Menuju konten utama

PKS Nilai Permendikbudristek PPKS di Kampus Tiada Landasan Agama

Permendikbud PPKS di kampus yang ditandatangani Mendikbudristek Nadiem Makarim tersebut, Ledia nilai tak memiliki landasan agama.

PKS Nilai Permendikbudristek PPKS di Kampus Tiada Landasan Agama
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/8/2021).ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tak sesuai dengan Pancasila. Bahkan cenderung mengarah kepada nilai-nilai liberalisme, ujarnya.

Permendikbud yang ditandatangani Mendikbudristek Nadiem Makarim tersebut, Ledia nilai tak memiliki landasan agama.

"Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di pasal 3," ujar Ledia dalam keterangan tertulis, Jumat (5/11/2021).

Dalam Pasal 3 tercantum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip: kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksebilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.

"Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan," tutur Ledia.

Ledia menilai bahwa Permendikbudristek tersebut bernuansa liberalisme lantaran definisi kekerasan seksual yang bias, semisal beleid: "penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender" dan atau penggunaan diksi "persetujuan" sebagaimana dalam Pasal 5 ayat 2.

Menurutnya beleid tersebut seolah membenarkan perbuatan seks di luar nikah, selama kedua belah pihak saling setuju.

"Padahal dalam norma agama, seks di luar nikah juga perilaku LGBT bukan sesuatu yang dibenarkan," ucapnya.

Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini melihat bahwa isi dari Peraturan Menteri ini belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, melainkan hanya sekedar menyampaikan sanksi administratif internal.

“Setelah dicermati, peraturan menteri ini hanya menambah beban birokratisasi administrasi baru dengan segala ketentuan perizinan dan belum menampakkan satu klausulpun yang bisa memastikan proses hukum berjalan untuk melakukan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual,” katanya.

Ledia mencontohkan bagaimana Pasal 7 dan 8 yang berfokus pada birokratisasi administrastif. Ancaman yang cukup berat pun belum nampak dalam keseluruhan muatan Permendikbudristek ini.

Persoalan sanksi tersebut, ia nilai belum efektif dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas dan tegas secara pidana.

“Tambahan pula Permendikburistek ini juga seolah mengenyampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus karena nampak lebih berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satgas di lingkungan kampus," ujarnya.

Ia juga mengkritisi dasar hukum terbitnya Permendikbud tersebut yang belum memiliki cantolan hukum yang jelas. Ia menyarankan agar Mendikbudristek harus mengacu pada Undang-undang No 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PERMENDIKBUD PPKS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto