Menuju konten utama

Kisah Rock Star Zaman Dulu

Alat band bukan barang murah yang bisa dibeli di zaman beras sulit terbeli sebelum 1970an. Tak heran jika hanya segelintir anak muda di seputaran keluarga berada saja yang bisa bergaya ala musisi generasi bunga.

Kisah Rock Star Zaman Dulu
Gipsy band terdiri atas (kiri) Keenan Nasution,Tammy daud,Onan Susilo dan Chrisye saat menjadi band penghibur tahun 1967. FOTO/Agus Press

tirto.id - Waktu hijrah ke Jakarta, Koeswoyo sudah jadi pegawai tinggi di Departemen Dalam Negeri. Dia memboyong anak-anaknya yang sebagian sudah doyan musik. Tonny termasuk yang paling keranjingan. Ketika itu, anak-anaknya beranjak dewasa. Karena Koeswoyo merasa menjadi pegawai negeri tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga yang jumlahnya hampir mirip kesebelasan sepakbola, ia akhirnya bekerja sebagai pengelola perkebunan di sekitar Solo.

Koeswoyo yang mantan pemain gitar band hawaiian itu sebenarnya tak rela anaknya menjadi musisi. Meski begitu, Atmini, sang istri justru ikut membelikan alat-alat band buatan lokal di Solo untuk anak-anaknya. Begitu cerita Jhon Koeswoyo dalam buku Siapa Dia? Tokoh Seni Indonesia yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia (2013).

Menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015), Tonny sudah belajar bermain musik sejak remaja. Di SMA dia membentuk band Gita Remaja. Pernah juga, bersama Jan Mintaraga dan Sophan Sophian membentuk Teenage's Voice dan Teruna Ria. Belakangan, Jan dikenal sebagai komikus, sementara Sophan jadi salah satu aktor yang paling sering menghiasi layar film Indonesia.

Tonny yang terus berlatih musik ternyata tak bisa bertahan lama dengan band-band lawasnya. Seperti Barry Gibs pentolan Bee Gees, Tonny melatih adik-adiknya bermusik dengan alat-alat yang itu dibelikan ibu dan Jhon, abangnya yang bekerja di sebuah proyek di Jakarta.

Bersama adik-adiknya, meski dengan peralatan musik yang seadanya, Tonny manggung dari pesta ke pesta sebelum akhirnya rekaman, terkenal dan masuk penjara karena musik Barat yang mereka bawakan di bawah bendera Koes Bersaudara.

Saat itu, Presiden Sukarno menyebut musik Barat yang biasa dimainkan dalam format band sebagai musik Ngak Ngik Ngok alias musik setan. Runtuhnya rezim Sukarno adalah fase baru bagi anak band Indonesia. Musik Barat sah dibawakan.

“Setelah tahun 1967, para remaja mulai keranjingan membentuk band dengan musik barat sebagai kiblat,” tulis Denny Sakrie. “Dari tahun 1967 hingga 1970, bisa dikatakan adalah embrio musik rock yang mulai menyebar di Indonesia. Mungkin dampak pop culture dari Amerika dan Inggris lewat munculnya gerakan generasi bunga.”

Selain Tonny dan adik-adiknya, belakangan muncul juga band sohor dari sekitar kawasan elit Menteng. Semua tahu, sedari zaman kolonial Menteng adalah kawasan elit Belanda. Setelah Indonesia merdeka, daerah itu jadi tempat tinggal para pejabat atau orang berada lainnya. Tak jauh dari Menteng, ada kawasan Pegangsaan yang tak kalah elit.

Di Jalan Pegangsaan 12, keluarga tinggallah keluarga Saidi Hasjim Nasution. Hasjim tergolong pemain biola ulung. Menurut catatan Denny Sakrie, di rumah keluarga inilah muncul musisi-musisi kondang Indonesia seperti Gauri, Odink, Debby, Joe dan Keenan, yang semuanya bermarga Nasution. Juga tetangga mereka: Chrisye. Dari anak-anak Nasution inilah Chrisye mulai main band, sebagai pembetot bass.

Chrisye yang sepantaran dengan anak-anak Said Hasjim itu mengaku datang dari keluarga dengan ekonomi yang biasa-biasa saja. Ayahnya adalah pegawai konstruksi kelas menengah. Chrisye bisa bergaul dengan Nasution Bersaudara, yang belakangan terkenal sebagai Geng Pegangsaan. Dulu, Chrisye hanya bermain bass.

Anak-anak Nasution itu punya kawan yang tak hanya doyan musik, tapi juga tajir. Maklum, anak Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina terlama dalam sejarah. Namanya Pontjo, yang belakangan terkenal sebagai pengusaha besar nasional.

