Menuju konten utama
Obituari

Semua Orang Ingin Berpesta dengan Aretha Franklin

Aretha Franklin meninggal dunia pada 16 Agustus 2018 di usia 76 tahun.

Semua Orang Ingin Berpesta dengan Aretha Franklin
Aretha Franklin. AP/MediaPunch

tirto.id - Salah satu adegan paling menarik, sekaligus bikin haru, di film The School of Rock adalah saat Dewey Finn bercakap-cakap dengan Tomika. Dewey adalah rocker kugiran yang menyamar jadi guru pengganti di sebuah sekolah swasta mahal. Di sana, secara diam-diam, Dewey mengajarkan esensi musik rock, termasuk memberikan referensi musik pada para murid. Sedangkan Tomika adalah salah satu murid Dewey yang bersuara emas namun acap tak percaya diri karena berbadan gemuk. Suatu hari, jelang tampil, Tomika ingin mundur dari band. Dewey heran dan bertanya apa alasannya.

“Karena aku gemuk?”

“Tomika, kamu punya hal yang diinginkan banyak orang: bakat. Kamu pernah dengar Aretha Franklin, kan? Dia itu perempuan bertubuh besar. Tapi saat dia nyanyi, wuih, semua orang pasti terpesona. Semua orang ingin berpesta dengan Aretha!”

Aretha Franklin memang jaminan mutu. Jika menyebut namanya, yang terbayang adalah suara emas menggelegar yang, seperti kata Dewey, membuat orang ingin berpesta bersamanya: bernyanyi dan berdansa seolah ini adalah hari terakhir mereka. Di sisi lain, Aretha bisa membuatmu meneteskan air mata --bukan air mata sedih atau bahagia, melainkan air mata yang sekonyong-konyong terbit karena kamu menyaksikan dan mendengarkan sesuatu yang luhur dan tiada banding.

Adegan itu salah satunya pernah muncul ketika Aretha tampil di Kennedy Center Honors pada 2015. Saat itu, penerima penghargaan dari Kennedy Center Honors adalah Rita Moreno, Seiji Ozawa, Cicely Tyson, George Lucas, dan Carole King. Di atas balkon, para penerima penghargaan itu duduk bersama beberapa orang tamu kehormatan, termasuk Barack Obama dan Michele, yang kala itu masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat dan ibu negara.

Ketika sampai pada penghargaan untuk Carole King, Aretha turut tampil. Aretha yang tampil dalam balutan mantel bulu panjang berwarna cokelat itu lantas duduk di depan piano Yamaha hitam. Tuts piano pertama ditekan, Carole terperanjat. Saat mulut Aretha terbuka dan mulai menyanyikan bait “(You Make Me Feel Like) A Natural Woman”, Carole sudah tak kuasa lagi menahan haru. Tangannya menutupi mulut, matanya berkaca-kaca. Kamera lantas menyorot Obama berkali-kali mengusap matanya yang basah.

Malam itu, dengan berat hati harus dibilang, para penerima penghargaan Kennedy Center Honors adalah bintang nomor dua. Bintang utamanya adalah Aretha. Kalau tidak setuju, silakan tanya saja semua tamu yang memberikan standing applause, juga tengok Obama yang berkali-kali memejamkan mata dan mengepalkan tangan. Kuping dan matanya mengalami orgasme malam itu.

Anak Suami Istri Bersuara Dahsyat

Aretha Louise Franklin lahir pada 25 Maret 1942. Anak keempat dalam keluarga berisi lima orang anak ini tumbuh di keluarga yang memadukan relijiusitas dan seni. Sang ayah, Clarence LaVaughn Franklin, adalah seorang pendeta kharismatik yang dikenal punya suara apik. Julukannya tak tanggung: The Man With Million Dollar Voice. Tapi dia banyak dikritik karena sebagai pendeta dianggap mata duitan dan konsumtif.

Mark Bego, penulis Aretha Franklin: The Queen of Soul (2001), menulis bahwa pada 1950-an, Clarence mematok tarif hingga empat ribu dolar untuk sekali khotbah. Mark juga mencatat bahwa Time pernah menulis, pada 1960-an, Clarence jelas berfoya-foya dengan honor khotbah itu. Ia punya Cadillacs, pin dari berlian, hingga sepatu dari kulit buaya. Gaya hidupnya amat mencolok, apalagi Clarence tinggal di lingkungan kumuh.

