tirto.id - Sore itu, Janis Joplin seharusnya sudah berada di Sunset Sound Studios. Ia punya agenda latihan bersama bandnya, Full Tilt Boogie Band. Namun, sampai pukul enam sore, batang hidungnya tak terlihat. Sang produser, Paul Rothschild, panik dan meminta manajer band, John Cooke, untuk mencarinya di Landmark Motor Hotel, tempat Joplin menginap.
Cooke tiba di hotel sekitar pukul tujuh malam dan melihat mobil Joplin terparkir di halaman depan. Ia segera masuk hotel, menuju kamar Joplin. Pintu diketuk, tak ada jawaban. Sekali lagi diketuk, masih tak ada jawaban. Cooke mulai was-was. Ia turun ke bawah dan meminta pengurus hotel, Jack Hagy, membuka kamar Joplin dengan paksa.
Pintu berhasil dibuka. Kesunyian menyelimuti seisi ruangan. Mata Cooke mencari-cari di mana Joplin. Hingga akhirnya, di satu titik, Cooke menemukan Joplin terbaring di atas tempat tidur. Bibirnya berdarah, hidungnya patah. Di lengan kirinya terdapat banyak bekas suntikan jarum.
Hari ini, tepat 48 tahun silam, di usianya yang masih 27 tahun, Joplin meninggal akibat overdosis. Ia menyusul Jimi Hendrix yang lebih dulu meregang nyawa 16 hari sebelumnya di usia yang sama gara-gara tersedak muntahannya sendiri. Kelak, Joplin, bersama Hendrix, Brian Jones, Jim Morrison, Kurt Cobain, dan Amy Winehouse, dimasukkan ke kelompok penuh mitos bernama Klub 27. Sebuah klub yang membawa legenda bahwa musisi (hebat) meninggal di usia 27 tahun.
Baca Juga:Kutukan Meninggal di Usia 27
Dirisak Membuatnya Lemah Sekaligus Kuat
Joplin adalah bintang pada masanya. Ia penyanyi dahsyat. Vokalnya kerap kali disebut-sebut kombinasi dari Billie Holiday, Bessie Smith, dan Aretha Franklin. Di lain sisi, Joplin juga pemberontak. Ia berdiri di garda depan Generasi Bunga yang konsisten mengkampanyekan gerakan anti-perang. Segala capaian tersebut membuat majalah Vogue, pada 1968, mendefinisikan Joplin sebagai “perempuan paling hebat di dunia”.
Namun, jauh sebelum tenar, Joplin hidup dalam kemuraman. Masa mudanya dibentuk oleh tiga hal: kesepian, perisakan, serta perasaan yang rapuh.
“Apa yang orang-orang tidak tahu dari Janis, selain ia perempuan yang sangat cerdas, sensitif, dan hidup untuk semua yang ada di sekitarnya, adalah juga hidup untuk kesakitannya sendiri. Ia sangat rapuh,” ujar Patricia, janda Jim Morrison, seperti ditulis Vanity Fair.
Joplin lahir pada 19 Januari 1943 di Port Arthur. Ia tumbuh di lingkungan keluarga kelas menengah yang konservatif. Masa kecilnya tidak terlalu mengenakkan. Dengan tubuh yang gemuk dan wajah dipenuhi jerawat, Joplin kerap diganggu teman-temannya di sekolah.
Keadaan tersebut membuatnya sulit bergaul. Di fase inilah ia mulai mengenal blues, sastra, serta puisi. Perkenalan dengan dunia seni mendorong dirinya untuk berani melawan keadaan. Ia menggunakan seni sebagai alat pembebasan atas apa yang selama ini ia terima di lingkungannya, sebuah usaha mengalihkan diri dari perisakan. Joplin mewarnai rambutnya, mengenakan pakaian layaknya pria, hingga tampil di depan publik membawakan satu-dua lagu dengan gitar akustiknya.
Setamat SMA, Joplin pindah ke Texas. Di sana, ia belajar seni di University of Texas at Austin. Tapi, lagi-lagi, Joplin kudu mendapati kenyataan pahit; ia dirisak teman-teman kampusnya karena dandanannya yang “tidak mencerminkan seorang perempuan.” Bahkan, Joplin disebut sebagai “pria paling jelek di universitas” oleh majalah satire kampus. Perisakan itu membuat Joplin muak dan memilih pindah ke San Francisco untuk merintis jalan hidup yang baru.
Cinta Joplin bersemi di San Francisco. Di sini, Joplin tak lagi mengalami perisakan. Ia menemukan ruang untuk berkembang, menyalurkan hasrat seninya, dan kelak jadi bintang besar.
Haigth-Ashbury adalah salah satu ruang itu. Di kawasan itu, Joplin membentuk musikalitasnya bersama band-band lokal macam Jefferson Airplane maupun Grateful Dead. Referensinya bertambah luas mengingat ia melahap banyak jenis musik; dari rock psikedelik sampai blues. Vokalnya pun turut terasah seiring waktu.
Pada 1967, Joplin, bersama Big Brother and the Holding Company, mengeluarkan album debut self-titled. Materi album ini begitu bernas. Senyawa rock dan psikedelik yang dimainkan mereka, di keseluruhan lagu, menyatu secara paripurna.
Album debut itu, sebagaimana ditulis Rolling Stone dalam "Goodbye, Janis Joplin," membawa kesuksesan besar bagi Big Brother and the Holding Company. Rilisan mereka memenuhi toko-toko rekaman seantero Abang Sam. Joplin juga mulai menghentak panggung-panggung besar seperti Monterey Pop Festival. Di hadapan puluhan ribu pasang mata, Joplin sukses bikin heboh.
Kesuksesan Big Brother and the Holding Company, catat The Telegraph, berlanjut pada 1968. Album mereka, Cheap Thrills, yang menawarkan aroma blues, terjual jutaan kopi. Nomor-nomor seperti “Ball and Chain” sampai “Piece of My Heart” meledak di pasaran.
Dua kesuksesan tersebut mengerek pamor Joplin. Ia menjadi bintang besar, ikon rock and roll yang baru, dan sederet puja-puji lainnya. Newsweek, pada 1969, menjadikannya sampul majalah dengan tajuk bertuliskan, “Rebirth of Blues.” Sementara kritikus jazz veteran, Nat Hentoff, menyebut bahwa Joplin adalah "penyanyi perempuan kulit putih pertama, sejak era Teddy Grace, yang menyanyikan blues dengan karakternya sendiri.”
Kendati telah jadi bintang rock, Joplin tak lupa dengan akarnya. Mengutip Vanity Fair, ia rutin mengirimkan surat kepada ibunya. Menceritakan segala hal yang ia alami di San Francisco; berpacaran dengan sesama musisi, betapa padatnya jadwal konser, serta perkara-perkara remeh lainnya.
Namun, di balik itu semua, Joplin sebetulnya hanya ingin menegaskan kepada kedua orangtuanya bahwa ia tak salah memilih musik sebagai jalan hidupnya. Ia ingin orangtuanya mendukung mimpi-mimpinya dan memaafkannya atas kesalahan-kesalahan yang pernah ia buat.
Satu waktu, tepatnya 25 Juni 1970, Joplin diundang di acara televisi besutan Dick Cavett. Mereka ngobrol banyak hal; tentang perasaannya menjadi megabintang sampai soal inspirasinya dalam bermusik. Hingga akhirnya Cavett mencoba bertanya tentang teman-temannya semasa sekolah. Joplin menjawab enteng:
“[Dulu] mereka menertawakan saya ketika keluar dari kelas, kota, dan negara. Sekarang, saya yang akan tertawa.”
Dan Joplin memang berhasil melakukannya.
Mengubur Kesendirian
Berbagai pencapaian yang Joplin peroleh, di saat bersamaan, juga membawanya ke lembah keterpurukan. Gemerlap rock and roll membuatnya terjerumus pada alkohol, seks bebas, dan obat-obatan terlarang. Sebagian orang mungkin menganggap wajar belaka jika bintang rock menenggak alkohol dan memakai obat-obatan terlarang.
Akan tetapi, bagi Joplin sendiri, alkohol dan obat-obatan adalah caranya lari dari kesepian akut, kerinduan terhadap keluarga, serta masa lalu yang kelam.
“Rasa sakit itulah yang mendorong Janis berjuang untuk menjadi bintang,” kata Patricia. “Mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk melarikan diri, demi perlindungan mereka sendiri, meski hanya bisa meredakannya dalam porsi yang sedikit lewat minuman keras, obat-obatan, dan seks.”
Joplin sudah menuntaskan salah satu impiannya. Suaranya didengar seluruh dunia. Sosoknya dijadikan inspirasi generasi muda setelahnya. Namun, pada akhirnya, ia tak bisa menuntaskan misi yang lain; membunuh rasa sepi.
“Di atas panggung, aku bercinta dengan 25 ribu orang. Lalu, aku pulang sendirian,” ujar Joplin dalam satu kesempatan.
Kesendirian itulah yang menemani hingga akhir hidupnya. Tak ada orang tua, nihil teman, sonder kerabat. Hanya jarum suntik dan bungkusan heroin.
Editor: Nuran Wibisono