Menuju konten utama
Newsplus

Perlindungan PRT Dijanjikan, Pengesahan Terabaikan

Sudah 21 tahun RUU PPRT ditelantarkan nasibnya. Tahun 2025, DPR berencana membahasnya kembali, sebagai hadiah bagi kaum pekerja dalam rangka Hari Buruh.

Perlindungan PRT Dijanjikan, Pengesahan Terabaikan
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi teaterikal di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (1/2/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.

tirto.id - Terdapat sesat pikir yang dipelihara dalam sikap menunda-nunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Tahun ini, terhitung sudah 21 tahun atau dua dekade lebih sejak diinisiasi pada 2004, RUU PPRT tak menentu nasibnya. Penelantaran pembahasan RUU PPRT di Senayan – kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI – menunjukan komitmen yang lesu terhadap keadilan sosial bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia.

RUU PPRT berulang kali dijanjikan akan dirampungkan. Periode Pemerintahan dan Anggota Dewan silih berganti, namun RUU PPRT bagaikan tersandera terus-menerus ketika hendak menemui titik terang. RUU PPRT sudah melewati berbagai tahapan pembentukan legislasi: tercantum di Prolegnas sudah, jadi prioritas tahunan sudah, menjadi RUU inisiatif DPR pun sudah.

Maret 2023 silam, RUU PPRT sudah ditetapkan sebagai inisiatif DPR. Dua bulan berselang, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sebagai wakil Pemerintah, menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), yang kemudian dikirim ke DPR RI. Namun lagi-lagi mandek. Tak jelas betul bolanya di DPR.

Dalam periode pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Presiden Prabowo Subianto, RUU PPRT juga kembali masuk dalam daftar Prolegnas 2024-2029. Maka kali ini, tepat 21 tahun momen ditelantarkannya nasib RUU PPRT, komitmen negara kembali dinantikan. Tidak ada lagi dalih waras bagi rezim baru Pemerintah dan legislatif membiarkan RUU PPRT sekadar mondar-mandir di Senayan.

Staff Advokasi Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Jumisih, menilai 21 tahun penelantaran RUU PPRT menandakan negara yang tidak punya komitmen pada hak-hak pekerja rumah tangga. Ia menilai sejak pergantian rezim di Oktober tahun lalu, belum terlihat langkah berarti untuk kembali meneruskan pembahasan RUU PPRT.

“Jadi kami malah mendapatkan informasi bahwa ini (RUU PPRT) akan mulai dari nol, jadi tidak carry over. Nah, ini sebetulnya juga mengecewakan sih,” ucap Jumisih ketika dihubungi wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Sistem carry over RUU termaktub dalam dalam Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Mekanisme luncuran atau carry over, hanya bisa dilakukan terhadap RUU yang pada periode sebelumnya sudah dilakukan tahapan pembahasan bersama berdasarkan DIM, tapi belum tuntas.

Ketentuan itu membuat DPR periode baru dapat melanjutkan pembahasan DIM dari RUU warisan, tanpa harus memulai lagi pembicaraan dari awal.

Sayangnya, karena pembahasan RUU PPRT di periode lalu berakhir buram, kemungkinan besar rancangan beleid ini kembali dimulai dari nol. Di sisi lain, lebih baik pembahasan RUU PPRT dimulai ulang, dibanding terus dibicarakan tanpa ada tindakan sama sekali dari DPR dan Pemerintah.

Aksi tuntut pengesahan RUU PPRT

Aktivis Koalisi Sipil Untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) melakukan aksi teatrikal di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz.

Itulah mengapa asa Jumisah terus menyala-nyala. Pada momen Hari Buruh Internasional (1 Mei), ia berharap pemerintah dan DPR kembali memperhatikan nasib para PRT. Kejelasan pengesahan RUU PPRT bakal membuat payung hukum perlindungan dan hak dari pekerja rumah tangga tidak lagi kosong.

Padahal, kata Jumisih, mayoritas PRT adalah perempuan. Menelantarkan RUU PPRT sama saja mengabaikan komitmen perlindungan negara terhadap perempuan. Jika disahkan, hal ini akan membuat perubahan signifikan terhadap pandangan negara atas keadilan gender.

Perempuan – terutama yang bekerja sebagai PRT – masih dipandang tidak memiliki skill. Ini terbukti dengan tidak adanya pengakuan secara hukum PRT sebagai pekerja formal. PRT dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alhasil PRT dianggap sebagai pekerjaan informal yang posisinya rentan mendapat eksploitasi dan pengabaian hak asasi manusia.

Aksi tuntut pengesahan RUU PPRT

Sejumlah aktivis Koalisi Sipil Untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) melakukan aksi teatrikal di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz.

Memang terdapat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun, aturan ini tidak selevel dengan UU. Sehingga kasus-kasus kekerasan dan pengabaian hak PRT terus terjadi dan berulang.

“Bagi kami, apa yang dilakukan oleh teman-teman PRT itu adalah skill. Karena tidak semua orang juga sanggup melakukan itu,” ucap Jumisih.

JALA PRT mencatat sebanyak 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT dalam kurun waktu 2021-2024. Mengutip Amnesty Internasional, Kekerasan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup kekerasan psikis, ekonomi, hingga perdagangan manusia.

Sementara Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat dalam periode 2019-2023, ada 25 kasus kekerasan terhadap PRT yang diadukan ke Komnas Perempuan. Data ini hanya merangkum kasus-kasus yang tercatat dan dilaporkan. Faktanya, kekerasan terhadap PRT merupakan fenomena gunung es karena berlindung di balik urusan domestik.

Aksi tuntut pengesahan RUU PPRT

Aktivis Koalisi Sipil Untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) melakukan unjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz.

Pandangan sosio-kultural yang mengakar di masyarakat memang cenderung menganggap PRT sebagai sekadar ‘pembantu’ atau ‘asisten’ di rumah tangga. Entah sadar atau tidak, hal ini melanggengkan pola pikir feodal yang menempatkan manusia lebih rendah dibandingkan manusia lainnya. Anggapan seperti ini juga membuat urusan hubungan pekerja PRT dengan pemberi kerja sebatas relasi ‘kekeluargaan’ dan informal.

Masalahnya, relasi yang tidak dipayungi kekuatan legal formal itu rentan menempatkan PRT hanya sebagai objek yang dikuasai. Hal ini melanggengkan eksploitasi, kekerasan fisik dan psikis, hingga pengabaian hak ekonomi terhadap PRT. Dengan adanya UU PPRT nanti hal ini tidak akan dibiarkan, karena PRT akan dipandang dan diatur sebagai pekerja formal.

“Pak Prabowo itu harus memperhatikan juga RUU PPRT. Jadi tuntutan kami kepada pak Prabowo sebagai presiden adalah mendorong DPR segera membuat Panja pembahasan dan pengesahan RUU PPRT di periode saat ini,” ucap Jumisih.

PRT dalam Pusaran Ironi

Tanpa perlindungan hukum, PRT sering diperlakukan semena-mena. JALA PRT pada tahun 2009 melakukan rapid assessment, tercatat jumlah PRT di Indonesia diperkirakan mencapai 10.744.887. Dari jumlah itu, 67 persen dipekerjakan oleh rumah tangga kelas menengah dan menengah atas. Mirisnya, sekitar 30 persen di antaranya adalah pekerja rumah tangga anak (PRTA).

Sementara itu, International Labour Organization (ILO) melaporkan, pada 2015 tercatat ada sekitar 4 juta PRT di Indonesia. Sebanyak 81 persen PRT dewasa dan 92 persen PRT anak bekerja 6 hari atau 7 hari dalam sepekan. Dari total itu, juga ditemukan sebanyak 28 persen pekerja rumah tangga dewasa dan 23 persen pekerja rumah tangga anak berpenghasilan hanya Rp1 juta per bulan.

Perlakuan semena-mena dan kondisi kerja yang tidak ideal bagi PRT akan terus memburuk jika RUU PPRT terus diabaikan. Terlebih, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO C 189 - Domestic Workers Convention, 2011 (Nomor 189). Padahal, Hak atas pekerjaan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur secara jelas dalam UUD 1945 dan berlaku tanpa diskriminasi.

Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi seluruh hak asasi manusia termasuk hak atas pekerjaan. Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 menjamin, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja”.

AKSI TUNTUT DPR SAHKAN RUU PPRT

Sejumlah aktivis membawa poster di bawah kain lap raksasa yang dibentangkan dalam aksi damai memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

Bahkan, Komnas HAM sampai menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Pekerjaan yang Layak. Dalam SNP itu ditegaskan bahwa Pekerja Rumah Tangga merupakan salah satu kelompok rentan yang butuh pengaturan khusus dalam pemenuhan hak atas pekerjaan.

PRT mendapat kesulitan untuk pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak, karena jenis hubungan kerjanya sering kali dikecualikan dari hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebabnya, pemberi kerja merupakan orang perseorangan, dan relasi kerja sering dianggap bersifat kekeluargaan. Akibatnya, PRT rentan menanggung risiko pekerjaan secara mandiri, tanggung jawab dari pemberi kerja kerap absen karena tidak adanya landasan hukum yang dapat digunakan sebagai alas hak untuk menjamin dan memperjuangkan hak PRT.

Minimnya Upaya Pengesahan dan Narasi ‘Hadiah’ dari Pemerintah

Menyambut momen Hari Buruh Internasional 1 Mei, DPR kembali mengumbar janji. Kali ini lewat orang dekat Presiden Prabowo yang menjabat Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Dasco mengungkap DPR RI akan mulai membahas RUU PPRT sebagai bentuk hadiah dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day.

Dasco mengklaim, hadiah bagi para PRT sudah mendapat persetujuan dari para Pimpinan DPR RI, termasuk dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Ia menyebut DPR sudah memberikan masukan kepada pemerintah setelah menyerap aspirasi dari kelompok pekerja.

"Hadiah dari DPR Untuk kaum pekerja," kata Dasco usai acara silaturahmi dengan serikat pekerja di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (30/4/2025), mengutip Antara.

Tentu janji entah keberapa kali ini amat dinantikan realisasinya. Namun sepantasnya hal ini tak dianggap sebatas ‘hadiah’ dari DPR maupun pemerintah. Seolah-olah lupa selama dua dekade, PRT dan masyarakat sipil sudah berulang kali memperjuangkan RUU PPRT untuk segera menjadi undang-undang. Frasa ‘hadiah’ seakan-akan membuat penelantaran RUU PPRT yang dilakukan wakil rakyat di Senayan jadi tampak tak berbekas.

Direktur Eksekutif Kalyanamitra, Ika Agustina, memandang dengan tidak terjadi carry over terkait RUU PPRT dalam periode saat ini, menunjukkan DPR dan pemerintah tidak memiliki komitmen mengakui PRT sebagai pekerja formal. Kerja-kerja yang dilakukan PRT adalah kerja perawatan yang hingga saat ini tidak diakui, tidak dihargai, dan tidak dianggap memiliki nilai ekonomi.

Padahal kerja perawatan amat erat dengan persoalan konsepsi gender yang masih timpang. Maka dari itu, kata Dewi, RUU PPRT, sangat sejalan dengan prinsip keadilan gender.

“Makanya, memberikan pengakuan, penghormatan dan pemenuhan terhadap hak mereka, serta menjamin perlindungan PRT sama dengan mengakui hak-hak dasar mereka sebagai manusia dan sebagai pekerja,” ujar Ika kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

AKSI TUNTUT SAHKAN RUU PPRT

Seorang pengunjuk rasa dari Pekerja Rumah Tangga (PRT) mengenakan ikat kepala saat melakukan Aksi Tenda Perempuan di depan Gerbang DPR RI, Senayan, Jakarta, Sabtu (11/3/2023). ANTARA FOTO/Prabanndaru Wahyuaji/foc.

Dengan mengakui PRT sebagai pekerja formal, negara secara struktural akan mendorong masyarakat melakukan perubahan secara kultural. Dengan menghargai nilai dari kerja-kerja perawatan serta menghilangkan stigma PRT adalah pembantu yang tidak memiliki hak.

“Mengakui PRT sebagai pekerja formal bukan hanya soal hukum atau regulasi, tetapi juga masalah martabat manusia, kesetaraan gender, dan keadilan sosial,” lanjut Ika.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menambahkan, angka pekerja informal perempuan sebetulnya jauh lebih besar dibanding laki-laki. Dengan demikian, perempuan yang bekerja disektor informal banyak memberikan kontribusi positif dalam pembangunan ekonomi indonesia, terutama di sektor perawatan.

AKSI TUNTUT PENGESAHAN RUU PPRT

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi teaterikal di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (1/2/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.

Sehingga, kata dia, sudah kewajiban Pemerintah memberikan pengakuan dan perlindungan bagi perempuan buruh informal seperti PRT agar hak-hak mereka terjamin.

“Orientasi buruh murah menjadikan perempuan sebagai objek komodifikasi pasar yang tidak memiliki perlindungan hukum secara de facto adalah watak patriarki yang akan memperkuat pelanggaran hak dan kerentanan berlapis bagi perempuan pekerja informal seperti PRT,” kata Armayanti kepada wartawan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Mangkraknya nasib RUU PRT di DPR merupakan manifesto watak otokrasi kuasa patriarki negara. Agenda politik perempuan buruh sektor informal belum dijadikan prioritas kebijakan politik maupun program pembangunan.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH 2025 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto