tirto.id - Di tengah dorongan untuk mereformasi tubuh polisi, Jenderal Listyo Sigit Prabowo selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolirian RI (Perkapolri No.4/2025) di akhir September.
Keluarnya aturan ini dinilai banyak organisasi masyarakat sipil bertentangan dengan upaya reformasi kepolisian. Sebab, sejumlah muatan pasal dalam beleid ini memberi legitimasi bagi polisi untuk bertindak bahkan menggunakan senjata api saat melakoni kerja-kerja keamanan.
Dalam konsideransnya, Perkapolri No. 4/2025 ditujukan sebagai protokol penanganan terhadap aksi yang mengancam keselamatan polisi secara pribadi, keluarganya, dan lingkungan kepolisian. Aturan yang memuat 18 pasal ini tidak menuliskan secara gamblang klausul khusus pengamanan demonstrasi.
Tetapi kepolisian jelas mendefinisikan arti penyerangan sebagai tindakan agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan melukai, merusak, atau menguasai secara tidak sah, baik yang ditujukan ke markas kepolisian, asrama atau rumah dinas polisi, fasilitas umum, kendaraan, maupun personel polisi dan keluarganya.
Kabag Penum Divhumas Polri, Kombes Pol. Erdi A. Chaniago, menyebut terbitnya perkap bukanlah respons reaktif.
“Perkap Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 ini disusun untuk memberikan pedoman jelas bagi anggota Polri ketika menghadapi aksi penyerangan. Jadi bukan sekadar merespons satu kejadian, melainkan upaya antisipasi agar tindakan kepolisian di lapangan selalu tegas, terukur, dan sesuai ketentuan hukum,” ujarnya di Jakarta, Selasa (30/9/2025) dikutip dari rilis humas Polri.
Namun sejumlah pasal dalam aturan terbaru ini dinilai bertentangan dengan aturan lain seperti Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kombes Pol. Erdi A. Chaniago

Apa Saja Pasal yang Dinilai Bermasalah dalam Perkapolri No. 4/2025?
Pada Pasal 6 Perkapolri No. 4/2025 disebutkan bahwa tindakan kepolisian dapat dilakukan setelah mendapat serangan. Tindakan yang dimaksud mulai dari peringatan, penangkapan, pemeriksaan atau penggeledahan, pengamanan barang atau benda yang digunakan untuk melakukan aksi penyerangan, hingga penggunaan senjata api secara tegas dan terukur.
Dalam pasal berikutnya, klausul peringatan diatur kepolisian berupa pemberitahuan lisan dengan meneriakkan ucapan secara jelas dan tegas untuk menghentikan aksinya. Lalu dasar penangkapan diberlakukan bagi pihak yang tidak mengindahkan peringatan, perusak fasilitas kepolisian, dan mereka yang dicap menjadi provokator maupun agitator dalam aksi penyerangan.
Adapun dasar klausul pemeriksaan atau penggeledahan menurut Perkapolri No. 4/2025 itu menyasar mereka yang telah ditangkap polisi. Muatan penggeledahan ditujukan untuk menemukan barang yang lekat dengan unsur penyerangan atau membahayakan.
Selanjutnya, klausul penggunaan senjata termuat dalam Pasal 11 sampai 15. Polisi dalam aturan itu dapat melepas tembakan kepada mereka yang memasuki lingkungan Polri secara paksa, dan mereka yang lakukan pembakaran, pencurian, perampasan, penjarahan, penyanderaan, penganiayaan dan pengeroyokan. Tembakan juga bisa dilepas terhadap mereka penyerang yang dapat mengancam jiwa petugas kepolisian.
“(...) Petugas Polri dapat melakukan tindakan untuk melumpuhkan dengan menggunakan senjata api yang dilengkapi amunisi karet dan/atau amunisi tajam,” petik pasal 14.
Bagi Polri, penerbitan Perkapolri No. 4/2025 ini diklaim sebagai kebutuhan untuk memberikan dasar hukum yang jelas, tegas, dan terukur terhadap setiap tindakan penindakan aparat. Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil melihat terbitnya peraturan teranyar ini jadi alat legitimasi polisi melakukan kekerasan, yang berpotensi melanggar HAM.

Bagaimana tanggapan kelompok masyarakat sipil?
Kekuatan hukum Perkapolri No. 4/2025 dinilai ilegal jika dijalankan oleh kepolisian. Sebab, beleid itu melangkahi strata hukum tertinggi yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, memaknai kepolisian sedang bereaksi melalui Perkapolri No. 4/2025 ini lantaran gelombang demonstrasi Agustus lalu menempatkan pos dan markas polisi menjadi sasaran amuk massa, terlebih saat tragedi Affan Kurniawan meletus.
“Sehingga mereka berpikir bisa melegitimasi tindakan berbekal Perkap,” kata Arif kepada Tirto, Jumat (3/10/2025).
Ihwal benturan hukum, Arif menjelaskan sederet pasal yang ada di Perkapolri tersebut tidak sejalan dengan KUHAP. Semisal sejumlah tindakan yang bisa dilakukan kepolisian pada Pasal 6 Perkapolri No. 4/2025 yang sebenarnya tidak jelas dasarnya. Padahal terkait klausul penangkapan, misalnya, KUHAP dalam Pasal 17 mengatur dasar penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, jika berdasar bukti permulaan yang cukup.
Seturut itu, dasar polisi untuk melakukan penahanan juga mesti berdasar bukti yang cukup seperti dalam Pasal 21 KUHAP. Adapun dalam Perkapolri itu tidak dituliskan bagaimana prosedur penangkapan dan penahanan.

“Penahanan juga harus ada izin lebih dulu, penyitaan dan penggeledahan juga harus ada izin dari pengadilan. Tapi melalui Perkap yang ada, itu seperti diterabas, itu yang kami maksud melanggar hukum acara, khususnya terkait upaya paksa,” kata Arif.
Arif juga menyoroti Pasal 1 Perkapolri terkait diksi ‘tindakan lain’ terhadap aksi penyerangan, yang tidak juga dijelaskan dalam aturan tersebut. Menurutnya, tindakan lain ini bisa menjadi justifikasi atau legitimasi bagi polisi melakukan tindakan yang tidak di luar aturan yang berlaku.
“Bisa saja diartikan tindakan penyadapan, penyiksaan, dan penahanan yang berujung berhari-hari di kantor kepolisian tanpa pemberitahuan ke pihak keluarga. Dalam penegakan hukum, adanya hukum acara itu sangat penting. Sehingga tindakan aparat kepolisian bisa dipertanggungjawabkan,” ujar dia.
Masuk ke aturan penggunaan senjata, Arif mengingatkan Perkapolri yang baru terbit ini bertentangan dengan Perkapolri No. 1 Tahun 2009 maupun Perkapolri No. 8 Tahun 2009 yang mengatur prasyarat penggunaan kekuatan maupun implementasi prinsip HAM dalam kerja-kerja polisi.
Kedua beleid itu menjelaskan bahwa penggunaan kekuatan senjata api mesti sangat hati-hati. Karenanya, penggunaan senjata api dijadikan opsi atau upaya terakhir untuk melindungi nyawa dan keselamatan publik. Penggunaan senjata pun mesti mengedepankan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas maupun kewajaran.
“Penggunaan senjata yang cukup esensial dikritisi dari Perkapolri 4/2025 ini. Penggunaan peluru tajam dan karet bisa mengakhiri hidup seseorang. Hak hidup enggak boleh dibatasi loh. Itu berkaitan prinsip HAM, dan ini berbahaya,” tutur Arif.
Sehingga, Arif kembali menekankan aroma kental kepentingan kepolisian dalam Perkapolri anyar ini. Terlebih, kriteria sasaran penyerangan yang menjadi dasar tindakan kepolisian sama sekali tidak mengakomodir kepentingan institusi lain. Jika yang jadi rujukan adalah demonstrasi Agustus lalu, gedung parlemen daerah juga menjadi target sasar.
“Dalam negara hukum dan demokrasi, mereka yang membuat aturan dan yang melaksanakan harus dipisah, termasuk yang mengawasi. Karena berpotensi abuse of power,” katanya.
Arif mengingatkan absennya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang jelas dalam penggunaan tindakan kepolisian dalam Perkapolri ini bakal menjadi justifikasi impunitas praktik kekerasan dan brutalitas aparat kepolisian serta pelanggaran HAM, seperti pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) yang selama ini sering berulang.
Adapun sepanjang tahun 2019-2024, YLBHI mendata ada 94 nyawa melayang akibat 35 peristiwa penembakan yang melibatkan aparat kepolisian sebagai pelaku. Ditambah, data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan penggunaan senjata api oleh polisi menewaskan 40 orang sepanjang Juli 2021-Juni 2022.

Arif menegaskan Perkapolri No. 4/2025 sama sekali tidak mencerminkan reformasi Polri yang digadang-gadang internal kepolisian dan pemerintah. Komisioner Kompolnas, Yusuf Warsyim, agak sepakat dengan hal tersebut. Yusuf bilang belum ada prioritas reformasi kepolisian seiring terbitnya beleid itu.
“Prioritas pada kebutuhan dan harapan reformasi. Tim internal (reformasi Polri) sudah ada, maka rencana aksi yang perlu dilakukan itu diwujudkan dengan terang dan nyata. Sebagai Anggota Kompolnas, (saya) menyarankan agar Perkap tersebut dipertimbangkan dulu keberlakuannya saat ini,” kata Yusuf saat dihubungi Tirto melalui pesan singkat, Jumat (3/10/2025).
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































