tirto.id - MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia yang menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual di kantornya, menyebut perundungan terhadapnya lantaran kecemburuan sosial.
“Tahun 2012-2014 ada sif malam, ada lima orang termasuk saya. Empat orang ini karena kecemburuan sosial sehingga saya dirundung,” ujar MS via konferensi pers daring, Senin (7/3/2022).
Selanjutnya, para pegawai sif pagi yang mengetahui bahwa korban tak melawan ketika dirundung, turut mengusiknya.
“Sif pagi karena tahu saya dirundung, (turut) ikut-ikutan,” sambung dia.
Pangkal kecemburuan sosial adalah kontrak kerja. Tahun 2011, MS mulai bekerja di KPI sebagai analis pemantauan. Setahun berikutnya ia pindah ke bagian Visual Data, tapi pekerja di divisi tersebut terkesan tidak menerimanya. Ketika di divisi inilah perundungan bermula.
“Pemicunya adalah perbedaan kontrak. Tahun 2012, saya baru masuk tiga bulan. Kalau masuk enam bulan, gaji disamakan. Tapi saya masuk tiga bulan, (gaji) saya disamakan dengan empat orang ini. Ada kecemburuan sosial. Apalagi saya inferior, tak melawan,” jelas MS.
Rekan kerja MS pun mulai berani menginstruksikannya, umpama menyuruhnya membeli makan. MS berpendapat suruhan-suruhan itu tak berbasa-basi. Rekannya tak peduli apakah dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu atau bertanya apakah bisa menitip belikan lauk. Tidak ada kata ‘tolong’, menurut korban. Perundungan itu terjadi selama dua tahun.
MS mengadukan peristiwa yang menimpanya kepada Polres Metro Jakarta Pusat, pada Rabu, 1 September 2021, sekira pukul 23.30. Bahkan pada tahun 2019 dan 2020, dia mengadukan perkara itu ke pihak Polsek Gambir tapi tidak pernah ditindaklanjuti oleh polisi. Hingga kini kasusnya mandek.
Komnas HAM pernah memublikasikan hasil pemantauan dan penyelidikan kasus MS. Penyelidikan itu berlangsung pada 7 September-1 November 2021. Berdasarkan serangkaian hasil penyelidikan, Komnas HAM merumuskan sejumlah kesimpulan.
Pertama, kuat dugaan terjadi adanya peristiwa perundungan terhadap MS dalam bentuk candaan atau humor yang bersifat menyinggung dan meledek kondisi dan situasi kehidupan pribadi individu, kebiasaan dalam relasi antar pegawai di lingkungan KPI yang memuat kata-kata kasar dan seksis di lingkungan KPI. Adanya candaan atau humor yang bersifat serangan fisik seperti memaksa membuka baju, mendorong bangku atau memukul.
Kedua, kuat dugaan peristiwa perundungan juga terjadi pada pegawai KPI lainnya, namun hal ini dianggap sebagai bagian dari humor, candaan, lelucon yang menunjukkan kedekatan pertemanan rekan kerja. Ketiga, KPI gagal secara lembaga menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman serta mengambil langkah-langkah yang mendukung pemulihan korban.
Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya regulasi internal dan perangkat-perangkat yang patut dalam pencegahan dan penanganan tindak pelecehan seksual dan perundungan di lingkungan kerja, serta belum ada pedoman panduan dalam merespons serta menangani kasus pelecehan seksual dan perundungan di lingkungan kerja.
“Hingga laporan ini dibuat, Komnas HAM telah meminta keterangan 12 pegawai KPI, dua di antaranya dua kali dimintai keterangan untuk pendalaman. Kami juga meminta keterangan Polres Jakarta Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, psikolog Puskesmas Taman Sari, psikiater Rumah Sakit Polri, dan diskusi bersama koalisi masyarakat sipil,” kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Senin (29/11).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri