tirto.id - Tumbuh besar sebagai anak petani di kaki bukit berundak di kawasan Sumedang, Jawa Barat, membuat saya sejak kecil akrab dengan hasil bumi yang ditanam Ayah. Pisang, ubi, singkong, nangka, sukun, dan jagung adalah kelompok tanaman yang hampir selalu tumbuh subur di sekitar rumah yang beririsan dengan kebun. Ketika musim panen tiba, dapur akan dipenuhi dengan umbi-umbian dan buah-buahan.
Seperti model memasak masakan Sunda pada umumnya, cara mengolahnya sederhana: kalau tidak digoreng, ya dikukus. Bumbunya pun tidak macam-macam. Jika hendak menggoreng ubi, singkong, dan sukun, cukup dengan merendamnya di campuran ulekan bawang putih, ketumbar, garam dan air matang. Lain soal dengan pisang dan nangka, Ibu akan membuat adonan basah dengan bahan terigu, gula pasir, dan bubuk vanili, lalu menggorengnya di minyak panas. Favorit saya adalah pisang goreng dan kukus, yang dimakan ketika hujan mampir, ditemani segelas bandrek hangat.
Bicara soal pisang, saya kembali nostalgia dengan kunjungan ke Jailolo, Halmahera Barat, beberapa tahun silam. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana, saya langsung disuguhi sepiring pisang goreng tanpa tepung yang disajikan bersama semangkuk kecil dabu-dabu (sambal) roa oleh Cik Fau, koki andalan Desa Guaemadu, yang mengelola penginapan sekaligus rumah makan selama puluhan tahun di sana.
Pisangnya tidak begitu manis dan cenderung gurih, berpadu serasi dengan pedas, legit dan wanginya dabu-dabu roa. Pisang goreng dicocol sambal? Walau konsepnya membuat saya ragu di awal, tapi ternyata mereka paduan yang sangat cocok. Kayak buras ketemu bakwan, macam timun tubrukan sama kerupuk kaleng.
Karena penasaran, saya membuntuti Cik Fau ke dapurnya. Di sudut ruang, bertandan-tandan pisang bertumpuk menanti diolah. Bentuk pisangnya melengkung seperti mulut bebek. Dari bentuknya, tak heran kalau namanya juga pisang mulu bebek (Musa sp).
Pisang mulu bebek adalah jenis pisang endemik wilayah Maluku Utara, utamanya Halmahera Barat. Hampir semua warga Jailolo yang memiliki kebun sendiri menanam pisang ini, baik untuk konsumsi pribadi maupun dijual di pasar. Cara pengolahan yang populer adalah digoreng, juga direbus bersama santan, atau biasa disebut dengan pisang santang.
Cik Fau yang energik dengan sigap mengupas pisang yang masih berwarna hijau–karena yang dipakai adalah pisang mengkal, lalu membelahnya menjadi dua. Tidak terlalu tipis, tapi juga tidak terlalu tebal. Pisangnya pun polos, tidak dibumbui apa-apa. Potongannya langsung digoreng dalam minyak panas yang dijerang di atas tungku kayu bakar. Pisang digoreng dengan suhu tinggi sampai permukaannya berwarna kuning kecoklatan, sehingga mendapatkan tekstur garing di luar dan empuk di dalam.
Di pojok lain, pegawai Cik Fau membuat berbagai macam dabu-dabu untuk cocolan pisang. Ada dabu-dabu mantah, yang terbuat dari campuran cacahan tipis cabai rawit, bawang merah, tomat, kucuran lemon cui, sejumput garam, dan petikan kemangi. Selain itu, mereka membuat dabu-dabu roa, dengan bahan utama ikan roa asap yang dilumat dengan cabai rawit, tomat, bawang merah, garam dan gula.
Bagi yang tidak begitu tahan dengan rasa pedas, tersedia juga dabu-dabu roroba, atau endapan sisa pembuatan minyak kelapa. Di Jawa Tengah, roroba dikenal dengan nama blondo. Sedangkan di Jawa Barat, disebut dengan galendo.
Namun tidak seperti blondo dan galendo yang cenderung kering dan bertekstur seperti abon, dabu-dabu roroba masih satu step di belakang sebelum endapan minyaknya benar-benar kering. Jika diibaratkan dalam pembuatan rendang: roroba adalah kalio, blondo dan galendo adalah hasil akhirnya, yaitu rendang yang hitam dan kering. Sebagai penyuka berbagai sambal dan kondimen, kunjungan saya ke Jailolo seperti euforia anak kecil yang diajak ke Disneyland untuk pertama kali. Gembiranya sampai ke ubun-ubun.
Dan jika semua hal diciptakan berpasang-pasangan seperti yang tertulis dalam kitab suci, maka jodoh terbaik pisang goreng mulu bebek adalah kopi guraka.
Guraka atau jahe adalah bahan utama dan kunci dari keunikan rasa kopinya. Jahe yang dipakai adalah jahe merah. Kombinasi antara bubuk kopi, jahe merah, gula merah, cacahan kasar biji kenari, dan sepotong kayu manis dalam satu gelas adalah representasi kekayaan sumber daya hayati Halmahera Barat.
Sekali seruput, langit-langit lidahmu seperti dihentak kombinasi rasa hangat, getir, dan manis sekaligus. Meneguknya di sela-sela mengunyah pisang mulu bebek berlumur dabu-dabu di tepian Teluk Jailolo, membuat saya merasa bahwa surga tidak jauh-jauh amat.
Pisang Mulu Bebek Sebagai Sumber Karbohidrat
Posisi pisang mulu bebek bagi masyarakat Halmahera Barat, khususnya Jailolo, tidak hanya sebagai camilan belaka, tapi juga sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi dan sagu. Pisang yang belum terlalu matang, kandungan patinya memang cukup tinggi. Berbeda dengan pisang yang sudah ranum, yang kandungan gulanya lebih mendominasi.
Saat trekking menyusuri kebun pala dan cengkeh, saya pun sempat mengikuti tradisi makang kebon, atau makan di kebun. Menunya adalah pisang mulu bebek, singkong, tuna bumbu rempah, dan sayur bunga pepaya. Masing-masing dimasak dengan bumbu minimalis di dalam sebilah bambu sepanjang 1 meter berlapis daun pisang, yang dijajarkan rapi di atas bara api. Sumbangan aroma dari buluh dan daun pisang, menaikkan rasa keseluruhan masakannya. Tidak lupa, ada dabu-dabu mantah yang diracik di tempat.
“Makan di kebun enaknya begini, pisang dan singkong tinggal ambil, tidak perlu repot bawa beras dari rumah,” sahut Mama Armian, sang juru masak.
Saya yang baru pertama kali menikmati pisang sebagai menu utama, mengangguk setuju. Ternyata asyik saja mengganti nasi dengan pisang, kenyangnya pun bisa tahan lebih lama.
Ketika saya main ke rumah Kak Yuyun, kawan yang mengantar berkeliling Jailolo selama seminggu lebih, pisang mulu bebek kembali hadir di atas meja sebagai menu pokok kami makan siang. Pisangnya direbus bersama santan.
Kali ini ia berduet dengan papeda sebagai pilihan sumber karbo. Lauknya terdiri dari ikan kuah kuning, ikan bobara bakar dan dabu-dabu mantah. Karena sudah tahu kenikmatannya, saya langsung menciduk pisang santan, ikan kuah kuning, secuil bobara bakar dan dabu-dabu mantah, lalu menghabiskannya sambil mengerjap-ngerjap.
Betapa nikmatnya hidup!
Editor: Nuran Wibisono