Menuju konten utama

Sampai Kapan Polemik Larangan Cantrang?

Larangan penggunaan alat tangkap ikan berupa cantrang mulai berlaku efektif 1 Januari 2018. Apakah akan kembali menjadi polemik?

Sampai Kapan Polemik Larangan Cantrang?
Nelayan tradisional menarik pukat darat saat menangkap ikan di Pantai Kampung Jawa, Banda Aceh, Sabtu (30/12). ANTARA FOTO/Ampelsa

tirto.id - Pada satu kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan para menteri, anggota DPR, gubernur, wali kota dan bupati meminta para nelayan di Indonesia dapat dibantu untuk menggunakan cara baru dalam menangkap ikan.

“Nelayan kita ini jangan terus diajak kerja dengan pola lama, harus berani kita loncatkan. Sudah berapa lama kita urusan cantrang setiap tahun, urusan cantrang enggak ada habis-habisnya,” katanya di acara Rakornas Kemaritiman, di awal Mei 2017.

Kekesalan mantan gubernur DKI Jakarta itu bukannya tanpa alasan. Di saat Indonesia masih memperdebatkan alat tangkap nelayan berupa cantrang, negara lain sudah sibuk melakukan riset dan inovasi di bidang kemaritiman.

Jokowi menyadari tidak mudah mendorong nelayan Indonesia untuk maju. Menurutnya, cara berpikir dan bertindak nelayan masih monoton dan linear, sehingga tidak bisa mengikuti perubahan dunia yang sedemikian cepatnya.

Akibat kondisi itu, potensi ekonomi maritim Indonesia sebesar $1,33 triliun atau sekitar Rp18.000 triliun menjadi sulit untuk digarap. Untuk itu, riset dan inovasi di bidang kemaritiman harus segera dilakukan.

“Lihatlah Norwegia, Taiwan, sekarang setiap hari bicara offshore aquaculture. Ajari nelayan kita untuk mengetahui barang apa ini, nilai tambahnya bisa puluhan kali daripada yang kita lakukan sekarang ini,” ucap Jokowi.

Polemik Lama

Persoalan alat tangkap nelayan di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era Presiden Soeharto. Pada 1980, para nelayan kecil meminta kapal pukat harimau (trawl) dilarang beroperasi karena dianggap telah merugikan mereka. Soeharto pun mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39/1980 tentang penghapusan jaring trawl yang berlaku mulai 1 Oktober 1980 untuk perairan Laut Jawa. Lalu menyusul, berlaku di Pulau Sumatera mulai 1 Januari 1981.

Selang 35 tahun kemudian, polemik alat tangkap nelayan kembali muncul di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Ini menyusul terbitnya Peraturan Menteri Kelautan No. 2/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Penggunaan cantrang termasuk yang dilarang sesuai dengan aturan ini yang mulai ditetapkan 8 Januari 2015.

Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu sontak direspons protes keras dari para nelayan. Mereka menolak larangan penggunaan cantrang. Nelayan menilai, cantrang berbeda dengan trawl yang memang membahayakan lingkungan. Sejak saat itu, gelombang aksi unjuk rasa nelayan terus terjadi, bahkan sampai di depan Istana Negara, Jakarta.

Baca juga: Menteri Susi, Cantrang, dan Polemik Lama Soal Alat Tangkap

Pemerintah pun akhirnya menunda larangan penggunaan cantrang. Hingga saat ini, larangan penggunaan cantrang sudah tiga kali diperpanjang pemerintah. Perpanjangan pertama ditetapkan hingga Desember 2016, melalui Surat Edaran No. 72/MEN-KP/II/2016, tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di WPPNRI. Alasan perpanjangan karena pemerintah belum menuntaskan alat pengganti cantrang.

Namun, pelarangan cantrang kembali diperlonggar hingga Juni 2017, melalui Surat Edaran Dirjen Perikanan Tangkap No. B.664/DJPT/PI.220/VI/2017. Setelah itu, kelonggaran ketiga berlangsung hingga akhir Desember 2017 melalui Surat Edaran Dirjen Perikanan Tangkap No. B.743/DJPT/PI.220/VII/2017 tentang Pendampingan Peralihan Alat Penangkap Ikan Pukat Tarik dan Pukat Hela di WPPNRI. Lagi-lagi, alasan perpanjangan karena alat tangkap pengganti yang belum tuntas.

Kebijakan yang memberi "angin" ini tentu berdampak pada populasi cantrang yang dipakai oleh nelayan. Jumlah alat tangkap cantrang justru bertambah dalam 2 tahun terakhir ini. Pada 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya mencatat terdapat 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Namun, jumlah itu bertambah menjadi 14.357 unit pada awal 2017.

