tirto.id - Pelantikan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI tinggal menunggu waktu. Istana belum memastikan tanggal pelantikan menantu mantan Kepala Bandan Intelijen Negara (BIN) A.M Hendropriyono itu sebagai pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto yang sudah masuk pensiun.
Selain tanggal pelantikan panglima TNI yang belum pasti, kandidat KSAD pengganti Andika juga masih menjadi tanda tanya. Selain itu, ada satu jabatan lain untuk jenderal TNI bintang empat yang saat ini kosong, yaitu kursi wakil panglima TNI.
Posisi Wakil Panglima TNI adalah kursi yang diaktifkan kembali oleh Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia pada 18 Oktober 2019. Kursi Wakil Panglima ini sebelumnya diduduki oleh 7 pejabat, 5 orang di era orde baru dan 2 jenderal di era reformasi. Kursi ini terakhir dijabat Letjen (purn) Fachrur Razi yang sempat menjadi menteri agama Kabinet Indonesia Maju.
Perbincangan kursi wakil panglima TNI semakin mengemuka setelah KSAL Laksamana Yudho Margono diisukan akan duduk di kursi tersebut. Namun, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Soleman B. Pontoh justru mengritik soal keberadaan kursi wakil panglima TNI ini. Ponto menyebut kursi wakil panglima tidak punya fungsi jelas sehingga tidak perlu ada.
“Wakil Panglima TNI itu jabatan semu. Makanya, saya sejak dahulu menyatakan tidak setuju ada jabatan Wakil Panglima TNI. Kalau jabatan wakil batalion, itu jelas fungsi dan tugasnya. Makanya, saya tidak mengerti ada wacana jabatan Wakil Panglima TNI, apa yang mau dikerjakan?” kata Ponto dikutip dari Antara.
Bagi Ponto, kursi wakil panglima tidak jelas secara fungsi maupun kekuatan. Jika dilihat secara fungsi, maka posisi wakil panglima justru di bawah para kepala staf matra. Selain itu, wakil panglima tidak memiliki kekuatan untuk mengerahkan pasukan seperti panglima meski bisa dipilih langsung oleh presiden.
Soleman justru melihat kursi wakil panglima yang muncul saat ini menandakan bahwa mereka tidak memahami organisasi TNI. Oleh karena itu, Soleman mendukung langkah Yudo bila menolak kursi wakil panglima di era Andika. Ia pun menganalogikan jabatan wakil panglima bukan matahari dan juga bukan ban serep. Oleh karena itu, kata dia, biarkan Yudo tetap menjadi KSAL.
“Jabatan Kasal itu terhormat. Biarkan Laksamana Yudo Margono menjadi Kasal hingga menjadi panglima TNI pada tahun 2022,” kata Soleman.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri. Ia memandang tidak perlu ada kursi wakil panglima di era Andika. Ia melihat tidak ada suatu hal penting dan mendesak.
“Tidak ada urgensi menghidupkan kembali kursi wakil panglima TNI," kata Gufron kepada reporter Tirto, Rabu (10/11/2021).
Gufron beralasan kursi wakil panglima sudah dihapus saat awal reformasi. Masalah kedua adalah urgensi soal fungsi dan peran wakil panglima dengan panglima. Ia khawatir kehadiran wakil panglima akan memicu konflik internal dalam konteks pembagian peran, komando dan hal lain.
Sebab, kata Gufron, posisi wakil panglima tidak jelas, sementara sudah ada pembagian peran antara panglima dengan para kepala staf. Di sisi lain, ia khawatir ada potensi matahari kembar di internal TNI dan memicu masalah komando dan komunikasi.
“Kalau itu dihidupkan menimbulkan sengkarut pembagian fungsi peran dan komando di internal TNI antara panglima dan wakil panglima apalagi di masing-masing matra ada KSAD, KSAL, dan KSAU yang berkaitan matranya masing-masing. Jadi saya lebih melihat ini hanya jabatan simbolis saja. Tidak ada urgensi yang berdampak terutama dalam penguatan internal TNI,” kata Gufron.
Gufron justru melihat kursi wakil panglima sebagai kursi politis. Hal tersebut tidak terlepas dari kursi panglima TNI yang semestinya giliran TNI AL, tetapi justru diserahkan kepada Andika yang berasal dari matra darat. Ia memandang kursi wakil panglima sebaiknya tidak perlu ada meski ada narasi Yudo Margono sebagai wakil panglima TNI.
“Dengan dipaksakannya atau pemaksaan terhadap Pak Andika, saya melihat ini lebih untuk mengakomodir internal dan lain sebagainya, sementara kalau dilihat dari urgensi nggak ada," tegas Gufron.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis juga memandang tidak perlu ada lagi kursi wakil panglima TNI. Menurut Beni, kursi wakil panglima tidak ada urgensi karena sudah ada Kasum TNI.
“Posisi wakil panglima TNI yang dihidupkan lagi masa Presiden Jokowi sebenarnya tidak perlu ada. Karena tidak ada urgensinya. JIka panglima berhalangan cukup diwakilkan oleh Kasum TNI sebagai orang nomor dua di Mabes TNI atau tiga kepala staf angkatan," kata Beni kepada Tirto.
Beni beranggapan, restrukturisasi dalam organisasi TNI dengan membuat posisi wakil panglima TNI tersebut lebih karena kebutuhan penempatan perwira tinggi (pati) dan mempercepat rotasi dan promosi karena sekitar belasan tahun terakhir ada lonjakan tajam pamen seperti ratusan kolonel dan letkol yang tidak memiliki jabatan/posisi. Namun secara substansi, kursi wakil panglima tidak perlu diisi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru melihat kursi itu masih bisa diisi oleh pejabat TNI. Ia memandang wakasal saat ini Laksdya Ahmadi Heri layak untuk duduk di kursi tersebut.
“Saya kira wakasal layak untuk posisi itu (wakil panglima TNI)," ujar Khairul seperti dikutip dari Antara.
Namun, Fahmi enggan mendukung posisi wakil panglima TNI diisi pejabat yang pernah atau mantan kepala staf angkatan. Ia mengaku punya kekhawatiran jika kepala staf atau mantan kepala staf yang dipilih. Misalnya, potensi matahari kembar karena si wakil juga menonjol, atau sebaliknya wakil panglima TNI hanya jadi sekadar ban serep.
“Apalagi wakil panglima TNI ini tanggung jawabnya tidak banyak dan cenderung berhimpitan dengan tugas dan tanggung jawab panglima maupun Kasum TNI," kata Khairul.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz