tirto.id - Di tengah kemunculan Threads sebagai penantang Twitter, TikTok diam-diam meluncurkan aplikasi streaming musik bernama TikTok Music. Ia menjadi rival baru Spotify, sang penguasa layanan streaming musik dengan 210 juta pengguna berbayar, juga Apple Music, dan Youtube Music.
Dalam usaha memenangkan pertempuran melawan nama-nama lawas itu, Ole Obermann, TikTok Global Head of Music Business Development, dalam keterangan tertulisnya menyebut bahwa TikTok mencoba merayu hati masyarakat untuk beralih menggunakan TikTok Music.
Caranya dengan "memadukan kekuatan penemuan musik di TikTok". Media sosial ini kiwari secara de facto tengah menjadi, meminjam frasa yang digunakan Elon Musk untuk Twitter, "digital town square" dunia.
Diluncurkan 17 tahun selepas Spotify atau delapan tahun setelah Youtube Music milik Google dengan strategi "bundling" bersama Youtube Premium, TikTok Music tertinggal jauh.
Terlebih, meskipun terjadi pertumbuhan pengguna berbayar streaming musik di seluruh dunia sebesar 17,6 persen, dari 523 juta menjadi 616 juta pengguna dalam rentang 2021 hingga 2022, porsi terbesar pertumbuhan tersebut direngkuh Spotify dan pertumbuhannya masih terkerek fenomena Covid-19.
Artinya, jika ingin mengalahkan pemain-pemain lama di dunia streaming musik, TikTok Music harus menapaki jalan terjal.
Namun, jalan ini juga bisa saja dapat dilalui dengan baik oleh TikTok Music. Musababnya, kembali pada keterangan yang dituturkan Obermann, TikTok Music memiliki TikTok--media sosial yang hanya terlihat sebagai platform video pendek, jati dirinya dibangun oleh musik.
Arus Informasi yang Dipersonalisasi
Pada 1929, penulis asal Hungaria bernama Frigyes Karinthy menulis esai berjudul "Chain-Links" yang di dalamnya menyebut bahwa Bumi menyusut.
"Penyusutan Bumi terjadi karena denyut nadi komunikasi fisik dan verbal yang kian cepat. Setiap orang di Bumi, atas kehendak saya atau siapapun, sekarang dapat mengetahui pikiran atau apa yang sedang saya lakukan hanya dalam tempo beberapa menit," tulisnya.
Meskipun menyinggung perkembangan komunikasi sebagai biang penyusutan Bumi, Karinthy tak berbicara soal telegram atau teknologi komunikasi apapun yang tengah berkembang saat itu. Dalam esainya, ia mengajukan konsep bertajuk "six degree" sebagai pangkal utama menyusutnya Bumi.
Menurut konsep ini, Bumi yang kala itu diisi 1,5 miliar jiwa, setiap orang hanya butuh lima pengantar atau pihak ketiga untuk terhubung dengan siapapun, di manapun. Hal ini ditanggapi sosiolog asal Amerika Serikat bernama Stanley Milgram pada 1967 yang menganggap hipotesis Karinthy benar.
Memanfaatkan komputer dalam upaya menghubungkan sosok acak asal Nebraska dengan sosok acak lainnya asal Boston dalam kerangka penelitian berjudul "small world problem", Milgram menyebut bahwa setiap orang di dunia rata-rata hanya butuh 5,2 penengah untuk terhubung dengan siapapun di seluruh dunia.
Pada 1993, konsep yang diajukan Karinthy diadaptasi menjadi film fiksi berjudul Six Degrees of Separation.
Empat tahun kemudian, dalam upaya mengindeks seluruh hubungan sosial manusia di satu tempat secara digital, Andrew Weinreich pengacara cum pengusaha asal Amerika Serikat menggunakan konsep tersebut untuk menciptakan media sosial pertama di dunia bernama Sixdegrees.
Karena mensyaratkan surel untuk membuka akun, Sixdegrees tak berkembang sebab hanya secuil masyarakat kala itu yang telah memiliki surel. Tujuh tahun setelah Sixdegress lahir dan hanya untuk tumbang, Mark Zuckerberg melanjutkan tongkat estafet dengan Facebook.
Memanfaatkan konsep itu untuk membangun algoritma bernama social graph yang melekat dalam Facebook, media sosial ini dengan cepat menggurita. Kemudian menjadi salah satu alat utama masyarakat dunia untuk menjaga hubungan sosial mereka.
TikTok yang datang belakangan mencoba menantang kedigdayaan Facebook yang semakin menggurita setelah mengakuisisi Instagram dan WhatsApp.
Namun, sebagaimana dituturkan Jia Tolentino dalam "The Meme Factory" (The New Yorker, Edisi 30 September 2019), TikTok tak datang dengan resep lawas "six degree", melainkan dengan konsep baru media sosial yang menurutnya, "unik, tidak ada sangkut-paut apapun dengan jaringan sosial dalam konteks konvensional."
Tolentino menambahkan, TikTok tak meminta penggunanya memberi tahu siapa yang mereka kenal atau ingin dikenal seperti Facebook, Instagram, atau Twitter.
"‘Large-scale AI models’-lah yang bertanggung jawab menarik benang sosial antar penggunanya dengan menciptakan ‘personalized information flows’,” ujarnya.
Kerja otomatisasi ini membangun jaringan sosial yang sebetulnya mirip dengan cara kerja Youtube, tetapi jauh lebih canggih. Jika dalam tempo 10 menit pengguna Youtube hanya dapat menonton 1-2 video, di TikTok durasi itu dapat dimanfaatkan penggunanya untuk menonton puluhan video, karena TikTok memakai konsep video pendek yang dijiplak dari Vine.
Dengan kuantitas besar video yang dapat ditonton dalam tempo pendek, mengutip penuturan John Seabrook dalam "So You Want to Be a TikTok Star" (The New Yorker, Edisi 12 Desember 2022), algoritma TikTok memanfaatkannya sebagai "sinyal".
Kecuali para programmer TikTok, tidak ada yang tahu persis bagaimana algoritma TikTok bekerja. Namun, teori mengemuka bahwa "sinyal" tersebut, yang diterjemahkan dalam bentuk seberapa lama pengguna menggeser ke video berikutnya, serta like dan komentar dari pengguna, dijadikan "engagement" untuk memberi nutrisi pada "personalized information flows" dalam menarik benang merah selera si pengguna.
Dalam menyempurnakan "personalized information flows", TikTok juga diduga memanfaatkan teknik bernama "virtuous cycle of AI". Teknik ini menyajikan kembali video yang disukai atau tidak disukai pengguna untuk memastikan bahwa mereka menyukai atau tidak menyukai tema video yang diulang, persis seperti soal-soal psikotes yang sering kali berulang untuk memastikan psikolog memberikan analisis yang presisi terhadap pasien mereka.
"Jika algoritma-algoritma media sosial lain berperilaku selayaknya pelayan restoran yang suka memerintah dengan meminta pengunjungnya memberitahu preferensi mereka untuk merekomendasikan menu, TikTok memesankan makan malam bagi pengunjungnya dengan hanya melihat gerak-gerik mereka melihat menu,” tulis Seabrook.
Namun, algoritma yang cerdas saja tak cukup bagi TikTok memanjakan penggunanya. Kuncinya tetap pada konten.
"Metaverse" Baru Dunia Musik
Selain meniru resep Vine yang mengutamakan kamera depan ponsel dengan pelbagai filter yang dapat dipilih pengguna, dan meniru media sosial lain dengan mendelegasikan pembuatan konten kepada pengguna, TikTok juga memberikan pilihan “scoring music” tak terbatas.
Jika pengguna Youtube, misalnya, ketar-ketir mendapat surat peringatan dari pemilik musik, TikTok sebaliknya. Mereka memastikan pengguna TikTok tak memperoleh serangan legal apapun dari pemilik musik soal penggunaan musik sebagai latar belakang video.
Ini dapat dilakukan TikTok karena mereka berhasil memberi pemahaman kepada pemilik musik bahwa penggunaan musik secara bebas untuk “TikTok content creator” dapat menjadi “engagement” bagi musik bersangkutan.
Karena Musically diakuisisi TikTok, maka penggunaan musik dari katalog super besar yang dapat dipakai pengguna tak perlu menyertakan musik atau lagu utuh, tetapi hanya elemen tertentu dalam sebuah musik/lagu dengan bass besar penuh “punchline” yang enak dinikmati.
Hasilnya, konten-konten TikTok penuh gairah. Bagi pemilik musik, karena TikTok memberikan tombol khusus di pojok kanan bawah untuk memberi tahu penggunanya tentang musik apa yang menjadi latar belakang, maka “engagement” benar-benar terjadi.
TikTok, yang terlihat sebagai versi mungil dari Youtube, akhirnya berkorespondensi secara positif dengan tangga lagu Billboard.
Kembali merujuk penuturan Seabrook, “TikTok telah menjadi alat penemuan musik yang ampuh, yang terjadi karena dalam satu menit berdiam diri di aplikasi ini, misalnya, pengguna dapat mendengarkan dua puluh atau lebih musik yang telah disinkronkan dengan video yang dibuat para kreator [...] Video-video yang ada di TikTok menjadi semacam trailer bagi suatu musik atau lagu.”
Hal ini membuat TikTok banyak mengorbitkan musisi baru dan lawas, semisal Jain dari Prancis yang baru-baru ini namanya cukup populer gara-gara lagu “Makeba” rutin dijadikan latar belakang video yang dibuat para konten kreator TikTok.
Bagi pemilik musik (studio/label), TikTok jadi medan pertempuran mendulang uang, menggiring mereka mewajibkan para musisinya terlibat aktif di TikTok.
Menjadi “Aha!” momen bagi Ole Obermann pada 2018--saat masih menjadi Chief Digital Officer Warner Music Group--untuk menanggalkan jabatannya dan bergabung dengan TikTok. Ia yakin TikTok merupakan “metaverse” baru dunia musik.
Editor: Irfan Teguh Pribadi