Baca juga: Susi: Kalau Enggak Terima, Silakan Gagalin Saya Jadi Menteri

Bagi nelayan, menggunakan cantrang sangat menguntungkan karena dapat memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak. Selain itu, harga jaring cantrang juga terjangkau ketimbang pukat cincin yang harganya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Infografik Alat Tangkap Ikan Dilarang 2018

Cantrang adalah penangkap ikan berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan dua panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Jaring cantrang yang ditarik dengan kapal yang bergerak itu mampu menangkap ikan yang berada di dasar perairan.

Cantrang dianggap tidak ramah lingkungan karena tidak hanya ikan yang bernilai ekonomis saja yang tertangkap, namun biota laut yang dikategorikan tangkapan sampingan atau tidak termanfaatkan juga ikut terangkut.

Akibatnya, ekosistem tempat tumbuhnya jasad renik atau organisme yang menjadi makanan ikan menjadi terganggu atau rusak. Tak hanya itu, ikan-ikan kecil pun juga ikut tertangkap, sehingga mengganggu keberlanjutan kelautan dan perikanan Indonesia.

Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi. Sedangkan, sebanyak 60-82% adalah tangkapan sampingan.

"Tidak ada perpanjangan lagi, masa transisi [dari cantrang ke alat penangkap ikan yang ramah lingkungan] hanya sampai 31 Desember 2017," kata Susi pada September 2017 dikutip dari Antara.

PadaSelasa (2/1) Tirto mencoba menanyakan kembali soal larangan ini kepada Susi Pudjiastuti melalui pesan singkat, tapi Susi tak meresponsnya. Namun, tahun telah berganti dan hampir memasuki tahun ketiga dari keberadaan Peraturan Menteri Kelautan No. 2/2015, pertanyaan pun muncul, apakah polemik larangan penggunaan cantrang akan tetap berlanjut di 2018 sejalan dengan aturan berlaku?

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menilai polemik cantrang masih berpotensi kembali terjadi pada 2018. Hal itu dikarenakan proses pengalihan alat tangkap nelayan dari cantrang ke alat tangkap ikan lainnya masih belum selesai.

“Masih banyak nelayan yang belum teridentifikasi atau mendapatkan alat tangkap pengganti cantrang. Oleh karena itu, jangan dipaksa berlaku aturan larangan penggunaan cantrang pada 1 Januari 2018,” kata Martin Hadiwinata, Ketua KNTI kepada Tirto.

KNTI menegaskan pihaknya sama sekali tidak menentang adanya kebijakan pengalihan alat tangkap ikan yang dicetuskan pemerintah. Hanya saja, dalam menerapkan suatu kebijakan, pemerintah hendaknya tidak mengganggu hak nelayan untuk mencari penghasilan.

Harus disadari bahwa pengalihan penggunaan cantrang ke alat tangkap ikan lainnya memang membutuhkan waktu. Pasalnya, mengganti alat tangkap juga mengubah cara dan kebiasaan nelayan dalam mencari ikan.

Dengan demikian, pelatihan dan bimbingan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya kepada para nelayan mutlak diperlukan agar dapat menggunakan alat tangkap yang sesuai dengan keinginan pemerintah.

“Kebijakan pengalihan alat tangkap ini kalau dijalankan dengan benar bisa positif, tapi ini masih ada catatan buruknya. Kami tidak ingin kasus kriminalisasi terhadap nelayan karena menggunakan cantrang terulang kembali,” tutur Martin.

Baca juga: Cara KKP Dorong Nelayan Ganti Alat Tangkap Cantrang

Di lain sisi, pemerintah memang sudah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi kebijakan itu. Pertama, penggantian alat tangkap ikan untuk kapal cantrang berbobot kurang dari 10 GT, seperti gillnet, bubu lipat, rawai dasar dan lain sebagainya.

Kedua, memfasilitasi kapal cantrang 10-30 GT dalam mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan guna mengganti alat tangkap. Ketiga, memberikan fasilitas pelayanan perizinan pusat melalui gerai perizinan untuk kapal cantrang lebih dari 30 GT.

Penggunaan cantrang memang menimbulkan persoalan keberlanjutan dalam menjaga lingkungan, tapi nelayan jangan dikorbankan. Pemerintah harus memastikan bahwa kepentingan nelayan tidak terganggu dari kebijakan larangan cantrang.

Baca juga artikel terkait LARANGAN PENGGUNAAN CANTRANG atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti