tirto.id - Kasus kekerasan seksual di Luwu, Sulawesi Selatan mengungkap fakta bahwa siapa pun, tak terkecuali orang tua sendiri, punya potensi menjadi terduga pelaku kekerasan seksual. Dan jauh sebelum kasus itu ramai dibicarakan, pemerkosaan anak juga terjadi di Brebes, Jawa Timur.
“Sebuah pesan masuk ke nomor saya, dari seorang anak SMA. Dia ingin bercerita, tapi tidak mau di sekolah maupun di rumah. Waktu itu umurnya 16 tahun. Sejak umur 13, anak ini sudah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan ayah tirinya,” kata Eni Listiana, S.IP., Kabid Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA), Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kab. Brebes, Jumat (1/10).
Korban perlu waktu bertahun-tahun untuk menceritakan kelakuan bapak tirinya karena, pertama, tidak tahu harus melapor ke mana; kedua, ia takut sebab tinggal di lingkungan keluarga besar si pelaku—sosok yang juga memenuhi kebutuhannya sehari-hari. “Ibu kandungnya di luar negeri, menjadi TKI. Saat diberitahu, ia membantah laporan bahwa suaminya melakukan tindak kekerasan seksual,” sambung Eni.
Tim PPPA Kab. Brebes lantas melakukan pendampingan dan advokasi. Korban dirawat di rumah aman—sebelum dipindahkan ke rumah neneknya dari pihak ibu—sedangkan pelaku ditangkap dan diadili sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tak hanya itu, Tim PPPA juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan agar sang anak bisa melanjutkan sekolah.
“Dia hampir putus sekolah, dan akhirnya lulus SMA.”
Tentu kasus kekerasan seksual di Brebes dan Luwu Timur itu bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021 menyebut jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 299.911, berkurang secara signifikan dari jumlah kasus pada CATAHU 2020 (431.471 kasus). Namun begitu, Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi menyebut catatan itu sebagai fenomena puncak gunung es.
“Banyak korban diam, tidak melapor, sebab ada relasi yang tidak setara, relasi kuasa, antara korban dan pelaku,” kata Satyawanti, Jumat (1/10).
Sebagai fenomena puncak gunung es, tentu persoalan kekerasan seksual yang tidak tampak lebih besar ketimbang yang muncul di permukaan. Mulai dari mitos atau persepsi bahwa kekerasan seksual adalah aib—dan karenanya harus ditutupi alih-alih dibongkar dan dilaporkan—hingga anggapan bahwa setiap kasus kekerasan seksual yang menempatkan perempuan sebagai korban lumrah dianggap sebagai buah dari kesalahan korban.
Lebih jauh, Satyawanti, sosok yang pernah menjadi Direktur Eksekutif Pusat PKBI, menjelaskan, pengentasan kasus kekerasan seksual di Indonesia kian pelik sebab tidak adanya payung hukum yang memadai, jenis kekerasan seksual yang dikenali terbatas dan tumpang tindih, beban pembuktian ada pada korban, sedangkan perlindungan bagi korban dan saksi masih sangat terbatas.
“Syarat formal legal bahkan sulit dipenuhi terutama jika terduga pelaku adalah aparat atau pejabat,” kata Satyawanti.
Dampak Psikososial
Dampak kekerasan seksual tak bisa dipandang sebelah mata.
Danika Nurkalista, Psikolog Klinis Dewasa sekaligus Koordinator Kasus Yayasan Pulih, menyebut kekerasan seksual membekaskan trauma mendalam bagi korban, dan efeknya bisa berlangsung seumur hidup.
“Ada risiko tinggi untuk menjadi pelaku, terutama untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami laki-laki,” kata Danika, menyebut salah satu dampak kekerasan seksual terhadap perilaku korban, Jumat (1/2).
Danika menerangkan, selain dampak perilaku, merujuk pada sumber resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), dilihat dari aspek psikososial—yakni aspek yang dinamis antara aspek psikologis dan sosial individu—kekerasan seksual berpengaruh terhadap empat hal: kesehatan reproduksi, kesehatan mental, perilaku, dan dampak fatal.
Secara psikologis, reaksi jangka pendek pada diri korban atau penyintas kekerasan seksual adalah tubuhnya mudah kaget atau terguncang, sulit merespons apa pun karena tingkat stress tinggi, menolak kenyataan bahwa dirinya korban kekerasan seksual, kehilangan rasa aman dan sangat waspada, serta mudah marah dan meminta keadilan.
“Itu semua terjadi sebab keamanan dan keberhargaan tubuh korban sudah dilanggar. Sehingga sering kali ada korban kekerasan seksual dipegang saja tidak mau, bahkan berdekatan dengan lelaki pun tidak mau,” kata Danika.
Sedangkan dalam jangka panjang, efek psikologis korban seksual juga tak kalah mengerikan: korban rentan terjerembab dalam perilaku yang tidak sehat dan beresiko, punya gangguan kesehatan yang menahun (beberapa orang yang mengidap autoimun bahkan ditengarai punya kasus kekerasan seksual di masa lalu), mengalami gangguan psikologis berat (depresi klinis, gangguan bipolar), konsep diri buruk, hingga kesulitan membangun hubungan dengan orang lain.
“Dampak jangka panjang lainnya adalah internalisasi ketidakberdayaan. Ini menimbulkan penurunan fungsi kehidupan, kapasitasnya untuk bekerja menurun, sehingga secara ekonomi pun ikut menurun. Ini pula yang menyebabkan korban kekerasan seksual bisa terjebak dalam pusaran kemiskinan,” beber Danika.
Penanganan Terpadu
Melihat kompleksitasnya, penanganan korban kekerasan seksual tidak bisa dilakukan sepihak. Perlu penanganan terpadu dengan melibatkan sudut pandang kesehatan reproduksi, kekerasan berbasis gender/kekerasan seksual, serta DKPJS (Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial).
Pencegahan dan respon pada kekerasan seksual termasuk dalam standar minimum bidang kemanusiaan/kegawatdaruratan. Untuk itu, WHO merumuskan konsep LIVES (Listening, dengar; Inquiring, tanya—tentang apa yang korban butuhkan secara emosional, fisik, dan sosial, bukan apa yang terjadi; Validate, validasi; Enhancing safety, keamanan; Support, dukungan) untuk memberikan dukungan psikososial awal bagi penyintas.
“Korban kekerasan seksual umumnya tidak mau bercerita sebab tidak percaya diri bahwa dia bakal mendapat bantuan, bahwa orang lain bakal percaya akan ceritanya. Sebab itu ketika ada orang yang mau mendengarkan dan percaya, itu adalah dukungan psikologis yang sangat kuat,” kata Danika.
Obrolan antara Eni Listiana, Satyawanti Mashudi, dan Danika Nurkalista berlangsung dalam sesi #4 Virtual Bootcamp “Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual” yang diusung Grab Indonesia dan Komnas Perempuan, Jumat (1/10). Diketahui, Grab, SuperApp di Asia Tenggara, adalah salah satu perusahaan yang konsisten mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
“Pengesahan RUU PKS adalah agenda sangat penting yang turut menjadi perhatian Grab Indonesia, karena sebagai penyedia aplikasi yang memiliki zero tolerance terhadap semua bentuk kekerasan, Grab selalu ingin memberikan pelayanan yang aman dan nyaman bagi pengguna,” kata Cut Noosy, Director of Support Operations Grab Indonesia, di awal diskusi.
Noosy menambahkan, diskusi dengan topik “Penyelenggaraan Layanan Korban Kekerasan Seksual: Siapa dan Bagaimana?”sangat krusial, terlebih jika dikaitkan dengan layanan Grab Support.
Sejak didirikan, Grab punya komitmen untuk memberikan layanan yang aman untuk semua, baik oleh penumpang maupun pengemudi, perempuan ataupun laki-laki. Kemudian per 2018, Grab aktif meningkatkan komitmen tersebut dengan menghimpun masukan dan menguatkan standar layanan dengan berkonsultasi dengan institusi seperti Komnas Perempuan, termasuk membentuk satu tim untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang dilatih khusus oleh para ahli, termasuk Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan dan Yayasan Pulih, sebelum bertugas.
Kebetulan saya ketua pertama tim ini. Jadi, (diskusi kali ini) benar-benar dekat di hati,” ungkap Noosy.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis