Menuju konten utama

Rock yang Hidup di Kota Malang

Kota ini dulu dianggap tempat angker bagi para musisi. Penonton tak segan melempari mereka jika bermain buruk.

Rock yang Hidup di Kota Malang
Begundal Lowokwaru. FOTO/Youtube

tirto.id - Pemandangan itu mungkin akan selalu saya kenang hingga kapanpun: seorang pria dengan rambut perak yang menjulur hingga bahu, berdiri gagah di atas panggung. Di belakang, band Skid Row asal Amerika Serikat, sedang menanti untuk dipanggil ke panggung.

"Nanti harus ramai, kalian harus nyanyi sekerasnya, jangan malu-maluin Malang!" teriaknya pada penonton.

Gemuruh penonton seperti menggentarkan Lapangan Rampal. Bagi orang luar Malang, mungkin sosok pria itu asing. Tapi bagi orang Malang, Ovan Tobing adalah ikon, yang mendampingi ikon lain kota Malang: Radio Senaputra. Radio ini sudah berdiri pada 1971, saat itu masih berupa radio amatir. Hingga akhirnya menjadi radio resmi. Ovan menjadi penyiar di radio itu sejak 1974.

"Saat itu antenanya masih pakai bambu," ujar Ovan saat diwawancarai zine lokal Malang, Common Ground.

Baca juga: Pendengar Radio dari Generasi ke Generasi

Di Indonesia, ada dua kota yang punya reputasi sebagai kota rock: Surabaya dan Malang. Dua-duanya di Jawa Timur. Surabaya dikenal melahirkan band seperti AKA, Grass Rock, Power Metal, Boomerang, hingga Padi. Sedangkan Malang punya Bentoel Band dengan gitaris muda bernama Ian Antono, Abadi Soesman, hingga Sylvia Saartje.

Namun, julukan kota rock bukan sekadar karena di kota itu banyak band, melainkan karena musik rock memang tumbuh bersama denyut kota itu. Ia mengiringi kehidupan warga kotanya. Itu yang tampak di Malang.

Salah satu penanda awal sejarah musik rock di Malang mungkin ada pada Abadi Soesman. Musisi kelahiran Malang, 3 Januari 1949 ini sudah membentuk band bernama Irama Abadi bersama saudara-saudaranya. Saat itu ia masih berusia 10 tahun. Soesman kemudian tumbuh menjadi pemusik yang disegani. Ia seperti seorang maestro di balik keyboard. Kelak, Soesman dikenal karena pernah bermain bersama Gipsy bersama Nasution Bersaudara dan Guruh Soekarno Putera, dan bergabung dengan Godbless pada 1979 dan menghasilkan album Cermin (1982) yang monumental itu.

Kehadiran pabrik rokok besar bernama Bentoel juga berpengaruh terhadap iklim musik rock di kota itu. Salah satu medium untuk mengadakan promo adalah band rock. Mereka menyadari betul bahwa Malang adalah kota dengan penduduk yang gemar musik rock. Maka dibentuklah Bentoel Band.

Masa puncak Bentoel Band adalah saat Ian Antono masuk. Bersama Teddy Sujaya, dan Michael "Micky Jaguar" Merkelbach yang memegang tampuk vokalis, band ini menjulang sebagai band top. Mereka bisa main lagu pop dan rock dengan sama baiknya. Micky dan Ian jadi magnet, terutama karena persona Micky yang nyentrik.

Ia pria kelahiran Sukabumi, tetapi merantau ke Malang untuk mencari rock n roll. Bentoel menjadi pelabuhan yang membuat namanya dikenal, terutama karena aksi gilanya. Pada 18 Februari 1973, Bentoel tampil di Gelora Pancasila, Surabaya, untuk membuka konser penyanyi asal Filipina, Victor Wood. Dalam suatu kesempatan, Micky tampil di atas panggung sembari membawa kelinci. Lalu setelah komat-kamit seperti membaca mantra, ia menyembelih kelinci (ada yang bilang menikam) itu dan minum darahnya. Penonton geger. Polisi menggelandang Micky.

Di tengah pusaran musik rock Malang, Radio Senaputra tampil menjadi sumber informasi. Mereka memutar musik rock, apapun jenisnya. Samack, salah satu penulis musik di Malang, ingat betul betapa menyenangkannya mendengar Senaputra. Anak-anak muda kirim salam dan rikues lagu. Agar keren, mereka memakai nama julukan yang berasal dari nama para bintang rock.

Nama-nama udara yang sering muncul, ingat Samack, mulai dari Anto Schenker, Budi Sarzo, Tepi Sepultura, Ivan Petrozza, hingga Johan Cavalera. Tahun 1990-an, Samack ingat betul ia dan kawan-kawannya sering mendatangi Senaputra.

"Kami bawa kaset band-band metal, buat numpang diputar," ujar Samack, tertawa.

Menurut Samack, musik rock jenis apapun akan dianggap 'radio friendly' bagi Senaputra. Salah satu yang punya kenangan berkesan dengan Senaputra adalah Burgerkill. Radio ini adalah yang pertama mendapat materi lengkap album Beyond Coma and Despair, yang saat itu belum resmi dirilis. Senaputra juga menjadi radio terakhir yang mewawancarai vokalis Burgerkill, Ivan Scumbag, tiga minggu sebelum ia meninggal dunia.

Baca juga: Kisah Rockstar Zaman Dulu

Periode 1990-an menjadi fase baru bagi Malang. Anak-anak muda seperti Samack tumbuh tidak hanya dibarengi oleh musik rock klasik. Tapi juga gagrak "baru" seperti hardcore, grindcore, hingga death metal. Budaya zine juga muncul. Samack pula yang menjadi salah satu penggeraknya.

Pada 1996, Samack dan sobatnya, Afril, membuat zine bernama Mindblast. Mindblast bertahan selama empat edisi yang dirilis dalam waktu dua tahun. Ia adalah zine kedua di Indonesia setelah Revogram dari Bandung, yang terbit setahun sebelumnya. Beberapa saat setelah Mindblast terbit, hadir pula Brainwashed dari Jakarta.

"Saat itu Mindblast ya ngomongin kancah musik keras di Malang. Kalau Brainwashed juga ada konten politiknya," ingat Samack.

Musik rock di Malang tumbuh dalam beberapa periode, dengan cara penyebaran yang berbeda pula. Pada era 1970-an hingga 1980-an, bisa dibilang Radio Senaputra menjadi pimpinan dalam menyebarkan musik rock. Selain itu Log Zhelebour, promotor asal Surabaya yang menyelenggarakan Festival Rock, juga berjasa menjaga iklim musik rock di Malang.

"Saat itu rutinnya adalah semifinal di Malang, dan final di Surabaya," kata Samack.

Infografik malang rock city

Di periode 1990-an, muncul zine dan jejaring komunitas musik rock dan metal, yang membuat informasi tidak hanya datang dari radio. Di era itu juga menandai banyak munculnya band baru, seperti No Man's Land, Antipathy, Begundal Lowokwaru, Extreme Decay, atau Keramat.

Band-band ini tidak hanya dikenal di kota Malang saja. Beberapa malah menorehkan nama di tingkat dunia. Misalkan Extreme Decay yang terlibat di album kompilasi Tribute tor Terrorizer yang dirilis oleh label asal Bulgaria. Atau No Man's Land yang merilis album split dengan band asal Prancis.

Pasca 2000-an, persebaran musik di Malang bisa ditengok dari munculnya beberapa zine berbasis web. Salah satunya dalah Apokalip, yang sekarang sudah tak lagi tayang. Selain itu, ada pula Pasukan Jihad Online Zine, yang banyak mengulas tentang musik rock dan metal dan masih aktif hingga sekarang, juga Koalisi Nada yang masih aktif menyebarkan review rilisan baru, atau memuat esai musik. Di era ini kemudian muncul band-band seperti The Morning After, Screaming Factor, hingga Beeswax.

Salah satu faktor penting dalam perkembangan musik rock adalah tempat bermain. Pada era 1970-an hinga 1990-an, Stadion Gajayana dan Lapangan Rampal adalah pusat keriangan konser rock skala besar. Di era 2000-an ke atas, konser-konser biasanya diadakan di tempat yang lebih kecil dan keintiman yang lebih rapat.

Baca juga: Memangnya Gampang Membuat Kota Musik?

Jika New York punya bar musik CBGB, Malang sekarang punya Houtenhand. Tempat nongkrong ini mulai berdiri sejak 2012. Sejak awal kemunculannya, Hountehand menjadi rumah yang menyenangkan bagi band-band di Malang. Mereka rutin menggelar konser musik, apapun genrenya. Mereka juga menyambut band-band dari luar kota yang ingin manggung di Malang. Hingga sekarang, sudah ratusan konser kecil digelar di sini. Membuat nama Houtenhand menjadi palagan penting bagi perkembangan musik di Malang kini.

Malang memang kota yang hidup dengan diiringi oleh musik rock. Itu tak pernah berhenti sejak era 1970. Perbedaannya mungkin adalah gagrak, skala, dan penyebarannya. Tapi satu yang pasti, kota ini tak akan pernah berhenti mendengarkan musik rock.

Baca juga artikel terkait MUSIK ROCK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti