Menuju konten utama
27 November 1942

Jimi Hendrix Mati Muda, tapi Namanya Begitu Melegenda

Bunga pelangi.
Kelahiran sebuah
gaung distorsi.

Jimi Hendrix Mati Muda, tapi Namanya Begitu Melegenda
Ilustrasi Jimi Hendrix. tirto.id/Gery

tirto.id - 18 Juni 1967. Fotografer Ed Caraeff sedang leyeh-leyeh di sebuah kursi, di depan panggung Monterey Festival. Di atas pentas, band bernama The Jimi Hendrix Experience sedang melakukan debut panggung besarnya. Hingga kemudian Hendrix, gitaris merangkap vokalis band itu, menyiramkan butane ke atas gitar dan menyulut api.

Caraeff yang masih berusia 17 langsung gerak cepat, merasa bahwa ini momen penting. Klik! Klik! Klik! Beberapa foto ia ambil dengan cepat. Setelah dicetak, baru gambar itu terlihat. Hendrix mengenakan celana merah, gaun ruffled lengan panjang, rompi hitam, duduk bersimpuh dengan posisi tangan seperti berdoa.

Foto itu kemudian tampil sebagai gambar sampul majalah Rolling Stone dan menjadi salah satu foto paling penting, sekaligus paling ikonik, dalam sejarah rock n roll.

"Tidak ada lagi yang bisa menyamai Hendrix. Kamu tak akan pernah bisa melihat lagi momen seperti itu," ujar Caraeff pada CNN.

Baca juga:

Pada 2012, gitar gosong itu laku terjual seharga 380 ribu dolar dalam sebuah lelang. Setelah lima tahun dikoleksi, sang pemilik sebelumnya memutuskan untuk menjual gitar bersejarah tersebut. Lembaga lelang Heritage Auctions bertugas menangani penjualannya. Mereka mematok harga awal 500 ribu dolar, dan berharap harganya bisa mencapai setidaknya 750 ribu dolar.

Jimi Hendrix memang sosok fenomenal. Ia lahir di Seattle, Washington, pada 27 November 1942—tepat hari ini 75 tahun lalu. Lahir dengan akta kelahiran tertulis Johnny Allen Hendrix, ia kemudian berganti nama jadi James Marshall Hendrix. Ia berkali-kali dinobatkan sebagai gitaris terbaik sepanjang masa, yang melahirkan riff-riff monumental.

Hendrix membeli gitar pertamanya saat berusia 15 tahun—usai penantian panjang menjadikan sapu sebagai gitar imajiner saat masih duduk di bangku SD. Ia tumbuh dengan blues. Mendengarkan B.B. King, Muddy Waters, hingga, tentu saja, Robert Johnson.

Dasar bengal, musik tidak bisa menjauhkannya dari kenakalan remaja. Ia dua kali tertangkap naik mobil curian. Menurut polisi, Hendrix sempat dipenjara sehari setelah tertangkap di kasus pertama. Setelah dilepas, empat hari kemudian Hendrix tertangkap lagi naik mobil curian. Ia kembali masuk bui, delapan hari di penjara remaja.

Dalam Room Full of Mirrors: A Biography of Jimi Hendrix (2005), disebutkan bahwa Hendrix terancam penjara 5 tahun jika terbukti bersalah. Jaksa penuntut memberikan tawaran: penjara atau mendaftar jadi tentara. Bagi pria dengan imajinasi seliar Hendrix, penjara lebih mengerikan ketimbang kemungkinan tertembak bedil. Ia memilih mendaftar ke tentara.

Serdadu Nakal yang Dipaksa Keluar

31 Mei 1961. Hendrix tiba di Fort Ord, California, untuk memulai latihan militer dasar. Saat mendaftar, ia memilih posisi sebagai juru tulis dan meminta ditugaskan di kesatuan 101st Airborne. Ia mengaku tertarik masuk sebagai penerjun payung karena, "ada bonus 55 dolar per bulan."

Di markas angkatan udara di Kentucky, Hendrix tetap bermain gitar. Sang ayah yang mengirimnya dari rumah. Ia kemudian mengenal Billy Cox, pemain bass yang kelak menjadi rekan Hendrix di Band of Gypsys dan Cry of Love. Mereka kemudian rutin manggung setiap akhir pekan.

Hendrix tak pernah betah di militer. Ia pernah menyebut, "amat benci kehidupan militer." Meski begitu, ia tetap menyelesaikan latihan sebagai penerjun payung dalam waktu 8 bulan. Beberapa atasan mulai mengkritik sikapnya yang bengal dan susah diatur.

Salah satu yang mengeluh adalah sersan di kesatuannya, James C. Spears. Keluhannya ditulis dalam Becoming Jimi Hendrix: From Southern Crossroads to Psychedelic London, the Untold Story of a Musical Genius (2010).

"Hendrix tidak punya ketertarikan atau minat di militer. Pendapat saya, tamtama Hendrix tidak akan pernah bisa memenuhi standar seorang tentara. Saya merasa, militer akan diuntungkan jika ia diberhentikan secepat mungkin," ujar Spears.

Lucunya, Kapten Gilbert Batchman kemudian menambahkan catatan "kenakalan" untuk mendukung diberhentikannya Hendrix. Kenakalan itu antara lain: tidak peduli pada peraturan, masturbasi di area militer. Akhirnya pada 29 Juni 1962, Hendrix diberhentikan dengan hormat.

Dunia musik berutang besar pada sikap bengal Hendrix, maupun kebesaran hati para petinggi militer—yang bisa saja lebih keras kepala mendidik Hendrix atau menerjunkannya di area perang, alih-alih melepasnya. Kalau tidak begitu, kita semua akan merugi: gagal menikmati musik yang dihasilkan gitaris kidal ini.

Baca juga:

Lahirnya Sang Legenda

Setelah sempat melanglang di Tennessee bersama Cox, Hendrix merekam lagu "Testify" dengan label Isley Brothers. Tapi gagal. Hendrix juga sempat menjadi gitaris bagi Little Richards.

Karier bermusiknya mulai menemukan titik terang pada 1966. Chas Chandler dari band The Animals membawanya ke London untuk bertemu dengan dua musisi dari Inggris, bassist Noel Redding dan drummer Mitch Mitchell. Trio ini kemudian disatukan menjadi The Jimi Hendrix Experience. Biasa disingkat The Experience. Chandler berperan besar dalam karier Hendrix. Selain membawanya ke Inggris dan menjadi manajernya kelak, Chandler pula yang punya ide mengganti nama Jimmy menjadi Jimi.

Bersama The Experience, Hendrix tampil menjadi dewa gitar baru. Lagu-lagunya perpaduan dari kebisingan distorsi dan keanggunan blues. Kalau soal suara, Hendrix boleh saja tidak perlu dianggap serius. Tapi soal gitar, ia memang seorang maestro.

Baca juga: Musik Rock Paling Sering Didengar Dokter Saat Operasi

Album pertamanya, Are You Experienced (1967), melahirkan banyak lagu hits dengan permainan gitar yang layak dikenang. "Fire" menampilkan sisi yang eksplosif, "Manic Depression" yang mencolok kuping, "Hey Joe" dengan intro yang membuatmu membayangkan bagaimana perasaan lelaki penuh angkara yang menenteng pistol, hingga "The Wind Cries Mary" yang kemudian menjadi semacam purwarupa "Little Wing".

The Experience merilis dua album pada 1967. Axis: Bold as Love dilepas sebagai album kedua. "Bold as Love" menampilkan sisi pop Hendrix. Pilihan riff, juga liukan petikan gitar, menghasilkan lagu yang di kemudian hari banyak digarap ulang, termasuk oleh John Mayer. Dan jangan lupakan "Little Wing" yang bisa jadi adalah salah satu lagu blues paling dikenal di dunia. Ia menjadi "lagu kebangsaan" para gitaris yang ingin unjuk kemahiran jemari.

Infografik Mozaik Jimi Hendrix

Karier The Experience dipungkasi oleh Electric Ladyland (1968). Album ini melahirkan lagu legendaris "Voodoo Chile" (atau "Voodoo Child (Slight Return)", yang menunjukkan bahwa Hendrix sering lupa judul sendiri hingga membuat banyak orang bingung) dan juga "Crosstown Traffic" yang bisa membawa kita membayangkan betapa riuhnya New York—atau Jakarta, terserah Anda.

Rock and Roll Hall of Fame menyebut bahwa Hendrix adalah "instrumentalis terbaik dalam sejarah musik rock." Ia adalah epitome dari cool, kekerenan. Teknik menggigit senar dengan gigi memang bukan ciptaannya, tapi teknik itu jadi wah dan bikin orang ternganga saat Hendrix yang melakukannya.

Baca juga:

Sebagai gitaris, Hendrix dikenal dengan teknik bermain di luar pakem. Salah satunya adalah menekan senar keenam dengan jempol, seperti yang ia lakukan di intro "Little Wing". Penulis Richie Unterberger menyebut Hendrix punya kemampuan untuk bermain gitar sebagai pemain solo dan pemain ritem—dibiasakan oleh The Experience yang hanya trio. Hendrix juga disebut-sebut sebagai gitaris yang mempopulerkan efek wah-wah dalam musik rock.

Karier Hendrix terbilang pendek. Namun dalam rentang waktu itu, Hendrix berhasil membuat tiga album sukses dan beberapa penampilan spektakuler. Orang-orang mengenangnya mulai dari Monterey Pop Festival hingga Woodstock 1969 yang bersejarah itu. Para pecinta rock di seluruh dunia kemudian sepakat, saat Hendrix meninggal di usia 27 pada 18 September 1970: musik rock tak akan pernah sama lagi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MUSIK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan