tirto.id - Siapa bilang masalah separatisme di India 'cuma' seluas Kashmir?
Setelah perang dan pemberontakan di Kashmir yang telah bergolak puluhan tahun, melibatkan India, Pakistan, dan berbagai milisi yang menewaskan puluhan ribu manusia di wilayah Kashmir, dunia belakangan dikejutkan oleh gerakan referendum Khalistan, yang digulirkan oleh aktivis-aktivis politik Sikh dari berbagai belahan dunia.
Elemen pro-kemerdekaan Khalistan tengah menggencarkan kampanye referendum kemerdekaan di Pakistan. Pada 23 November 2018, saat umat Sikh sedunia berziarah di Kota Nankana Sahib, Provinsi Punjab, Pakistan, terpampang banyak spanduk bertema seruan referendum Khalistan 2020.
Dilansir dari Hindustan Times, spanduk-spanduk itu bertulis “Referendum 2020 akan mengakhiri pendudukan India atas Punjab” dan “Referendum 2020 adalah perlawanan terhadap pendudukan India atas Punjab”. Ada pula spanduk yang bertuliskan "Jangan Lupakan 1984" dan juga menampilkan gambar Jarnail Singh Bhindranwale, tokoh Sikh Punjab India pro-kemerdekaan.
Pada saat bersamaan, banyak dari peziarah Sikh yang berasal dari India. Seruan referendum untuk memisahkan wilayah Punjab di India menjadi negara Khalistan dipandang Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) India sebagai ancaman dan hasutan.
Jumlah umat Sikh di India menurut sensus penduduk tahun 2011 mencapai 20,8 juta jiwa atau 1,5 persen dari total penduduk India. Mayoritas dari mereka tinggal di negara bagian Punjab, India.
Selain isu pemisahan diri, hubungan antara penganut Sikh dan pemerintah India memang tak harmonis. Sampai kini, kabar seputar persekusi terhadap minoritas Sikh di India masih terdengar.
Pada Juni 2018, Asia Times melaporkan sebanyak 52 orang India yang sebagian besar penganut Sikh ditahan di pusat penahanan di negara bagian Oregon, AS. Mereka ingin mencari suaka politik di AS dan mengaku dipersekusi di tanah kelahirannya. Sejumlah pengikut Sikh lainnya sudah terlebih dahulu mencari suaka ke luar negeri karena alasan yang sama.
Hubungan umat Sikh dengan pemerintah India mengalami titik terburuk terutama saat era pemerintahan Perdana Menteri Indira Gandhi dan anaknya, Rajiv Gandhi. Di masa-masa ini, nasionalisme Sikh bangkit, menuju gerakan separatis bersenjata, digebuk oleh pemerintah India dan berujung kerusuhan anti-Sikh.
Konflik India dan Sikh
Tahun 1984 adalah tahun tak terlupakan bagi penganut Sikh di negara bagian Punjab, India.
Pada Juni 1984, Perdana Menteri India Indira Gandhi memerintahkan militer menyerang komplek kuil suci umat Sikh di Kota Amritsar. Operasi militer yang diberi nama sandi Operasi Bintang Biru itu menargetkan Jarnail Singh Bhindranwale, tokoh pejuang kemerdekaan Khalistan yang populer pada saat itu.
Kekerasan itu tak hanya melibatkan militer. C. Christine Fair dalam laporan risetnya yang berjudul “Diaspora Involvement In Insurgencies: Insights From The Khalistan And Tamil Eelam Movements” (2005) menyebutkan, pasukan perbatasan, polisi, ormas paramiliter, dan aparat keamanan lainnya ikut dilibatkan memburu Bhindranwale beserta milisi pengikutnya.
Bhindranwale akhirnya terbunuh pada 6 Juni 1984. Namun selain menewaskan Bhindranwale, ratusan warga sipil turut menjadi korban. Dikutip dari BBC, pemerintah India menyebut ada 400 orang dan 87 tentara tewas. Sedangkan kelompok Sikh mengatakan, jumlah korban diperkirakan mendekati 1.000 orang. Menurut Human Rights Watch (HRW), para peziarah kuil turut menjadi korban serta menyebabkan kerusakan serius pada kompleks kuil.
Operasi Bintang Biru memang terencana jauh-jauh hari. Dalam laporan Praveen Swami di The Hindu, India minta pendapat dan restu ke Inggris pada Februari 1984 mengenai rencananya untuk menyingkirkan ekstremis Sikh dari komplek kuil di Amritsar. Inggris menyetujuinya dan mengirim seorang utusan ke India untuk menyusun rencana serangan.
Serangan tersebut dibalas oleh anggota Sikh. Tak tanggung-tanggung, empat bulan setelah penyerangan kuil, Indira Gandhi dibunuh pada 31 Oktober 1984 oleh dua pengawalnya sendiri yang menganut Sikh.
Pasca-insiden tersebut, kerusuhan anti-Sikh meletus sesaat setelah pembunuhan Indira. Partai Kongres Nasional sebagai partai penguasa tempat Indira bernaung kerap mengipasi massa agar bertindak beringas terhadap penganut Sikh. Pernyataan putra Indira Gandhi, Rajiv Gandhi juga melegitimasi kekerasan komunal. “Begitu pohon perkasa jatuh, wajar saja jika bumi di sekitarnya bergoyang,” ucap Rajiv.
Para perusuh berbekal daftar pemilihan menyerang keluarga penganut Sikh di daerah pinggiran seperti Mongolpuri, Palam, Shahdara, Trilokpuri, Sultanpuri dan Trans-Yamuna. Hasilnya, dalam waktu tiga hari saja, setidaknya 2.733 penganut Sikh dibunuh. Harta benda mereka dijarah atau dihancurkan. Para wanita tak luput menjadi korban pemerkosaan.
Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai kerusuhan anti-Sikh 1984 ini dicatat sebagai pelanggaran HAM berat di India. Penyelesaian kasusnya mandek. Saat laporan HRW pada 2014 dirilis, sudah banyak korban, saksi dan pelaku yang meninggal dunia. Para tersangka pun mengancam dan mengintimidasi saksi. Sejumlah alat bukti bahkan dirusak oleh pihak kepolisian hingga terdakwa bisa melenggang bebas.
Kemunculan Nasionalisme Sikh
Akhir abad ke-15, ajaran Sikhisme lahir di tanah Punjab. Sikh didirikan oleh Guru Nanak (1469–1539) dan diteruskan oleh sembilan Guru penerus. Dalam bahasa Punjabi, Sikh berarti pembelajar. Penganutnya dikenal sebagai orang Sikh dan mengklaim bahwa tradisi mereka terpisah dari Hinduisme.
Akar nasionalisme Khalistan bisa ditelusuri hingga tahun 1699. Encyclopaedia Britannica menyebutkan bahwa Gurū Gobind Sing (pemimpin Sikh kesepuluh sekaligus yang terakhir) menetapkan tanah Punjab atau tanah Khalsa (Khalistan) sebagai tanah air penganut Sikh dan dikelola secara independen.
Sejak itu, ada upaya pendirian pemerintahan Sikh di Punjab, mulai dari era Imperium Mughal, hingga terwujudnya sebuah kerajaan yang dipimpin Maharaja Ranjīt Singh pada awal abad ke-19 yang berakhir setelah Inggris masuk dan menjajah.
Di tengah perpecahan India-Pakistan 1947 yang membelah dua wilayah Punjab, gagasan pendirian negara Sikh sempat kembali muncul. Namun, populasi Sikh tak cukup kuat di tengah himpitan raksasa Pakistan dan India. Singkatnya, gagasan pendirian negara Sikh kembali terkubur.
Di wilayah Punjab yang terbagi dua, Kuil Suci Gurdwara Kartarpur Sahib yang menjadi makam Guru Nanak berada di Narowal Punjab, Pakistan. Sedangkan Kuil Gurdwara Shri Darbar Sahib merupakan tempat keluarga Guru Nanak berdiri di Kota Dera Baba Nanak, yang masuk negara bagian Punjab, India. Wilayah Punjab terbesar ada di India.
Gerakan nasionalis Sikh di Punjab kembali menguat pada dekade 1970-an dan 1980-an. Kelompok-kelompok Sikh yang berorientasi politik bermunculan, misalnya Babbar Khalsa, Pasukan Komando Khalistan, Pasukan Pembebasan Khalistan, Pasukan Macan Bhindranwale Khalistan, Organisasi Pembebasan Khalistan, dan Federasi Pemuda Sikh Internasional. Beberapa di antaranya yang berbentuk milisi melakukan serangkaian aksi-aksi teror.
Salah satunya yang terkenal adalah ketika milisi Sikh dari kelompok Babbar Khalsa melakukan pengeboman terhadap Pesawat Air India bernomor penerbangan 182 pada Juni 1985. Serangan itu dilancarkan untuk merespons serangan India ke Amritsa. Seluruh penumpang termasuk kru yang berjumlah 329 orang tewas.
Di antara faksi milisi Khalistan, Jarnail Singh Bhindranwale muncul sebagai tokoh kemerdekaan Khalistan yang paling tersohor.
Kepopuleran Bhindranwale tak muncul dengan sendirinya. Jika ditilik ke belakang, Indira Gandhi-lah yang membuat Bhindranwale terkenal. Fair menyebut, Indira mempromosikan Bhindranwale sebagai politisi Punjab untuk memecah popularitas Partai Akali Dal pada Pemilu Punjab 1972. Akali Dal adalah partai berhaluan nasionalis Punjab yang tergolong moderat. Pada 1973 mereka pernah mengeluarkan Resolusi Anandpur Sahib yang isinya menginginkan otonomi lebih luas di wilayah Punjab. Resolusi ini didukung oleh Bhindranwale.
Lambat laun, Bhindranwale semakin militan dalam perjuangannya untuk kemerdekaan Khalistan. Ia dielu-elukan orang Sikh, khususnya di kalangan petani dan pemuda di Kota Amritsar. Oleh milisi kelompok Bhindranwale kuil suci Sikh Harmandir Sahib (Kuil Emas) dijadikan markas.
Catatan Mahesh A. Kalra untuk DNA India menyebutkan Bhindranwale membentengi kompleks Kuil Emas dengan senapan mesin dan peluncur anti-tank. Ia juga menggunakan jasa Jenderal Shahbeg Singh, mantan pejabat militer India yang tidak puas dengan pemerintah, untuk melatih para pendukungnya.
Pada 1980, pemimpin Akali Dal pada 1980 sempat membujuk kelompok Bhindranwale agar berjuang tanpa senjata. Bujukan itu ditampik dan akhirnya Indira mengerahkan operasi Bintang Biru untuk menumpas separatis Bhindranwale. Setelah itu, Indira Gandhi dikenal sebagai pemantik sentimen anti-Sikh.
Operasi Bintang Biru memancing reaksi keras dari umat Sikh di luar Punjab, India. Beberapa kelompok Sikh di luar negeri bahkan menyatakan diri sebagai perwakilan pemerintahan Khalistani.
India kerap menuding Pakistan sebagai pendukung kemerdekaan Khalistan. Tudingan itu bukan tanpa sebab. Pada 1988, dirjen Badan Intelijen Pakistan pernah meminta Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto untuk mendukung gerakan kemerdekaan Khalistan. Bahkan, agenda pro-kemerdekaan terlihat di beberapa pusat ziarah di Punjab Pakistan yang sering dikunjungi puluhan ribu orang Sikh dari India. Salah satunya adalah poster pro-referendum Khalistan 2020 yang dipasang di situs-situs Sikh di Pakistan. Pemasangan poster semacam itu tentu tidak bisa dilakukan secara bebas di Punjab-nya India.
Di sisi lain, otoritas Pakistan mewaspadai pergerakan kemerdekaan Khalistan saat mengetahui teritori yang diklaim oleh gerakan kemerdekaan Khalistan mengikutsertakan beberapa bagian Punjab-nya Pakistan. Laporan Shaikh Aziz untuk Dawn menyebutkan bahwa pada 1988 diktator Pakistan Zia-ul-Haq merespons temuan tersebut dengan memerintahkan agar wilayah Punjab di Pakistan diawasi ketat.
Meski negara Khalistan belum terwujud, namun sampai hari ini impian tanah Khalsa yang merdeka masih terus diperjuangkan. Salah satunya seperti yang terlihat dalam Gerakan referendum Khalistan 2020, sebuah agenda teranyar dari kelompok Sikh pro-kemerdekaan yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Editor: Windu Jusuf