tirto.id - Berapa banyak anak punk di dunia ini yang sudah membaptis Sid Vicious sebagai nabi mereka?
Jawabannya bisa jadi tak terhitung. Bagi anak-anak punk, Sid Vicious—dan juga Sex Pistols—adalah inspirasi, simbol pemberontakan, pahlawan, mitos, dan suar kebebasan. Perjalanan hidup Sid yang penuh kekacauan membikin namanya justru semakin mekar. Ia dipuja, ia didewakan.
Sid lahir di London pada 1957 dengan nama John Simon Ritchie. Masa kecil Sid tidaklah begitu kondusif. Keluarganya berantakan. Sid tumbuh tanpa figur orang tua. Ketika berusia belasan, Sid sering nongkrong di toko SEX, toko busana punk milik Malcolm McLaren dan Vivienne Westwood.
Di usia itu, Sid bertemu dengan John Lydon--akrab dikenal sebagai Johnny Rotten-- di Hackney Technical College. Dari Lydon pula nama “Sid Vicious” berasal. Nama Sid diambil dari nama hamster peliharaan Lydon yang namanya terinspirasi dari Syd Barret, gitaris Pink Floyd. Karena hamster ini sering menggigit, dia kerap dibilang vicious, alias ganas. Nama itu yang akhirnya dipakai oleh John Simon Ritchie sebagai nama panggung.
Kelak, Sid bergabung dengan band yang didirikan Lydon, dan mengguncang kancah musik dunia lewat band mereka: Sex Pistols.
Sid Payah, tapi Ia Karismatik
Era 1970-an adalah era rock and roll kembali berbahaya. Musik punk rock mengambil panggung. Di AS, gelombang punk bermula dari aksi MC5 dan Iggy & The Stooges di Detroit. Kedua band ini merilis rekaman yang keluar dari pakem rock pada umumnya; liar serta mengesampingkan aspek teknis. Sepak terjang MC5 dan Iggy & The Stooges seketika bikin geger kancah musik AS.
Arus punk rock di AS kian menggema dengan adanya klub bernama CGBG yang terletak di New York. Klub ini menjadi ruang bertemunya band-band yang kelak jadi pionir punk rock seperti Television, Dead Boys, Talking Heads, Blondie, sampai yang paling masyhur: Ramones.
Gelombang punk rupanya juga singgah hingga di Britania. Salah satu penggeraknya yakni Sex Pistols. Walaupun didirikan pada 1972, Sex Pistols benar-benar lepas landas tiga tahun berselang tatkala manajer mereka, Malcolm McLaren, merekrut Lydon untuk mengisi posisi vokal.
Tak lama usai Lydon bergabung, Sid kemudian menyusul. Ia menggantikan Glen Matlock di posisi pencabik bass. Sid masuk atas rekomendasi McLaren dan Vivienne Westwood, yang sudah kenal Sid sejak dia masih berusia belasan. Tak sekadar butik, SEX juga jadi tempat nongkrong anak-anak punk London, termasuk Sex Pistols.
Alasan McLaren dan Vivienne merekrut Sid ialah karena mereka menganggap Sid punya karakter sebagai seorang punk yang kuat, sekalipun pada dasarnya kemampuan Sid dalam memainkan alat musik begitu payah—meski ia pernah jadi penggebuk drum Siouxsie and the Banshees.
Bagi McLaren, Sid begitu karismatik. Ia mampu menghidupkan geliat di panggung dengan aksi-aksi yang sembrono lagi menyenangkan. Ia tak ragu bermain dalam kondisi mabuk parah, ia tak ragu mengumpat penonton, dan ia tak ragu untuk menari pogo dengan penuh keliaran.
Bersama Sex Pistols, Sid mendapatkan popularitas yang tinggi. Pada 1976, di bawah bendera EMI, mereka melepas “Anarchy in the UK” yang ditanggapi dengan meriah di kalangan penikmat musik. Setahun berselang, album debut mereka, Never Mind the Bollocks ... Here's the Sex Pistols, dirilis dan langsung duduk mantap di tangga lagu Inggris selama 12 minggu. Kesuksesan ini membikin Sex Pistols jadi primadona anak-anak muda Britania.
Di tangan Sex Pistols, punk tak sebatas ragam musik, melainkan juga jadi budaya perlawanan. Mereka mengekspresikan sinisme, kegelisahan, konfrontasi, dan kritik keras terhadap kemapanan monarki. Dua tahun eksistensi Sex Pistols di Inggris—dari 1975 sampai 1977—ditandai dengan banyak perkelahian, botol terbang, sampai penghinaan terhadap aparat. Sex Pistols merayakan hidup yang tak baik-baik saja dengan sukacita.
Namun, perjalanan Sex Pistols tak berlangsung lama. Pada 1978, di San Fransisco, ketika sedang berupaya menaklukkan Abang Sam lewat rangkaian tur, mereka memutuskan untuk bubar. Alasannya banyak: ketergantungan parah Sid terhadap narkoba, pertengkaran antar personel, sampai kehadiran Nancy Spungen, kekasih Sid, yang membikin keretakan di antara mereka kian tak bisa ditambal.
Cinta Mati untuk Nancy
“Nancy ... mengajari Sid semua tentang seks, narkoba, dan gaya hidup ala rockstar New York,” kata McLaren.
Sudah bukan jadi rahasia tatkala anak-anak Sex Pistols membenci Nancy Spungen, gadis Amerika yang dipacari Sid sejak 1977. Nancy, di mata anak-anak Sex Pistols, adalah kekasih yang kelewat mendominasi dan agresif.
Pasalnya, kehadiran Nancy membikin kecanduan Sid akan heroin menjadi tak bisa dikontrol. Ujung-ujungnya, Sid kerap bertindak kacau dalam beberapa kesempatan penampilan. Saking tidak sukanya kepada Nancy, Sex Pistols melarang Nancy ikut tur pada 1978.
Nancy boleh saja dianggap sebagai sumber masalah, tapi di mata Sid, Nancy adalah cinta sejatinya.
“Aku menyembah Nancy. Itu jauh lebih dari sekadar cinta. Untukku, ia adalah seorang dewi. Meski tidak ada yang pernah menyukai cara yang kami lakukan, Nancy adalah hidupku. Aku tinggal untuknya. Sekarang aku harus mati untuknya,” kata Sid suatu ketika.
Setelah Sex Pistols bubar, Sid memilih solo karier. Nancy didapuk jadi manajernya. Mereka kemudian pindah ke New York dan menetap di Chelsea Hotel, tempat musisi-musisi tenar seperti Bob Dylan, Janis Joplin, Leonard Cohen, sampai Jimi Hendrix pernah tinggal.
Semasa karier solonya, Sid tampil bersama banyak musisi, mulai dari Mick Jones dari The Clash, Glen Matlock (mantan bassist Sex Pistols), Rat Scabie dari The Damned, hingga Arthur Kane dari New York Dolls. Tak hanya berkolaborasi, Sid juga sempat mengeluarkan album bertajuk Sid Sings (1979).
Akan tetapi, cinta yang meletup di antara kedua insan ini tak mampu menyelamatkan kehidupan mereka yang kadung kacau dan brutal. Bersama Nancy, Sid makin terjerumus ke dalam heroin dan menjadi pecandu akut. Hubungan mereka pun bertambah kelam serta diliputi depresi tak berkesudahan.
Sampai akhirnya, pada suatu hari, kejadian tragis menimpa keduanya.
Ketika Sid terbangun dari efek mabuknya, menurut laporan Rolling Stone, ia menemukan mayat Nancy terbujur kaku di kamar hotel tempat mereka tinggal. Tubuh kekasihnya itu bersimbah darah akibat tikaman pisau di perutnya.
Sid lantas ditangkap dan diinterogasi oleh pihak kepolisian. Menurut pengakuan Sid, di malam sebelumnya, mereka memang terlibat pertengkaran. Tapi, Sid bersikeras bahwa ia tidak menikam Nancy. Ia tak mampu mengingat detail kejadian itu. Menurutnya, Nancy hanya terjatuh dan tewas tertusuk pisau.
Kendati begitu, sebagaimana diwartakan The Guardian, Sid tetap ditahan dengan tuduhan pembunuhan berencana, sebelum akhirnya dibebaskan setelah membayar uang jaminan. Mengenai rumor yang beredar, McLaren menyebut bahwa Sid tidak mungkin melakukan tindakan keji itu.
“Sid tak membunuh Nancy. Ia adalah cinta pertama dalam hidupnya,” ungkap McLaren.
Sepuluh hari setelah kematian Nancy, depresi Sid semakin gawat. Sid sempat mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya dengan pecahan lampu. Upaya Sid berhasil digagalkan petugas medis. Sid pun dilarikan ke Rumah Sakit Bellevue.
Namun, tak lama berselang, Sid akhirnya menyusul Nancy, tepat hari ini 40 tahun silam. Sid tewas setelah overdosis heroin dalam sebuah pesta di rumah Michelle Robinson, New York, di usianya yang baru menginjak 21 tahun.
Sebelum dikremasi, ibunya, Anne, menemukan pesan di saku jaketnya.
“Kami memiliki fakta kematian dan aku harus menepatinya. Tolong kuburkan aku di samping kekasihku. Kuburkan aku dengan mengenakan jaket kulit, jins, dan sepatu bot. Selamat tinggal,” demikian Sid menulis.
Permintaan Sid tak pernah terkabul. Ia tak bisa menemani kekasih sejatinya karena Sid bukanlah seorang Yahudi.
Kekacauan hidup Sid pada akhirnya telah berakhir—dengan cara yang tak kalah kacau.
Editor: Nuran Wibisono