Sedangkan ibu Aretha, Barbara Siggers, adalah seorang penyanyi gospel. Ia juga lihai bermain piano. Mahalia Jackson, salah satu penyanyi gospel kondang, pernah menyebut Barbara sebagai salah satu penyanyi gospel terbaik di Amerika. Bahkan, kata Mahalia, suara Barbara lebih dahsyat ketimbang Clarence.

Pernikahan Clarence dan Barbara tak bertahan lama. Pada 1948, Barbara minggat meninggalkan suami dan empat orang anaknya. Ia pindah ke Buffalo, New York dan bekerja sebagai perawat. Beberapa orang dekat keluarga ini menganggap Barbara meninggalkan keluarga. Meski begitu, Aretha dan saudara-saudarinya masih sering mengunjungi Barbara, begitu pula sebaliknya. Aretha juga terkesan dengan pekerjaan ibunya, sehingga sempat terbersit olehnya untuk jadi perawat.

Sayang, Barbara meninggal muda pada 1952. Usianya masih 34 tahun. Aretha yang masih berusia 10 tahun, cukup kaget dengan kabar lelayu yang disampaikan ayahnya dengan datar itu. Usai meninggal, cap bahwa Barbara meninggalkan keluarganya tak kunjung luntur. Aretha selalu membelanya.

“Pernikahannya dengan ayahku yang dia tinggalkan,” kata Aretha.

Sebagai keluarga yang pekat dikelilingi aroma musikal, Aretha tumbuh dengan musik, terutama gospel. “Selalu ada musik di rumah kami,” kenang Aretha. Dalam The Queen of Soul, Aretha coba menggambarkan suasana masa kecil yang berbahagia itu.

“Di satu ruangan, ada radio menyala. Di ruangan lain, ada pemutar piringan hitam. Di ruang tamu, ada yang main piano dengan keras. Para musisi seperti Art Tatum, Arthur Prysock, Dinah Washington, Lionel Hampton, Sam Cooke, James Cleveland, dan Clara Ward sering datang ke rumah kami. Jadi aku sudah terbiasa berada di sekitar orang-orang terkenal. Mahalia sering datang dan masak, lalu duduk dan makan bareng.”

Dengan latar belakang musikal seperti itu, tak heran kalau kemudian Aretha memilih untuk jadi penyanyi. Keyakinannya itu dipicu saat mendengar Clara Ward menyanyi di pemakaman salah satu bibi Aretha.

“Waktu Ward menyanyi, wow, aku langsung bengong. Saat itu juga aku tahu ingin jadi apa: penyanyi!”

Di usia 12 tahun, Aretha mulai bernyanyi di gereja-gereja dalam rangkaian tur bertajuk “Gospel Caravan” yang dibikin ayahnya, yang sekaligus bertindak sebagai manajernya. Aretha bergabung dengan kuartet penyanyi gospel, bareng sang kakak, Erma. Di kelompok itu, Aretha juga bermain piano. Setelah berapa saat, Aretha kemudian “naik pangkat” dan tampil sebagai solis. Usai penampilan pertama, beberapa jemaah gereja memuji suaranya. Ketika usianya 14 tahun, Aretha merilis album penampilan konsernya, Songs of Faith. Dari namanya, jelas kalau ini adalah album gospel.

Ketika usianya 18, Aretha berhasil meyakinkan ayahnya untuk jadi penyanyi pop. Demo berisi dua lagu itu menarik perhatian Columbia Records. Perusahaan rekaman yang berdiri sejak 1887 itu kemudian merekrut Aretha. Dalam Ebony --majalah bulanan yang menyasar pembaca Afrika-Amerika-- edisi 1964, suara Aretha dipuji amat ekletik, dan bisa membuat, “gerombolan pemabuk berisik jadi tenang dan kompak menepukkan tangan seperti tengah beribadah.” Majalah itu juga menyebut Aretha hanya akan menuju satu arah: puncak kesuksesan.

Nubuat majalah itu tampak benar belaka. Pada 1961, Columbia merilis album perdana Aretha, Aretha: With The Ray Bryant Combo. Dalam liner notes album berisi 12 lagu ini, produser Frank Driggs meletakkan Aretha nyaris menyundul langit.

“Menggabungkan gaya bernyanyi yang amat alamiah, dengan sense ritmik yang susah ditolak, Aretha Franklin telah memposisikan dirinya sebagai salah satu penampil paling dicari dalam industri musik, dan sepertinya akan memacak standar baru dalam industri hiburan. Dia tak hanya membuka pintu, dia mendobraknya.”

Aretha kemudian memang nyaris tak bisa dihentikan. Perempuan yang tumbuh besar di Detroit ini melesat jadi salah satu penyanyi terbaik sepanjang masa. Dia berpindah-pindah label rekaman, dari JVB ke Columbia, lalu ke Atlantic, juga ke Arista. Semuanya mendulang sukses yang sama. Sepanjang kariernya, Aretha merilis 42 album studio, 45 album kompilasi, dan 6 album live. Aretha berhasil menjual sekira 75 juta keping album, membuatnya jadi salah satu artis dengan penjualan album terlaris.

Namanya diukir dengan tinta emas, salah satunya saat dia dimasukkan ke dalam senarai Rock and Roll Hall of Fame pada 1987. Aretha adalah perempuan pertama yang masuk dalam daftar bergengsi itu. Rolling Stone memasukkan namanya ke dalam daftar 100 Artis Terbaik Sepanjang Masa, dan 100 Penyanyi Terbaik Sepanjang Masa. David Remnick, penulis The New Yorker, menyebut Aretha adalah penyanyi tanpa tanding.

"James Brown, Sam Cooke, Etta James, Otis Redding, Ray Charles: mereka bahkan tak bisa menyamai kekuatan vokal Aretha, juga rentang gagrak yang luas, dari gospel hingga jazz, R&B, dan pop," puji Remnick.

Semua Orang Ingin Berpesta dengan Aretha!

Pada dasarnya, Aretha sudah melampaui apa-apa yang dicapai penyanyi seangkatannya. Dia lebih dari seorang biduanita. Banyak aktivis perempuan, misalkan, mendaulat namanya sebagai penyanyi yang menggelorakan semangat feminisme dan women power. Salah satunya berkat lagu “Respect”. Lagu itu memang buatan Otis Redding, tapi Aretha memberinya nyawa tambahan, sekaligus mengubah arah lagu.

“Lagu klasik ini kemudian jadi lagu kebangsaan para feminis dan pejuang hak asasi,” tulis Graeme Ross.

Sebagai perempuan, perempuan yang diberi bintang di Hollywood Walk of Fame pada 1979 ini juga dikenal sebagai seorang penyintas kehidupan. Sebagai perempuan yang tumbuh di lingkungan patriarki, Aretha sering mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Di usia 12 tahun, Aretha sudah melahirkan anak pertamanya. Di usia 14, Aretha sudah jadi ibu dari dua anak.

Dalam Respect: The Life of Aretha Franklin (2014), David Ritz memaparkan sisi gelap Aretha. Ritz, penulis yang juga menggarap biografi resmi Aretha: From These Roots (1999), membuat banyak orang terhenyak karena sisi gelap Aretha itu. Selama ini, Aretha selalu ditampilkan sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, dan dicintai banyak orang.

Di biografi tak resmi yang ditulis dengan narasumber para musisi dan sanak saudara Aretha --dan mengundang kemarahan dari Aretha yang bilang isi buku itu adalah fitnah dan kebohongan-- Ritz menulis beberapa kisah. Misalkan, sang ratu ini digambarkan sebagai sosok pemberang, alkoholik, doyan seks, gampang cemas, dan kerap merasa tak aman.

Menurut Ritz, gereja yang dipimpin oleh Clarence sering mengadakan orgy, yang disebut Ray Charles sebagai, “sirkus seks”. Pesta penuh birahi itu yang kemudian membuka wawasan seks Aretha terlalu dini, yang kemudian menghasilkan anak pertamanya. Bahkan sebelum buku ini beredar --dan sebelum diketahui bahwa ayah dari anak pertama Aretha adalah seorang kawan sekolah bernama Donald Burk-- Aretha sempat digosipkan hamil oleh ayahnya sendiri.

Infografik Aretha Franklin

Ketika menikah untuk pertama kalinya dengan Theodore White di usia 19 tahun, Aretha kerap dipukul dan ditendang. Di buku yang ditulis Mark Bego, dikisahkan bahwa Aretha memang punya masalah dalam kehidupan pribadinya. Jerry Wexler, jurnalis yang kemudian jadi produser musik, menyebut kehidupan Aretha amat menyedihkan. Saking bikin haru, Wexler menjuluki Aretha sebagai lady of sorrow.

“Sedangkan Clyde Otis,” tulis Mark, “takjub karena Aretha bisa terus menyanyi, padahal dia tahu Aretha amat depresi, seolah ia memikul beban seluruh dunia di bahunya.”

Hebatnya Aretha adalah, dia bisa menjabat erat tangan kesedihan. Aretha menjadikan kesenduan sebagai karib, mendorongnya untuk terus menyanyi dan berkreasi. Tak mudah, memang. Agar tetap bisa jalan terus, Aretha juga berkawan lama dengan alkohol dan rokok. Dari Aretha, banyak orang kemudian menyadari: jadi legenda seringkali bukan hanya perkara bakat, tapi juga tentang mental kuat dan kemauan untuk terus berjalan. Kerja keras dan segala upaya untuk menyingkirkan segala depresi, membuatnya jadi penyanyi yang berpengaruh, bahkan hingga abad berganti.

Suara Aretha yang sering dilabeli sebagai “mezzo-soprano yang amat bertenaga”, menjadi standar tinggi dalam dunia musik, terutama bagi para penyanyi gospel, soul, blues, dan R&B. Di usia yang menginjak 75, Aretha masih terus bernyanyi dan tur. Meski demikian, beberapa kali konsernya dibatalkan karena kondisi kesehatan yang memburuk dan terus memburuk. Dalam sebuah konser di Detroit, Aretha bahkan meminta para penonton mendoakan kesehatannya.

Pada 13 Agustus 2018, jagat media sosial ramai karena berita tentang Aretha yang mengalami sakit keras, disebut “gravely ill.” Banyak orang memanjatkan doa, berharap Aretha akan sembuh, seperti dia yang selama ini selalu bangkit meski kena tonjok hidup yang sial dangkalan ini.

Sejak 2010, Aretha memang diisukan mengidap “penyakit misterius”. Penyakit ini yang membuat Aretha membatalkan banyak konser, juga membuat dokter melarang Aretha tampil di hadapan publik. Pada 1 Desember 2010, The National Enquirer menulis bahwa Aretha mengidap kanker pankreas. Bahkan, dalam buku biografi yang ditulis oleh Mark Bego, The National Enquirer menyebut Aretha hanya punya sisa waktu delapan bulan.

Kanker memang musuh utama keluarga Aretha. Kakak perempuannya, Erma, meninggal karena kanker tenggorokan. Sedangkan adiknya, Carolyn, meninggal karena kanker payudara. Dan memang benar, kanker pula yang akhirnya membuat Aretha harus mengucap selamat tinggal.

Pada 16 Agustus 2018, pukul 9.50 pagi waktu Detroit, pelantun lagu “(You Make Me Feel Like) A Natural Woman” ini meninggal dunia di usia 76 tahun. Dalam kabar lelayu yang disampaikan oleh publisisnya, Gwendolyn Quinn, disebut bahwa Aretha meninggal karena kanker pankreas tipe neuroendocrine dan sudah dikonfirmasi oleh dokter onkologi yang menangani Aretha, dr. Philip Phillips dari Karmanos Cancer Institute.

Kabar lelayu ini membuat banyak orang patah hati. Perempuan yang membuat semua orang ingin berpesta bersamanya itu telah meninggalkan banyak warisan musik yang menakjubkan dan akan terus hidup. Setelah Aretha pergi, pesta tak akan pernah sama lagi. Selamat jalan Aretha, selamat berpesta di atas sana.

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono