik kepentingan pemodal besar. Kendati mendapat perlawanan, tapi relatif bisa diatasi.
Namun, pelarangan cantrang menyasar pada nelayan besar hingga nelayan kecil atau tradisional yang sangat berisiko secara politis bagi Presiden Jokowi. Apalagi kebijakan sempat menimbulkan konflik di antara kalangan nelayan dan aparat penegak hukum di lapangan. Melarang cantrang tak semudah membuat peraturannya, apalagi proses pergantian alat tangkap dari cantrang ke alat tangkap lain juga tak berjalan mulus karena berbagai pendekatan menyesuaikan variasi kategori kapal nelayan yang memakai cantrang.
Baja juga: Susi Minta Kebijakan Cantrang Jangan Dipolitisasi
Cantrang yang Terlarang dan Disayang
Larangan cantrang memicu perang argumen. Pro dan kontra terjadi. Bagi yang pro larangan cantrang, kebijakan ini sangat tepat karena bila dibiarkan merugikan nelayan kecil. Sedangkan bagi nelayan yang kontra, larangan ini tentu dianggap merugikan mereka.
Pemerintah dan kelompok pecinta lingkungan relatif satu suara. Hasil kajian WWF-Indonesia menemukan hanya 18-40 persen hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi. Sedangkan 60-82 persen adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard).
Pertimbangan lainnya, penggunaan alat tangkap semacam ini dipercaya merusak dasar perairan dan berbagai jenis biota yang masih anakan. Pendeknya: dari sisi jangka panjang, cukup besar potensi kerugiannya bagi para nelayan itu sendiri.
Pemerintah pun punya argumen. Dari hasil penelitian di Brondong - Lamongan yang dilakukan oleh IPB pada 2009, disebutkan hanya 51 persen hasil tangkapan cantrang berupa ikan yang sesuai target, sedangkan 49 persen lainnya merupakan non target.
Penelitian lain yang senada dilakukan Universitas Diponegoro di Tegal pada tahun sebelumnya. Mereka menemukan cantrang hanya dapat menangkap 46 persen berupa ikan target dan 54 persen lainnya non target yang didominasi ikan rucah. Ikan hasil tangkapan cantrang umumnya dimanfaatkan pabrik surimi dan dibeli dengan harga maksimal Rp5.000/kg. Sedangkan tangkapan ikan non target digunakan sebagai pembuatan bahan tepung ikan untuk pakan ternak.
Bagi nelayan yang menolak kebijakan larangan cantrang, karakter dan kemampuan cantrang yang bisa menangkap banyak ikan merupakan berkah. Pelarangan cantrang, bagi nelayan, dianggap justru tak memberikan kesempatan bagi nelayan mencari nafkah.
Dalam laporan WWF Indonesia, yang mengutip laporan data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah alat tangkap trawl dan cantrang tercatat mencapai 91.931 unit pada 2011. Sementara itu, nelayan kecil tanpa perahu, perahu tanpa mesin, dan perahu mesin tempel berjumlah 396.724 nelayan yang beroperasi di jalur 0-12 mil -- wilayah penangkapan dengan trawl dan cantrang. Dengan asumsi dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), anggota keluarga nelayan mencapai 2 juta keluarga nelayan kecil di seluruh Indonesia terkena dampaknya.
"UUD 1945 telah mengamanahkan bahwa rakyat yang di dalamnya ada nelayan harus diberi ruang untuk mendapatkan nafkah keluarga, berkumpul dan berproduksi ekonomi. Tetapi, sampai saat ini nelayan belum terlihat sejahtera," kata Koordinator Lapangan Aliansi Nelayan Indonesia Rusdianto Samawa.
Namun, dukungan terhadap Susi dalam persoalan cantrang tetap mengalir. Ini terlihat dari, misalnya, “Petisi Dukung Menteri Susi Larang Penggunaan Kapal Cantrang di NKRI” yang ada dalam laman change.org.
Kini, kebijakan Susi soal cantrang memang sedang dikaji ulang oleh pemerintah, apakah cantrang benar-benar merusak lingkungan atau sebaliknya. Hasilnya akan menentukan kebijakan yang sudah tertunda hampir tiga tahun ini. Namun, bagi Presiden Jokowi, persoalan cantrang jadi ujian untuk membuktikan janji kampanye soal poros maritim yang pro kelautan, tak cukup hanya bicara soal nelayan dan cantrangnya. Topik mengenai cantrang ini merupakan bagian dari narasi besar agenda Poros Maritim yang ambisius itu.