tirto.id - Sebuah grup Facebook bernama Sumenep Baru memiliki anggota lebih dari 75 ribu. Isinya warga Sumenep—kota di ujung Pulau Madura, Jawa Timur. Grup itu dibuat sejak enam tahun lalu. Setiap hari, ada sekitar 300 konten yang hilir mudik dalam percakapan grup.
Ari, warga Pakandangan, tergabung di dalamnya. Ia berkata bahwa semula grup itu sama sekali tak membahas politik, hanya seputar informasi soal Sumenep.
Menjelang pemilihan presiden 2019, percakapan soal politik menjadi lebih intens. Pelbagai informasi tentang kedua calon presiden makin semarak.
Namun, alih-alih membahas soal kinerja, rekam jejak, kredibilitas, maupun reputasi kedua capres, Ari lebih sering mendapatkan informasi soal isu "PKI", "anti-Islam", atau "Islam radikal" yang diributkan para pendukung kedua kubu. Sesekali ia menerima informasi yang menurutnya bohong alias hoaks.
Konten-konten yang menyangkutpautkan Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) bertebaran. Bentuknya dari tulisan hingga suntingan foto.
Sebaliknya, isu Wahabi—dianggap mewakili pandangan 'Islam radikal'—juga dikembangkan oleh anggota grup itu buat menyerang pasangan Prabowo-Sandiaga. Beragam meme dan tautan ke situs tertentu diunggah. Salah satunya menuju ke situs santrinews.com. Salah satu unggahan bertanggal 8 April 2019, atau sembilan hari sebelum hari pencoblosan, mengangkat tulisan berjudul “Warga NU Golput, Wahabi Berkuasa”.
Tulisan itu mengutip pernyataan Kiai Haji Marzuqi Mustamar, pimpinan pondok pesantren Sabiilul Rosyad, Gasek, Malang, yang mendorong pengikut Nahdlatul Ulama agar tak memilih pasangan capres-cawapres yang didukung kelompok Wahabi. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur ini, dalam artikel tersebut, mengatakan tidak rela atas tindakan Sandiaga Uno yang menggunakan bendera NU saat melakukan kampanye.
Imaduddin, anggota Pengurus Cabang Pemuda Ansor Sumenep, berpendapat masyarakat kesulitan memilah informasi di tengah rendahnya literasi. Ketika kebenaran sulit dipastikan, ucapan pemimpin agama jadi acuan.
“Mereka enggak tahu itu benar atau bohong, yang jelas itu perintah kiai,” ujarnya sembari menunjukkan pesan-pesan yang disebar melalui grup WhatsApp.
Pesan-pesan itu, kata Imaduddin, tak cuma beredar di dunia maya, tapi juga disebarkan para tokoh agama melalui berbagai pengajian.
Di Sumenep, Jokowi tak pernah menang. Pada Pilpres 2014 dan 2019, perolehan suara Prabowo di kabupaten itu selalu mengungguli Jokowi. Prabowo bahkan memperbesar selisih kemenangan dari 15 persen menjadi hampir 28 persen.
Para Kiai Jadi Corong
Kiai Haji Ilyas Siraj, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Sumenep, menolak atas tudingan bahwa ia menyebarkan narasi kebencian berbasis Islam untuk mendongkrak suara pasangan Prabowo-Sandi dalam Pemilihan Presiden 2019. Tudingan itu, kata Ilyas, berasal dari kubu Jokowi-Ma’aruf Amin.
Menurutnya, kubu Jokowi-Amin yang melabeli pihaknya dengan beragam narasi negatif, di antaranya label "Wahabi" dan keberpihakan pada "Hizbut Tahrir Indonesia" alias HTI.
“Isu Wahabi begitu kuat tuduhannya ke kami. Kalau Prabowo menang, Wahabi akan menguasai, lalu diangap aliran keras,” ujarnya kepada reporter Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (Jaring.id), yang berkolaborasi dengan Tirto untuk peliputan politik identitas pada Pilpres 2019.
“Sumenep daerah mayoritas NU. PCNU-nya sangat kuat. Siapa pun yang datang ke sini diterima, tetapi tetap pilihannya 02,” imbuhnya.
Salah satu sebab keoknya Jokowi di Madura, menurut Ilyas, adalah sosok merakyat yang tak cocok dengan imaji pemimpin di kepala banyak pemilih. Ilyas menilai narasi “pemimpin merakyat” yang dibangun tim kampanye Jokowi tidak ampuh di Madura.
Lain hal dengan Prabowo yang dinilai Ilyas merupakan "sosok tegas dan berwibawa." Dua hal itu dianggapnya lebih cocok dengan imaji pemimpin di kepala masyarakat Madura. Sosok Ma’aruf Amin sebagai Ulama NU juga tak banyak berpengaruh.
"NU ya NU. Ma’aruf Amin ya NU, tetapi orang Madura yang enggak kehilangan daya kritisnya tetap milih Prabowo,” ujarnya.
Spanduk ukuran 2 x 3 meter persegi dengan wajah Prabowo-Sandi masih terpampang di Ponpes Nurul Islam ketika reporter Jaring.id berkunjung menemui Ilyas pada 5 Mei 2019. Lemari di kamar para santri hingga pengeras suara pun tak luput dari stiker bergambar wajah Prabowo-Sandi.
Di Pamekasan, Prabowo-Sandi juga menang telak. Berdasarkan data resmi KPU, pada Pilpres tahun ini, pasangan itu meraup 83,69 persen suara.
Kiai Haji Taufik Hasyim, Ketua Pengurus Cabang Nadhlatul Ulama Pamekasan, menyebut Pamekasan memiliki kultur NU berbeda sehingga Prabowo-Sandi sukses mendulang suara di daerah tersebut.
Selain itu, sederet tuduhan diklaimnya membentuk gambaran negatif soal pasangan Jokowi-Amin. Salah satunya sebagai "antek PKI."
“Itu yang masuk ke masyarakat. Jokowi dianggap sesat, kafir, dan liberal. Dari situ dimunculkan isu bela Islam di Madura,” ujarnya.
Isu PKI dinilai masih membekas di memori kolektif masyarakat Madura sehingga mudah dimobilisasi untuk meraup dukungan. Keberhasilan Prabowo-Sandi mendulang suara di Kabupaten Pamekasan, lanjutnya, tak lepas dari label "kafir" dan berbagai sebutan negatif lain yang dilekatkan kepada Joko Widodo.
“Ada salah satu Kiai minimal [yang menyebut] hukumnya haram memilih Pak Jokowi,” kata Taufik.
Menggandeng Ma’aruf Amin—yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama—sebagai calon wakil presiden ternyata cukup menguntungkan Jokowi meraup suara di Jawa Timur. Meski kalah di beberapa daerah di Madura, secara keseluruhan, Jokowi menang telak dari Prabowo.
Lima tahun lalu, selisih kemenangan Jokowi di Jawa Timur hanya 6,34 persen dari Prabowo. Tahun ini, banyak warga Jatim yang emoh memilih Prabowo lagi dan beralih ke Jokowi sehingga selisih kemenangan Jokowi sangat mencolok menjadi 31,83 persen suara.
Kiai Haji Taufik Hasyim, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pamekasan, menyebut upaya pemenangan Jokowi-Amin di Jawa Timur dilakukan dengan beragam strategi. Struktur NU di tingkat ranting hingga desa bekerja.
"NU dan Muslimat solid. Kita door-to-door ke rumah-rumah warga. Pengajian banyak di ranting. Belum [lagi] di Muslimatnya, Fatayatnya. Ini mesti jalan semua,” terangnya.
Kiai Haji Marzuqi Mustamar, Ketua PWNU Jawa Timur, mengklaim NU berperan dan telah berhasil mendongkrak suara Jokowi-Amin di Jatim.
"Harus diakui selisih bisa [lebih dari] 30 persen itu simbolnya ada di NU. Kenapa NU bisa menyatu? Karena ada Kiai Ma’aruf Amin,” ujarnya kepada Jaring.id pada 8 Mei 2019.
Kenyataannya, kehadiran Ma’aruf Amin saja tidak cukup membuat tim Jokowi percaya diri. Mereka memainkan politik identitas untuk menyerang kubu Prabowo-Sandi dan bertahan dari serangan lawan yang juga memainkan politik identitas.
Muhammad Al-Fayyadl, pengajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, mengkritik pemanfaatan struktur NU untuk memenangkan Jokowi-Amin. Menurutnya, ada upaya untuk memaksakan kehendak agar setiap pondok pesantren memilih paslon nomor urut 01.
“Ada semacam edaran dari pengasuhnya. Di Sidogiri memilih 01 karena melihat Ma’aruf Amin, [sebab] nanti NU dipermalukan kalau kalah. Jadi ada perintah memilih 01 [dengan] mengajak alumni [Ponpes]," ujarnya.
Ancaman Politik Identitas
Sekretaris Tim Pemenangan Jokowi-Amin Jawa Timur Sri Untari menyebut kemenangan Jokowi di Jawa Timur tidak terlepas dari kekuatan "nasionalisme" yang diwakili oleh PDIP dan agama yang diwakili oleh NU. Ia menampik anggapan soal kentalnya aroma politik identitas berbasis Islam di Jawa Timur semasa Pilpres 2019.
“Jawaban politik identitas itu cinta bangsa dan negara dengan dasar Pancasila. Maka, tidak laku politik identitasnya,’’ ujarnya saat dihubungi lewat telepon.
Ahmad Zainul Hamdi, dosen politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, punya pandangan berbeda. Menurutnya, perbedaan dukungan politik di kalangan NU mengindikasikan efektivitas penggunaan isu agama dalam politik identitas.
“Mereka bisa saja secara ritual sama dengan NU. Salatnya, selawatnya sama, tetapi mereka memiliki imajinasi sosial-politik mereka sendiri. Pengurus FPI (Front Pembela Islam) di Madura itu kiai-kiai NU,” kata Hamdi.
Ia menilai penggunaan politik identitas pada Pemilu 2019 sangat kotor. Berbagai hal yang bersifat privat dijadikan isu publik.
Hamdi khawatir penggunaan politik identitas secara terus-menerus bakal membuat pemilih tidak jernih melihat situasi. Belum lagi sistem patronase yang menyebabkan masyarakat sekadar mengikuti kata pemimpin tanpa mampu melakukan kritik.
“Semua bisa tidak waras melihat manusia. Indonesia bisa dianggap tidak ada, yang ada 'pasukan setan' dan 'pasukan Allah'. Tidak ada hal lain selain menang atau menang total. Itu sangat jahat menurut saya,” ungkapnya.
========
Laporan ini adalah kolaborasi antara Tirto.id danJaring.id. Dua reporter Jaring.id, Abdus Somad dan Damar Fery Ardiyan, terlibat dalam proses peliputan dan penulisan.
Koreksi: Kami semula menulis Kiai Haji Marzuqi Mustamar adalah Sekretaris PWNU Jawa Timur. Yang akurat: Ketua PWNU Jatim.
Editor: Fahri Salam