“Pontjo Sutowo membelikan seperangkat alat musik supercanggih untuk ukuran zaman itu. Ya! Pontjo rupanya mengimpor seperangkat alat musik kelas satu dengan merek Marshal, Fender dan ada beberapa mereka lagi. Boleh di bilang, alat-alat musik yang ada melibat semua alat musik yang dimiliki grup band di pelosok Jakarta, atau bahkan di Indonesia,” aku Chrisye seperti ditulis Albertine Endah dalam Chrisye: Sebuah Memoar Musikal (2007).

Anak-anak Nasution itu, juga Chrisye, belakangan maju karir bandnya. Meski tak hidup kaya dari musik. Mereka pernah bermain di Restoran Pertamina di New York selama setahun. Belakangan mereka bersama Guruh Soekarno Putra bermain dalam Gipsy, yang membawakan lagu-lagu eksperimental. Segelintir band Indonesia yang melakukan hal itu di tahun 1970an.

Di kota Surabaya, anak Ismail Harahap sang pemilik Apotik Kali Asin, juga bermain band. Andalas Datoe Oloan Harahap alias Ucok yang berambut kribo, sang anak, begitu kondang di jagat rock Indonesia 1970an. Ucok adalah pentolan dari band kondang Surabaya dengan nama yang sepertinya akronim dari nama apotik ayahnya, AKA. Sang ayah yang memodalinya bermain band itu bahkan bertindak sebagai manager band. Ismail terbilang tajir untuk ukuran Surabaya.

Setelah Ucok kawin lari dengan anak pejabat ke Jakarta, AKA tak jelas nasibnya. Ucok bahkan diduetkan dalam Dua Kribo bersama Ahmad Albar alias Iyek. Bukan musisi sembarangan. Sebelum terkenal bersama God Bless, di Negeri Belanda Iyek adalah vokalis dari Clover Leaf yang sempat rekaman dan dikenal di Negeri Belanda.

Iyek adalah anak tiri dari Jamaludin Malik, seorang pengusaha perfilman. Seperti dirinya, adik tirinya Camelia Malik juga terjun ke musik dan film juga. Kawan satu band Iyek, Donny Gagola adalah anak dari Kolonel Eddy Gagola, tokoh militer berpengaruh di Sulawesi.

INFOGRAFIK Sedarah dan satu band

Dari pulau Sumatera, ada Rinto Harahap dan Erwin harahap yang terkenal sebagai dedengkot dari band The Mercy's. Mereka berdua anak dari James Waren Harahap, seorang pegawai Bank Negara Indonesia (BNI) yang menjadi Kepala Kantor di Sibolga. Hidupnya lumayan berkecukupan. Termasuk ketika mereka tinggal di kota Medan sebelum 1965. Di Medan pula Rinto dan Erwin, abangnya mulai main band.

Awal main band dan belum terkenal dia punya sahabat, Teruna Jasa Sai, anak dari pemilik koran Waspada.

“Kami mendapat pemain baru. Teruna Jasa Said yang baru pulang dari London membawa pelat-pelat (piringan hitam) Beatles dan The Rolling Stones terbaru, ikut bergabung. Musik-musik aneh yang masih asing bagi publik penggemar lagu pop seperti Steve Winwood, Al Kooper dan Mike Bloomfiled diperkenalkannya ke kuping kami,” aku Rinto seperti tertulis dalam Gelas-gelas Kaca (2011).

Rinto, bersama The Mercy's pernah manggung di Singapura sebelum hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, Mercy's mulai dikenal. Dengan lagu-lagu manis mereka. Bukan lagu rumit seperti dalam piringan hitam yang dibawa Teruna Jasa Said dari Inggris. Lepas dari The Mercy's, Rinto belakangan dikenal sebagai pencipta lagu-lagu melankolis yang laris manis.

Di lain kota, ada keluarga Batak lain yang membiarkan anak-anaknya bermusik. Ia adalah Drs. JMM Pandjaitan, pegawai tinggi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pernah dinas di Palembang dan Surabaya. Di Palembang anak-anaknya punya band bernama Tumba Band. Barulah anak-anaknya yang beranjak dewasa itu membentuk Pandjaitan Bersaudara (Panbers) di Surabaya. Ketika ayah mereka mutasi ke Jakarta pada 1971, mereka pun ikut hingga akhirnya lagu "Akhir Cinta" membuat mereka terkenal.

Di masa Sukarno, bahkan di awal-awal Orde Baru, jangankan memiliki alat musik seperti gitar, bass, drum bahkan organ, beli radio atau piringan saja bukan hal mudah. Sebagian anak-anak band 1970an, rata-rata anak dari golongan kelas menengah ke atas. Mereka kenal musik dari radio dan piringan hitam yang dianggap mewah di tahun 1950-1960an.

Setelahnya, mereka main band dengan alat milik mereka atau pinjaman dari kawan sekolah atau sepergaulan mereka. Dari golongan kelas-kelas menengah inilah muncul anak band atau musisi terkenal Indonesia. Sulit menemukan anak-anak band dari golongan ekonomi yang jauh di bawah mereka, kecuali di masa-masa setelah 1990an.

Baca juga artikel terkait KOES PLUS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Musik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani