Menuju konten utama

Polemik Beras Oplos dan Tak Sesuai Standar, Kenapa Bisa Terjadi?

Kementan ungkap kecurangan beras: mutu turun, harga dimanipulasi. Konsumen dirugikan, potensi kerugian capai Rp99,35 triliun per tahun.

Polemik Beras Oplos dan Tak Sesuai Standar, Kenapa Bisa Terjadi?
Pedagang beras menjajakan dagangannya di Pasar Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (12/6/2025). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/bar

tirto.id - Hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan adanya praktik kecurangan perdagangan beras. Kecurangan terkait penurunan mutu dan bobot serta permainan harga di pasar. Pengamat menilai ada ketimpangan informasi antara pedagang dan konsumen, serta permasalahan rantai pasok.

Tak tanggung-tanggung, temuan Kementan menunjukkan adanya potensi kerugian konsumen hingga Rp 99,35 triliun per tahun. Lagi-lagi rakyat yang harus menjadi korban buntut kasus-kasus semacam ini. Sebelumnya ada kecurangan takaran Minyakita dan “pengoplosan” BBM yang langsung merugikan ke masyarakat.

Dalam konferensi pers, Kamis (26/6/2025), Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, mengungkap bahwa 212 dari 268 merek beras tidak sesuai standar kualitas, berat, dan harganya.

Untuk beras premium yang dicek, dari 136 sampel sebanyak 85,56 persen ditemukan tidak memenuhi standar mutu. Sementara teradapat 59,78 persen yang tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan 21,66 persen diketahui tidak memenuhi ketentuan berat kemasan.

Temuan ini berdasar pada hasil investigasi Kementan bersama Badan Pangan Nasional, Satgas Pangan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Amran menyebut, demi menjamin keakuratan hasil pengecekan, pihaknya menggunakan 13 laboratorium yang tersebar di 10 provinsi.

"Kita gunakan lab karena kita tidak ingin salah, kita tidak ingin ceroboh sehingga kami menggunakan 13 lab di 10 provinsi. Kita tidak ingin salah dalam menyampaikan informasi, karena ini sangat sensitif," bebernya.

Kenaikan harga beras pada Juni 2025

Pedagang menata beras yang dijualnya di Pasar Gondangdia, Jakarta, Jumat (4/7/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

Selain itu, Amran juga mengungkap soal adanya pengoplosan beras subsidi dari program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang kemudian dijual sebagai beras premium. Beras itu dijual dengan harga lebih tinggi di pasar.

Padahal, program beras SPHP seharusnya menjamin harga beras lebih murah, karena mendapat subsidi pemerintah senilai Rp1.500 - Rp2.000 per kilogram. Namun, sebagian besar beras justru tidak sampai ke konsumen yang berhak.

Dari estimasi 1 juta ton beras yang diduga dioplos, pelaku memperoleh keuntungan selisih harga hingga Rp2.000 per kilogram. Nilai tersebut jika dikalikan volume total beras, 1 juta ton, menghasilkan potensi kerugian negara Rp2 triliun per tahun.

"Yang dipajang adalah 20 persen, yang 80 persen (beras SPHP) dioplos jadi premium, naik 2.000 persen. Kalau 1,4 juta ton beras (SPHP) kali 80 persen (yang dioplos), itu 1 juta ton beras.1 juta ton kali Rp2.000 (subsidi) itu Rp2 triliun kerugian negara satu tahun," kata Amran dilansir dari Antara, Senin (30/6/2025).

Artinya, hanya 20 persen beras SPHP yang dipajang dan dijual sesuai ketentuan. Sisanya masuk ke jalur distribusi ilegal dan diperjualbelikan seperti beras komersial biasa. Amran bilang, Satgas Pangan telah turun ke lapangan menyelidiki temuan itu dan mendorong penguatan pengawasan, sehingga subsidi tidak lagi dimanfaatkan oleh oknum tertentu.

Adanya Kesenjangan Informasi yang Dieksploitasi Pelaku Usaha

Perkara beras oplosan sebenarnya bukan barang baru di Tanah Air. Pada Februari lalu, praktik pengoplosan serta pengemasan beras raskin dan menir menjadi beras premium dan super, sempat terbongkar di wilayah Depok. Peneliti pertanian Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menyebut berulangnya hal ini sebagai persoalan fundamental.

Meski sudah ada regulasi terkait standarisasi, menurut Eliza, implementasi dan pengawasannya masih lemah. Regulasi ketat untuk distributor harus mengedarkan beras yang sudah diverifikasi atau distandarisasi oleh jasa pemastian pun dikatakan masih nihil.

“Ditambah lagi penyaluran SPHP yang disubsidi pemerintah itu disalurkannya lewat pengecer ritel, kesempatan SPHP dioplos jadi premium itu besar sekali. Makanya harusnya penyaluran SPHP sama seperti bantuan pangan, langsung ke KPM (keluarga penerima manfaat -red),” tutur Eliza kepada jurnalis Tirto, Senin (7/7/2025).

Serapan beras lokal oleh Bulog

Pekerja mengamati beras yang keluar dari mesin penggilingan di penggilingan gabah Ngino, Margoagung, Seyegan, Sleman, D.I Yogyakarta, Rabu (28/5/2025). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/YU

Jika bantuan pangan untuk kalangan miskin, SPHP diberikan untuk kelas rentan miskin dan calon kelas menengah. Oleh karenanya, kata Eliza, data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dan data kesejahteraan sosial harus disatukan agar penyalurannya optimal.

Kejadian adanya oplosan beras, disebut Eliza, mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. Di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli, tak ada traceability-nya. Di sisi lain pedagang memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan alpanya traceability itu untuk memaksimalkan keuntungan.

“Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen dirugikan banyak. Temuan bahwa 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium gak sesuai regulasi, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu,” sambung Eliza.

Selain itu, menurutnya, praktik oplosan yang dianggap "biasa” di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran. Hal ini jadi indikasi kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. Eliza menekankan perlunya memberi efek jera kepada pelaku, seperti misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat.

Tindakan kecurangan seperti memberikan beras tak sesuai volume atau diproduksi tidak sesuai standar, memang masuk kategori perbuatan melawan hukum. Ketua Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, mengungkap kalau pelaku usaha terancam melanggar pasal 8 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana 5 tahun dan denda Rp2 miliar.

Secara lebih rinci, pasal 8 ayat (1) UU itu berisi tentang larangan pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelaku usaha juga tidak boleh memproduksi atau menjual barang atau jasa yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. Larangan juga terkait ketidaksesuaian ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

“Perbuatan oknum penjual beras yang tidak sesuai dengan standar akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap kualitas beras di pasaran. Oleh karena itu pemerintah harus dapat menjelaskan pada masyarakat konsumen terhadap kualitas dan kuantitas atas komoditi beras yang dijual di pasaran,” tutur Niti lewat keterangan resmi, yang dikutip Senin (7/7/2025).

YLKI mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, untuk melakukan revisi UU Perlindungan Konsumen No.8/1999. Perlu ada aturan hukum dengan sanksi yang ketat terhadap komoditi esensial atau komoditi penting bagi kehidupan bangsa kita termasuk di antaranya bahan pangan.

“Tidak ada posisi tawar bagi oknum penjual beras yang tidak sesuai standar yang dilakukan secara berulang mendulang keuntungan yang tinggi, terhadap pelaku seperti ini. Pemerintah seharusnya tidak berfikir dua kali tuk menjatuhkan sanksi yang tegas,” sambung Niti, serumpun dengan Eliza.

Urgensi Reformasi Rantai Pasok

Selain dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas, menurut Eliza, praktik oplosan juga dapat memicu keresahan sosial. Sebab beras merupakan komoditas yang begitu sensitif dan bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.

“Pasar beras di Indonesia ini kan cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel. Margin keuntungan terbesar diserap di middle man rantai distribusi. Sementara petani sendiri itu gak sampai 40 persennya dari nilai tambah produk tersebut,” tutur Eliza.

Oleh karenanya, Eliza mendorong pemerintah untuk menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera. Dia juga menekankan pentingnya reformasi rantai pasok. Lebih tepatnya memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.

“Jadi petani ini di koperasi atau gapoktan memiliki RMU (rice milling unit) agar petani menjual dalam bentuk beras, bukan lagi gabah,” sambung Eliza. Sementara dalam mewujudkan perlindungan konsumen, beras premium dan menengah, katanya, membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan.

Stok cadangan beras pemerintah

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Tambak Aji, Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/6/2025). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

Dengan adanya sertifikasi, maka akan meningkatkan ketertelusuran. Nantinya konsumen memahami beras yang mereka konsumsi; berasal dari mana, siapa petani yang menanamnya, dan dengan metode seperti apa. Alhasil, konsumen tidak dirugikan dan membeli barang sesuai kualitasnya.

Meski mengamini praktik oplosan sebagai kecurangan dan pelanggaran hukum, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyarankan pemerintah untuk tidak gegabah menggunakan hasil investigasi untuk menindak secara hukum terhadap pelaku.

“Menurut saya, kok sepertinya ada baiknya pemerintah itu intropeksi, melihat ke dalam, memeriksa diri kok ini ada kejahatan masif dilakukan mayoritas, ini gak biasa,” ujarnya kepada Tirto, Senin (7/7/2025).

“Angka-angka itu kan gede banget, jadi menurut saya coba diperiksa adakah kebijakan yang memaksa pelaku usaha ini melakukan akrobat tiga itu; menurunkan mutu –menurunkan kualitas, menurunkan volume, dan menjual di atas HET,” kata Khudori lewat telepon, Senin (7/7/2025).

Ia berefleksi dari penetapan HET yang tidak sesuaikan dengan kenaikan harga pembelian gabah kering panen. Seperti diketahui, pada 2025 pemerintah telah menyesuaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram, naik Rp500 ketimbang tahun sebelumnya.

Namun demikian, HET untuk beras medium tetap pada kisaran Rp12.500 per kg dan beras premium seharga Rp14.900 per kg. “Kita semua tahu gabah itu input dari beras. Kalau harga input-nya mahal, harga output-nya juga naik. Jadi menurut saya, gak masuk akal kalau HET beras tidak disesuaikan,” tutur Khudori.

Ia menekankan soal dua tugas utama pemerintah dalam hal pangan, yakni memastikan stok memadai –sehingga stok itu selalu ada, serta mengendalikan harga. Menurut Khudori, keberhasilan pemerintah mengelola cadangan beras bukan hanya soal pengadaan, tapi juga soal penyaluran, pelayanan. Negara juga harus memastikan beras sampai ke konsumen dengan pasokan yang cukup dan harga yang terjangkau.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto