Menuju konten utama

Dukungan La Nyalla untuk Jokowi dan Kenapa Isu PKI Terus Berembus?

Isu PKI terus digulirkan selama masih berpengaruh. Pengaruhnya bahkan melampaui janji-janji politik semacam infrastruktur, ekonomi, dan HAM.

Dukungan La Nyalla untuk Jokowi dan Kenapa Isu PKI Terus Berembus?
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) berjabat tangan dengan sejumlah ulama Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok sebelum menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1440 Hijriah/2018 Masehi di Masjid Baitussalam, Kompleks Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/11/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Citra Presiden Joko Widodo yang kerap dikaitkan dengan PKI, Cina, dan Kristen, sampai saat ini masih belum lenyap. Menjelang pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2019, isu itu masih sering berembus, salah satunya dengan beredarnya spanduk bertuliskan #JKWBersamaPKI.

Langkah Jokowi menggandeng Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya untuk Pilpres 2019, juga tidak lantas membuat isu itu lepas darinya. Begitu juga setelah ia mendapat dukungan dari La Nyalla Mattalitti, yang mengklaim dulu menjadi aktor awal yang menghembuskan isu tersebut.

Pengajar ilmu politik dan pemerintah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi menilai, isu PKI yang melekat ke Jokowi sejatinya tidak memiliki kaitan dengan PDIP sebagai partai pengusung. Sebab, secara historis, tidak ada hubungan antara PDIP dengan PKI.

Menurut Arya, isu PKI dilemparkan hanya sebatas sebagai bahan kampanye.

“Itu hanya bahan kampanye saja. PDIP dianggap musuh bersama yang bukan partai religius dan Islami. Oleh karena itu yang mudah dimainkan, ya, isu PKI,” ujar Arya saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis petang (13/12/2018).

Arya mengemukakan, tidak tertutup kemungkinan partai lain juga terimbas isu PKI jika tidak menunjukkan citra partai Islami.

“Ini sangat memungkinkan dilempar dan dilekatkan juga ke partai lain. Nasdem atau PSI, mungkin. Sekarang PDIP karena mereka menjadi lawan terbesar saja. Wong orang rajin ibadah saja bisa di-PKI-kan. Karena dengan mem-PKI-an pihak tertentu, itu akan dilawan oleh seluruh orang," jelas Arya.

Secara historis, lanjut Arya, isu PKI sudah ada sejak zaman Orde Baru dan terus direproduksi. Itulah mengapa isu PKI menjadi lekat ke dalam memori kolektif masyarakat.

"Pengaruhnya bahkan melampaui janji-janji politik semacam infrastruktur, ekonomi, HAM, dan lainnya," kata Arya.

Arya menuturkan, bergabungnya La Nyalla ke kubu Jokowi-Ma'ruf tidak serta-merta membuat isu PKI hilang. Sebab, isu itu bisa dimainkan di lain tempat, di lain waktu, dan di lain konteks.

"Ada faktor lain juga. Bisa jadi masyarakat sudah dinetralisir bahwa Jokowi bukan PKI, tapi itu belum tentu mengkonversi suara mereka ke Jokowi. Selalu ada fenomena protes voting yang muncul di Indonesia. Orang memilih Prabowo bukan karena suka Prabowo, tapi karena enggak suka Jokowi. Begitu juga sebaliknya," terang Arya.

Satu lagi faktor yang menurut Arya dapat memunculkan isu PKI adalah adanya reinforcement effect dalam kampanye. Dalam hal ini, maksud Arya adalah isu PKI digunakan untuk menebalkan identitas dan ideologi masyarakat tertentu.

"Isu itu tidak akan mengubah cara pandang seseorang, tapi justru memperjelas identitas dan ideologi yang ia miliki. Kampanye itu bisa mempertebal preferensi politik seseorang, bukan mengubah," kata Arya.

Infografik CI Isu PKI

Infografik CI Isu PKI

PDIP Dirugikan

Tak cuma Jokowi seorang, para kader PDIP juga kerap terkena imbas isu PKI. Politikus senior PDIP Eva Sundari mengakui bila isu PKI yang dihembuskan selama masa kampanye, sering merugikan kader partai banteng dalam banyak pemilihan umum.

Eva mencontohkan Djarot Saiful Hidayat, yang kalah dalam Pilgub DKI 2017 dan Pilgub Sumut 2018, karena imbas jejaknya yang pernah bergandengan dengan Ahok. Tak cuma Djarot, Rano Karno juga kalah di Pilgub Banten karena dituding kader PKI.

"Kami merasa sangat dirugikan sekali. Ada pertarungan yang tidak sehat dalam demokrasi kita. Dan memang, Indonesia dalam indeks demokrasi global menurun menjadi 20 persenan karena politisasi agama dan hate speech," kata Eva saat ditemui di kompleks DPR RI, Kamis pagi.

Eva sendiri juga ikut merasakan hal serupa ketika pada 2014 silam, ia dituduh sebagai kader PKI oleh Kivlan Zein, Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

"Itu memang strategi yang disebarkan lewat Kivlan atau FPI. Tapi ketika ditantang kenapa tidak lapor polisi, mereka tidak berani. Artinya memang hanya sebuah isu saja yang dimainkan," lanjut Eva.

Eva merujuk survei LSI dan Kompas, yang menunjukkan bahwa segmentasi kepercayaan terhadap isu PKI ada pada elite PKS, PAN, dan Gerindra.

"Artinya memang diolah oleh tiga partai besar itu," kata Eva.

Menurut Eva, isu PKI akan ditelan terutama oleh generasi yang tidak memahami sejarah.

"Kenapa PDIP enggak mau masuk ke ranah itu padahal kita yang dirugikan? Karena kita tahu konsekuensinya publik akan dirugikan. Kita pengen tetap waras. Ini pendidikan politik, jangan semua ikut gila," ujar Eva menambahkan.

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade membantah tudingan yang menyebut bahwa pihaknya yang mengolah isu PKI. Dia juga mengaku BPN tidak akan memanfaatkan isu tersebut untuk mengalahkan pasangan Jokowi-Ma'ruf.

"Haduh, kok isu PKI lagi. Ya intinya, kita, Prabowo, Sandi, BPN, relawan, enggak akan mainkan isu itu. Fokus kita ke isu ekonomi, tawarkan lapangan pekerjaan, itu yang akan kami tawarkan," ujar politikus Partai Gerindra itu kepada reporter Tirto, Kamis sore.

"Kami juga bingung, kok masih cerita PKI aja sih. Takutnya saya, jangan sampai Pak Jokowi dan timses hanya main playing victim saja. Jokowi bisa mainkan instrumen kepolisiannya, telusuri apa ada yang mainkan isu PKI, daripada curcol dan nuding sana-sini. Yang pasti bukan dari BPN," tambah Andre.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abul Muamar