tirto.id - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mengaku tak memiliki program 100 hari kerja untuk Kementerian HAM. Akan tetapi, Pigai mengatakan, Kementerian HAM memiliki program membangun bangsa ketika menghadapi situasi darurat.
"Kami tidak punya program 100 hari. Kami punya program emergency conditions untuk membangun rakyat dan bangsa dan negara selama lima tahun kalau dipertahankan," kata Pigai di ruang rapat Komisi XIII DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Pigai berdalih, program 100 hari kerja hanya lah formalitas. Mantan Komisioner Komnas HAM ini mengatakan, program 100 kerja hanya tata laksana, revitalisasi organisasi dan pembangunan organisasi dan pengisian staf.
"Maka saya susah selesaikan tujuh hari, pak," kata Pigai.
Ia khawatir, kehadiran program 100 hari kerja membuat anak buahnya tak lagi bekerja pada hari ke-101. Oleh karena itu, Pigai menempatkan lima tahun sebagai kondisi emergency.
"Pasukan saya harus siap, harus siap melayani kebutuhan rakyat semuanya," tutur Pigai.
Pigai mengeklaim memiliki kemampuan dan sikap dalam menangani persoalan hak asasi manusia. "Pertanggungjawaban sebagai pimpinan telah ditunjukan dengan berjuta-juta serangan, tetapi tidak pernah ditemukan dari sisi aspek-aspek moral dan mental karena semua kami terkontrol dalam aspek perjuangan kami," kata Pigai.
Di saat yang sama, Pigai juga mengklarifikasi usulan penambahan anggaran Rp20 triliun menjadi gempar di ruang publik. Bagi Pigai yang menyebut sebagai pembela hak asasi manusia, pernyataan anggaran tersebut sebagai hal yang biasa saja.
"Yang menjadi luar biasa dan kami dibantu untuk memberi kesadaran bagi bangsa dan negara ini ketika Pak pimpinan Komisi XIII, Pak Willy Aditya merespons secara cepat, Pak Andreas Hugo Pareira," kata Pigai.
Pigai sebelumnya mengusulkan agar anggaran Kementerian HAM mencapai Rp20 triliun. Pigai beralasan anggaran jumbo itu akan digunakan untuk membangun universitas HAM bertaraf internasional disertai laboratorium HAM dan rumah sakit.
"Saya mau bangun Universitas HAM bertaraf Internasional terpadu dengan pusat studi HAM (Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia dan Kawasan Amerika), laboratorium HAM termasuk forensik, rumah sakit HAM, dan lain-lain," kata Pigai saat dikonfirmasi Tirto, Jumat (25/10/2024).
Pigai berkata, kritikan dan masukan atas pernyataannya itu membuatnya menjadi orang hebat karena memiliki cara pandang berbeda atas persoalan HAM.
"Sama seperti yang selama ini, kami ucapkan terima kasih, tidak saya menjadi menteri bukan karena saya oposisi, tapi karena saya menjadi diterpa oleh mereka yang ada di pemerintah. Jadi, saya berpandangan itu sebagai dinamika," tutur Pigai.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher