tirto.id - Pada 31 Oktober 1984, tepat hari ini 34 tahun silam, Indira Ghandi sedang dalam perjalanan menuju lokasi wawancara bersama aktor Inggris Peter Ustinov. Ia membantu Ustinov merampungkan sebuah proyek film dokumenter yang dipesan stasiun televisi Irlandia.
Sekitar pukul 09.20 waktu setempat, Indira melewati taman dekat rumah dinas Perdana Menteri di Jalan Safdarjung No. 1, New Delhi menuju kantornya di Jalan Akbar 1.
Saat melewati gerbang, dua pengawal pribadinya yang bernama Satwant Singh dan Beant Singh tiba-tiba melepaskan hujan peluru. Tembakan pistol Bent membuat Indira roboh ke tanah. Satwant melanjutkan eksekusi dengan menggunakan pistol Mitraliur Sterling, varian senapan serbu bikinan Inggris.
Setelah yakin Indira terluka parah, keduanya membuang senapan. “Aku telah melakukan apa yang harus kulakukan. Kau lakukan lah apa yang mau kau lakukan,” ucap Beant.
Enam menit berikutnya tiga Polisi Perbatasan Indo-Tibet menangkap Beant. Ia dipindah ke ruang terpisah, kemudian dieksekusi mati. Satwant diamankan pengawal Indira lain saat berusaha kabur bersama kawan satu komplotan yang bernama Kehar Singh.
Kronologi ini terekam dalam laporan William E. Smith untuk Time edisi November 1984. Lebih dari 10 jam berselang berita pembunuhan Indira baru dipublikasikan melalui stasiun televisi Dooddarshan. Warga India terkejut, sedih, dan marah atas nasib buruk yang menimpa PM perempuan pertama mereka.
Indira dibawa ke All India Institutes of Medical Sciences di New Delhi tak lama setelah penembakan. Ia dinyatakan meninggal di hari yang sama, pada pukul 02.20 waktu setempat.
Ada 30 peluru yang mengenai tubuh Indira. Dua puluh tiga di antaranya tembus, 7 sisanya bersarang di dalam tubuh. Semuanya teridentifikasi sebagai peluru yang berasal dari senjata kedua pelaku.
Pada 3 November 1984 mayat Indira dikremasi. Sari berdarah yang ia kenakan pada saat kejadian disimpan di Indira Gandhi Memorial Museum di New Delhi.
Politikus Tangguh
Indira Priyadarshini Nehru lahir di Allahabad, British India (kini Uttar Pradesh, India) pada 19 November 1917. Ia memakai nama belakang “Gandhi” selaku nama keluarga yang umum digunakan di Gujarat. Ia tidak memiliki hubungan keluarga dengan Mahatma Gandhi. Ia adalah putri dari perdana menteri pertama India, Jawaharlal Nehru.
Sejarah mencatat Indira sebagai politisi yang piawai. Usai lulus dari Universitas Oxford, Indira mengawali karier politik sebagai anggota kongres pada 1950-an. Di masa itu ia berhasil merongrong kekuasaan pemerintahan baru di Kerala—negara bagian pertama di India yang diperintah partai komunis.
Indira pernah menjabat sebagai menteri informasi dan penyiaran. Pada 1966 ia didapuk sebagai perdana menteri karena partai penguasa lebih memilih dirinya ketimbang ketua partai Morarji Desai. Di mata para elite partai, Indira akan lebih mudah disetir karena berstatus sebagai seorang perempuan.
Namun mereka keliru. Dalam dua periode pertama, yang berlangsung hingga 1977, Indira menjelma menjadi pemimpin berpendirian kuat. Ada banyak kebijakan yang partai tidak setujui, namun tetap ia jalankan. Contohnya adalah deklarasi perang melawan Pakistan pada 1971.
Cynthia Keppley Mahmood dalam Fighting for Faith and Nation: Dialogues with Sikh Militants (1996) menjelaskan bahwa konfrontasi antar kedua negara berawal dari gerakan bersenjata untuk memerdekakan diri di Pakistan Timur. Sebagian besar aktivis adalah orang-orang Benggala.
Polemik merembet hingga ke India. Perlawanan kelompok pro-kemerdekaan Benggala menghasilkan gelombang pengungsian, di mana ratusan ribu di antaranya mencari perlindungan hingga ke India bagian timur.
Indira mendukung perjuangan kemerdekaan orang-orang Benggala—yang sudah berlangsung sejak pertengahan 1960-an. Baginya akan lebih efektif untuk perang melawan Pakistan ketimbang hanya menawarkan tempat pengungsian sementara.
Di akhir perang, India menang. Bangladesh menyatakan kemerdekaannya pada 26 Maret 1971. Reputasi Indira makin menjulang. Politisi di lingkaran elite kian menghormatinya, sampai-sampai muncul frasa “India adalah Indira dan Indira adalah India.”
Indira memelopori kebijakan sentralisasi kekuasaan di dalam India yang berstatus sebagai negara federal. Ia menjelma sebagai simbol kekuatan perempuan di dalam maupun luar negeri. Pencapaian-pencapaian ini membuat Indira memuncaki survei “Perempuan Abad Ini” yang dilakukan BBC pada 1999.
Bertangan Besi
Di satu sisi, gaya kepemimpinan Indira mendorong India menjadi negara paling adidaya di Asia Selatan. Di sisi lain, ia melahirkan “the Emergency”, masa darurat yang oleh analis politik disebut sebagai salah kebijakan paling kontroversial dalam sejarah India pasca-kemerdekaan.
Indira dan Presiden Fakhruddin Ali Ahmed beralasan bahwa masa darurat penting untuk menstabilkan kondisi internal negara. Sikap keras Indira memang melahirkan banyak gerakan oposisi, termasuk dari kalangan buruh dan mahasiswa. Perang dengan Pakistan turut menyisakan rentetan pertikaian di tingkat akar rumput.
“The Emergency” dijalankan antara 1975-1977. Indira menunda pelaksanaan pemilu, memenjarakan mayoritas oposisi politiknya, dan melakukan penyensoran terhadap banyak media massa.
Laporan William Borders untuk New York Times edisi 18 Februari 1976 menyoroti berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di sepanjang era darurat ini. Indira makin tak disukai aktivis pro-demokrasi India, apalagi setelah ia menyatakan bahwa demokrasi yang tengah berjalan “memberikan terlalu banyak kebebasan untuk masyarakat”.
Permulaan atas kasus pembunuhan Indira bisa ditelusuri pada awal 1980. Saat itu ia sedang memulai masa jabatan sebagai perdana menteri untuk yang ketiga kalinya. Negara bagian Punjab, di masa yang sama, sedang dikuasai koalisi partai mayoritas Sikh bernama Akali Dal.
Indira tak menyukainya. Ia kemudian berupaya untuk merongrong popularitas Akali Dal dengan menaikkan politisi Sikh pro-Indira, Jarnail Singh Bhindranwale, ke jajaran elite politik di Punjab.
Sayangnya, konflik antar-kelompok militan Sikh membuat Bhindranwale pindah haluan ke Akali Dal. Ia yang dulu dielu-elukan Indira kini berbalik memusuhi rezim.
Bhindranwale dan pengikutnya makin hari makin militan. Indira memburu mereka atas tuduhan dalang pembunuhan. Ketegangan dua kelompok memuncak pada Operation Blue Star. Indira ingin menangkap Bhindranwale plus 200-an pengikutnya yang sedang berlindung di sebuah kuil Sikh di Kota Amritsar, Punjab.
Indira mengerahkan kekuatan militer penuh, sementara Bhindranwale dilindungi pengikut yang menenteng senjata laras panjang. Akhirannya tragis: kompleks kuil dan perpustakaan yang mengoleksi literatur penting terkait Sikhisme hancur. Bhindranwale meninggal, demikian juga ratusan hingga ribuan pengikutnya.
Operation Blue Star menuai kecaman luas. Indira dianggap menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan kekuasaan politiknya.
Rekonsiliasi dan Pengkhianatan
Dampak yang lebih serius adalah kematian Bhindranwale dan pengikutnya yang dianggap sebagai martir. Orang-orang Sikh marah, dan makin banyak yang bergabung ke kelompok militan anti-rezim Indira. Aksi persekusi meluas sekaligus menyeret nyawa orang-orang yang tak bersalah.
Posisi Indira otomatis makin tak aman. Catatan Mahesh A. Kalra untuk DNA India mengungkap kebijakan pemecatan orang-orang Sikh dari barisan pengawal Indira. Badan intelijen India khawatir akan pengkhianatan yang berujung pada upaya pembunuhan terhadap Indira.
Indira tidak sepakat. Ia menilai kebijakan tersebut justru akan menguatkan sentimen anti-Sikh yang terlanjur melekat padanya. Ia memerintahkan agar orang-orang Sikh yang dipecat untuk direkrut kembali. Salah satu di antaranya adalah Beant Singh, yang ironisnya jadi salah satu pelaku pembunuhan Indira.
Kematian Indira memanaskan sentimen antar-agama di India. Empat hari setelah sang perdana menteri diumumkan meninggal dunia adalah masa-masa genting bagi ribuan orang Sikh. Banyak dari mereka yang dibunuh atau dibakar rumahnya. Gelombang pengungsian kembali naik. Bara konflik masih menyala hingga beberapa tahun setelahnya.
Satwant dan Kehar Singh diseret ke pengadilan. Hakim memvonis hukuman mati. Eksekusi dijalankan pada 6 Januari 1989.
Orang-orang yang bersimpati pada Indira bisa mengunjungi Raj Ghat di Delhi. Di tempat itulah mayat Indira dikremasi. Monumen peringatannya dibangun berdampingan dengan makam ayahnya, makam Mahatma Gandhi, dan tokoh-tokoh penting lain dalam sejarah India.
Editor: Ivan Aulia Ahsan