tirto.id - Penghitungan suara pemilihan presiden 2019 sudah selesai dilakukan. Dalam hasil rekapitulasi yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Mei 2019 dini hari, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin diumumkan menjadi pemenang.
Pasangan petahana ini mengungguli lawannya Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam kontestasi menjadi pemimpin Indonesia dengan suara 85.607.362 atau 55,50 persen dengan selisih 16.957.123 suara. Perolehan suara Prabowo-Sandiaga 68.650.239 suara.
Artinya, Jokowi kembali mengungguli Prabowo untuk kedua kalinya. Pada 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil meraih 70.633.576 suara, unggul sebanyak 8.370.732 suara atau 6,30 persen dari Prabowo–Hatta yang memperoleh 62.262.844 suara.
Berdasarkan hasil real countKPU yang diakses pada 22 Mei 2019 pukul 08:45, dengan data yang masuk sebanyak 759.637 dari total 813.350 TPS atau sekitar 93,39 persen, Tirto mencoba menelaah pola pergeseran suara Jokowi dan Prabowo pada 2019 dibanding 2014.
Kami ingin melihat bagaimana kedua calon mengukuhkan fondasi suara mereka di daerah-daerah yang mereka menangkan pada 2014. Juga, sejauh mana kedua pasangan calon memperluas wilayah kekuasaannya dalam dua kontestasi pemilihan presiden ini.
Wilayah Kemenangan Jokowi Berkurang
Jokowi–Amin berhasil menang di 21 provinsi, yakni Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Bali, Bangka Belitung, Yogyakarta, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Jawa Tengah, NTT, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Maluku, Gorontalo, Sumatera Utara, DKI Jakarta, serta provinsi baru: Kalimantan Utara.
Sementara itu, Prabowo-Sandiaga menang di 13 provinsi, yakni Bengkulu, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Banten, Aceh, NTB, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Riau.
Lima tahun lalu, Jokowi berhasil memenangi 23 provinsi, sedangkan Prabowo hanya memenangi 10 provinsi. Ada empat provinsi yang tadinya memenangkan Jokowi bergeser ke Prabowo pada 2019, yakni Jambi, Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Jokowi: Jawa & "Provinsi Minoritas"
Di Sumatera, Jokowi berhasil menyelamatkan 4 dari 10 provinsi, yakni Sumatera Utara, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Sementara ia kehilangan Jambi dan Bengkulu yang tahun ini berbelok ke Prabowo.
Di Jawa, Jokowi berhasil memenangi kembali daerah-daerah yang telah ia menangi pada 2014, yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Ia juga meningkatkan margin kemenangan dengan signifikan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jatim, Jokowi memperbesar selisih kemenangan dari 6,34% menjadi 31,83%. Di Jateng, selisih kemenangan meningkat dari 33,29% pada 2014 menjadi 54,52% pada 2019.
Jokowi memang belum berhasil mengubah suara Jawa Barat dan Banten, tetapi setidaknya ia mampu menekan margin kekalahan sehingga tidak terlalu besar. Pada 2014, Jokowi kalah sebanyak 19,57% suara di Jabar, sementara pada 2019, ia kalah 18,99% suara.
Jokowi banyak menang di daerah Indonesia Timur, termasuk Sulawesi. Jokowi mampu menggandakan suara di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo, tetapi harus kehilangan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Patut dicatat bahwa Jokowi menang besar di provinsi yang penduduk mayoritasnya merupakan agama minoritas negeri ini. Di Bali, Jokowi mendulang suara besar. Ia memperoleh 91,68% suara, peningkatan yang sangat signifikan mengingat pada 2014 ia memperoleh 71,42% suara.
Jokowi juga berjaya di Indonesia bagian timur. Di NTT, Jokowi meningkatkan margin kemenangan dari 31,84% di 2014 menjadi 77,07% di 2019. Jokowi juga melakukan hal sama di provinsi Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, terdapat asumsi yang kuat bahwa Jokowi memang presidennya orang Jawa. Ada sekitar 58,82 persen penduduk Jawa yang memilih Jokowi. Jumlah penduduk di Jawa sendiri terhitung besar, sekitar 34 persen dari total populasi Indonesia.
Prabowo: Sumatera dan Provinsi dengan Corak Keislaman Kuat
Prabowo berhasil memenangi provinsi-provinsi di Sumatera, Jawa bagian Barat, Kalimantan Selatan, separuh Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.
Prabowo berhasil menambah suara yang signifikan di Aceh dan Sumatera Barat; dua wilayah yang kehidupan islami kuat (terdapat hukum berdasarkan syariat Islam di Aceh dan perda syariah di Sumbar). Pada 2014, margin kemenangan Prabowo di Aceh hanya 8,79%, dan pada 2019 margin itu meningkat signifikan menjadi 70,60%. Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat. Jika pada 2014, Prabowo menang 53,84%, tahun ini ia menang dengan margin 71,85%.
Prabowo juga kompetitif di Kalimantan Barat, tempat dia kalah sebesar 20,75% pada 2014. Kini, ia menekan margin kekalahan hingga 15,06% saja. Di Kalimantan Selatan, Prabowo berhasil menang dengan margin 28,11%, padahal selisih kemenangannya atas Jokowi pada 2014 tidak begitu signifikan. Kalimantan Selatan sendiri dikenal sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU). Keputusan Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden rupanya tidak berpengaruh pada pemilih NU di sana.
Prabowo juga mampu merebut Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Di Sulsel, Prabowo kalah dengan margin 42,86% pada pilpres lalu, tetapi ia mampu membalik keadaan dengan menang 13,49% dari Jokowi. Di Sulteng, keadaannya hampir sama. Jokowi yang awalnya menang 9,80% harus kalah dari Prabowo pada 2019 dengan margin 20,50%.
Nusa Tenggara Barat juga masih milik Prabowo. Pada 2014 ia menang dengan margin 44,90%, tetapi selisih suaranya dengan Jokowi menurun jadi 35,76% pada 2019. Dukungan Tuan Guru Bajang ke Jokowi hanya sedikit berpengaruh pada tingkah laku pemilih di provinsi ini.
Lumbung suara Prabowo adalah Jawa Barat dan Banten. Jawa Barat adalah provinsi dengan pemilih terbesar di Indonesia. Pada 2014, selisih suara Prabowo dengan Jokowi adalah 19,57%. Tahun ini, selisihnya hanya 18,99%. Sementara itu, di Banten, daerah asal Ma’ruf Amin, perolehan suara Prabowo malah naik. Pada 2014, Prabowo memenangi Banten dengan selisih 14,20%. Tahun ini, selisihnya melebar menjadi 23,24%.
Faktor Partai dan Identitas
Pada skenario Jokowi, dapat diamati bahwa daerah-daerah yang dikuasai PDI Perjuangan pada Pemilu Legislatif 2014 akan kembali memenangkan Jokowi pada Pilpres 2019. Pola ini terutama berlaku di Jawa, kecuali Jawa Barat dan Banten, serta beberapa daerah di Sumatera seperti Lampung, Kep. Bangka Belitung, dan Kep. Riau, serta Bali. Provinsi Bali sendiri memenangkan PDI Perjuangan dengan perolehan suara yang besar: 43,12%.
Kekuatan PDI dalam mendukung Jokowi juga menguat lewat kepala daerah yang terpilh di Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. I Wayan Koster dan Ganjar Pranowo yang didukung PDI menguatkan kedekatan rakyat terhadap Jokowi. Khofifah Indar Parawansa, meski tidak didukung PDI dalam Pilkada 2018, telah menyatakan dukungannya terhadap Jokowi sejak 2018.
Dari kubu Prabowo, Aceh memang dikuasai oleh Gerindra sejak 2014, dengan perolehan suara 15,82%. Sementara itu, sosok Prabowo dikuatkan oleh Gubernur Irwan Prayitno di Sumatera Barat yang merupakan kader PKS.
Daerah-daerah yang diambil Prabowo pada 2019, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, tidak mengikuti kecenderungan partai yang terpilih di pemilu legislatif dan partai yang mendukung kepala daerahnya. Jambi dan Bengkulu dikuasai oleh PDI pada pileg kali ini. Sementara itu, Sulawesi Tengah dikuasai Nasdem dan Sulawesi Selatan masih menjadi tempat bagi Golkar.
Partai tidak selalu menjadi faktor keterpilihan pasangan calon, apalagi modus koalisi di Indonesia begitu cair. Pilihan rakyat dalam pemilu presiden juga belum tentu berbanding lurus dengan partai pengusung calon di pemilu legislatif.
Di sisi lain, polarisasi berdasarkan identitas religius semakin mendalam dalam pilpres kali ini. Prabowo memperbesar kemenangannya di provinsi-provinsi dengan kehidupan keislaman yang kental, seperti Sumatera Barat, Aceh, Banten, Kalimantan Selatan, meski kemenangannya menipis di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat.
Jokowi juga semakin mempertebal kemenangannya di Bali, NTT, Papua, dan Papua Barat. Di empat provinsi dengan penduduk mayoritas Hindu dan Kristen inilah Jokowi mendapat persentase suara tertinggi.
Ilmuwan politik Made Tony Supriatma berpendapat penyebab pembelahan elektorat di atas adalah kampanye dengan penggunaan sentimen identitas secara besar-besaran dan berkepanjangan oleh kedua kubu. Belum lagi modus penyebaran hoaks, berita palsu, dan penyesatan informasi lewat media sosial yang membikin orang hanya bertukar informasi dengan mereka yang memiliki identitas sejenis.
"Tidak ada lagi afiliasi silang (cross-cutting affiliation), yang dalam ilmu sosiologi disebut sebagai fondasi masyarakat modern. Orang semakin terkonsolidasi dalam kubunya masing-masing dan memandang orang di luar kubunya sebagai lawan yang akan memusnahkannya," demikian Made menulis dalam kolomnya di Tirto.
Editor: Maulida Sri Handayani