Menuju konten utama

Perseteruan Blur dan Oasis, Pertarungan Gengsi Band Inggris

Bagaimana dua band asal Inggris ini bisa berkelahi dan pada akhirnya "berdamai" dengan masa lalu?

Perseteruan Blur dan Oasis, Pertarungan Gengsi Band Inggris
Vokalis Oasis Liam Gallagher di panggung Rock in Rio, Rio de Janeiro, Brazil (14/1/01). AP Photo/Dario Lopez-Mills

tirto.id - Pada 1992, Nirvana menjadi fenomena musik global. Album Nevermind dan single “Smells Like Teen Spirit” yang berkisah mengenai kemuakan terhadap hidup, laris manis di pasaran. Musik grunge yang keras dan depresif seketika dipandang jadi representasi kancah musik saat itu dan dirayakan anak-anak muda di seluruh dunia.

Dominasi grunge, secara tak sengaja, mendorong lahirnya narasi tandingan dari ragam musik yang lain. Di Inggris, kancah Madchester yang dimotori Stone Roses dan Happy Mondays menyeruak ke permukaan untuk memberikan perlawanan. Sempat menyala terang dalam beberapa waktu, Madchester kemudian tenggelam.

Begitu pula yang terjadi dengan shoegaze. Lahir sebagai wujud kejengahan anak-anak muda atas rezim pemerintahan Inggris yang konservatif, shoegaze nyatanya hanya bisa bertahan sebentar saja.

Hingga akhirnya Britpop datang dan dengan begitu cepatnya mencuri panggung perhatian. Tahta “Seattle Sound,” merujuk nama lain grunge, lantas kolaps dan kemudian digantikan oleh kehadiran band macam Blur, Suede, Oasis, sampai Elastica, yang secara musikalitas banyak terpengaruh David Bowie, The Jam, The Specials, maupun The Smiths.

Bunuh diri Kurt Cobain, pada April 1994, hanya semakin memperburuk masa depan grunge, sementara di saat bersamaan Britpop tambah berjaya dengan kemunculan band-band baru yang membawa semangat kejayaan musik alternatif Inggris 1980-an.

Battle of Britpop

Yang bikin Britpop menjadi menarik ialah tak semata karena mampu melahirkan gelombang kreativitas dalam skala yang masif, melainkan juga karena Britpop punya andil untuk mendorong lahirnya rivalitas dua motor penggeraknya: Blur dan Oasis.

Perseteruan Blur dan Oasis, di eranya, serupa candu, melibatkan amarah, benci, cinta tak terbalas yang dibungkus dalam balut kreasi, dan yang paling utama: gengsi.

Rivalitas Blur-Oasis tak lahir dari ruang kosong. Ia justru muncul sebab hal-hal yang konyol.

Di awal kemunculan Britpop, Blur dan Oasis merupakan dua band yang saling menghormati dan mengagumi satu sama lain. Sikap itu terlihat jelas kala acara NME Awards 1995, di mana Blur memborong lima penghargaan dan Oasis hanya mampu mengambil tiga buah.

“Aku tidak berpikir bahwa kami seharusnya mendapatkan lebih banyak [penghargaan] dari Blur. Mereka adalah band top,” aku Liam Gallagher, pentolan Oasis, sesaat usai acara berlangsung.

Pujian tersebut nyatanya fana belaka.

Alkisah, beberapa bulan setelahnya, Damon Albarn, vokalis Blur, diundang Liam untuk menghadiri pesta perayaansingle “Some Might Say” milik Oasis yang berhasil nangkring di posisi puncak tangga lagu. Albarn mengiyakan ajakan Liam, dengan harapan agar ia bisa mengucapkan selamat. Namun, niat baik Albarn justru dibalas dengan perlakuan tak menyenangkan dari Liam.

“Liam datang menghampiriku dan berteriak, ‘Nomor satu!’ tepat di wajahku. Aku langsung berpikir, ‘OK, kita akan lihat nanti',” jelas Albarn, sebagaimana dikutip NME.

Dari situlah benih persaingan Blur-Oasis muncul. Albarn, yang dikenal kompetitif, tak tinggal diam. Ia menganggap kata-kata Liam sebagai genderang perang.

"Liam memang banyak omong dan arogan. Damon lantas berpikir, ‘Jika kalian menginginkan pertarungan, kami akan memberinya kepada kalian',"ujar Stephen Street, produser Blur.

Agustus 1995 jadi saksi bagaimana pertarungan kedua band ini dimulai. Sedianya, di bulan itu, Oasis hendak melepas single “Roll With It” yang diambil dari album (What’s the Story?) Morning Glory.

Rencana Oasis sampai juga ke telinga petinggi Food, label yang menaungi Blur. Food kemudian memberi tawaran kepada Albarn untuk merilis “Country House” dari album The Great Escape bersamaan dengan jadwal peluncuran Oasis.

Kemelut ini pada akhirnya bocor juga ke publik. Sebelum hari pertarungan tiba, media cetak sampai elektronik ramai-ramai menggorengnya, menjadikan kabar perseteruan mereka sebagai tajuk utama pemberitaan. Bentrokan antara Blur-Oasis dipandang selevel dengan rivalitas The Beatles-The Rolling Stones.

Salah satu media yang antusias menyambut perseteruan Blur-Oasis ialah majalah NME. Mereka bahkan dengan begitu niat membikin sampul bergambar wajah Albarn dan Liam, dengan tulisan di atasnya berbunyi: “British Heavyweight Championship.”

“Kami membuatnya seperti sebuah acara. Ide sampul itu berasal dari poster pertarungan Muhammad Ali yang aku punya. Kami hanya mengambil kerangka desainnya, mengubah kata-katanya, serta menjadikannya serupa pertandingan tinju,” papar Steve Sutherland, editor NME.

Tensi persaingan kian mendidih dengan adanya saling serang secara verbal yang dilakukan masing-masing personel kedua band. Liam, ambil contoh, saat diwawancarai The Observer mengatakan bahwa dirinya ingin melihat Albarn dan Alex James (bassist Blur) “meninggal karena AIDS”. (Tak lama berselang, Liam mencabut pernyataannya dan meminta maaf.)

Dimensi rivalitas Blur-Oasis nyatanya juga melebar hingga ranah sosial-politik. Persaingan Blur-Oasis bisa dibaca sebagai pertarungan wilayah utara (Manchester) dan selatan (London). Blur dianggap mewakili kelompok kelas menengah Inggris, sedangkan Oasis jadi representasi kelas pekerja.

Hari yang dinanti pun tiba. Toko kaset berubah seperti tempat pemungutan suara. Prediksinya, Oasis bakal memenangkan pertarungan, lebih-lebih grafik penjualan sampai pertengahan minggu memperlihatkan hal demikian.

Namun, hasil berkata lain: Blur menjadi juaranya. Lagu mereka terjual 274.000 kopi, mengalahkan milik Oasis yang memperoleh 216.000 kopi.

Bos Creation, label yang membawahi Oasis, Alan McGee, mengatakan bahwa kekalahan Oasis disebabkan karena Blur disokong EMI, label yang secara sumber daya manusia maupun finansial jauh lebih unggul dibanding Creation.

Namun, tak semua pihak merasa nyaman dengan persaingan ini. Graham Coxon, gitaris Blur, misalnya, menyatakan bahwa menjadi nomor satu bukanlah hal yang istimewa. Ia juga menambahkan, persaingan Blur-Oasis adalah hasil dari konstruksi media dan khalayak ramai.

“Kami tidak membutuhkan perang palsu yang tidak masuk akal ini,” demikian ucap Graham.

Senada dengan Graham, gitaris Oasis, Bonehead, juga menegaskan dirinya sesungguhnya tidak peduli dengan ontran-ontran yang berkembang. Baginya, bermusik dan membikin karya jauh lebih penting dibanding mengurusi pencapaian di tangga lagu.

“Kami melanjutkan musik kami, kalian juga seperti itu. Mari kita lakukan saja. Siapa, sih, yang peduli dengan yang ada di nomor satu?” terangnya.

Namun, Liam peduli. Ia tak bisa menerima kekalahan tersebut. Baginya, “Roll With It” jauh lebih nendang dibanding “Country House.” Kekalahan ini, bisa ditebak, membikin Liam kian membenci Blur.

Rasa kecewa Oasis, atau lebih tepatnya Liam, segera terobati beberapa bulan kemudian manakala Oasis menyapu bersih penjualan album lewat (What’s The Story?) Morning Glory. Album ini, total, terjual hingga empat juta kopi, jauh mengungguli Blur. Pencapaian Oasis semakin paripurna saat konser mereka selama dua malam di Knebworth disaksikan seperempat juta manusia.

Blur boleh jadi memenangkan persaingan, namun Oasis-lah yang mampu menguasai medan perang akhirnya.

INFOGRAFIK Blur Vs Oasis

INFOGRAFIK Blur Vs Oasis

Reda Saat Tua

Seiring waktu, suhu rivalitas mereka mulai menurun. Penyebabnya macam-macam: dari melemahnya pengaruh Britpop hingga konflik Liam dan Noel (kakaknya) yang berujung pada bubarnya Oasis.

Keadaan itu membikin pintu rekonsiliasi perlahan terbuka. Pada 2013, Noel dan Albarn tampil satu panggung membawakan nomor klasik milik Blur, “Tender,” dalam rangka kegiatan amal.

Dua tahun setelahnya, mereka lagi-lagi bermain bersama kala menghadiri perayaan ulang tahun ke-60 Paul Simonon, bassist grup punk-rock veteran, The Clash. Bahkan, pada 2017, Albarn mengajak Noel untuk mengisi vokal di track “We’ve Got the Power” yang termaktub dalam album Humanz.

Liam, yang melihat kenyataan tersebut, makin beringas merisak Noel. Usai Oasis bubar, hubungan kakak-adik ini memang berada pada titik nadir. Mereka sama-sama membenci (tapi sebetulnya saling rindu) hingga menegaskan tak akan pernah bermain satu band lagi. Akurnya sang kakak dengan Albarn hanya menambah kadar ketidaksukaan Liam.

Toh, Noel tetap cuek bebek.

“Denger, ya, enggak ada yang peduli sama apa yang diomongin Liam,” ujar Noel suatu waktu, menanggapi kelakuan liar adiknya.

Masa rivalitas Blur-Oasis sudah lewat sejak lama. Pertarungan kedua band ini dinyatakan selesai semenjak Oasis gulung tikar dan Noel memilih “berdamai” dengan Albarn. Serangan-serangan verbal yang dikeluarkan Liam tak lebih dari guyonan semata, alih-alih disebut sebagai upaya menghidupkan lagi garis pertempuran seperti halnya yang tergambar jelas dua dekade silam.

Baca juga artikel terkait INGGRIS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Suhendra