tirto.id - Banjir Jakarta menjadi fenomena tahunan yang terus berulang tanpa pernah tuntas terselesaikan penyebabnya. Namun sejak zaman Tarumanegara hingga sekarang penyebab banjir Jakarta masih berkutat pada tiga masalah utama.
Pada artikel terdahulu, Tirto pernah menuliskan sejarah singkat tentang revitalisasi Sungai Citarung pada era Kerajaan Tarumanegara. Sungai ini kerap terkait dengan banjir, termasuk yang melanda Jakarta.
Dalam peradaban masyarakat Sunda, pada era Maharaja Purnawarman, raja ke-3 Tarumanegara yang memerintah tahun 317-356 Saka atau 395-434 Masehi, pengerukan Sungai Citarum sudah dilakukan dalam upaya mengantisipasi banjir.
Kala itu, kawasan yang saat ini dikenal sebagai Jakarta termasuk wilayah kekuasaan Tarumanegara.
Tak hanya Citarum, Purnawarman kerap menerapkan gebrakan terkait sungai. Yoseph Iskandar dalam Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa (1997) memaparkan, proyek besar sungai pertama yang dilakukan Purnawarman adalah perbaikan alur Sungai Gangga atau Setu Gangga di Cirebon pada 410 Masehi.
Sejak saat itu meski pemerintahan terus bergulir namuan upaya menghentikan banjir Jakarta terus dilakukan. Termasuk dengan membangun bendungan, normalisasi sungai, pembangunan sodetan Ciliwung, dan tanggul laut raksasa.
Sayangnya, hingga kini banjir Jakarta tetap menjadi masalah pelik yang belum juga tuntas.
Faktor Utama Penyebab Banjir Jakarta
Ingat bagaimana banjir Jakarta selalu menjadi fenomena pembuka di tahun baru? Ketika di tahun 2020 bahkan bencana ini membikin Jakarta lumpuh dan Jabodetabek terkena dampak besar, begitupun awal tahun 2021 kemarin – dan mungkin di 2022 mendatang.
Menurut WRI Indonesia, lembaga kajian independen yang fokus pada pembangunan sosio-ekonomi, jaringan drainase kota sudah kewalahan menampung air hujan sehingga menimbulkan genangan di berbagai lokasi.
Namun, secara garis besar, selain drainase ada tiga faktor utama yang kerap dianggap sebagai penyebab banjir di Jakarta.
- Curah hujan ekstrem
- Perubahan tutupan lahan
Besarannya hingga lebih dari 117 persen di kawasan hulu sungai yang mengalir menuju Jakarta, menggantikan dominasi lahan pertanian. Luas permukiman juga tumbuh pesat hingga 47,4 persen, menggantikan lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di kawasan tengah dan hilir.
Luas ruang terbuka hijau di Jakarta juga cuma 9,8 persen di tahun 2019.
Kondisi ini meningkatkan peluang luapan sungai dan jaringan drainase akibat besarnya air limpasan permukaan (runoff). Belum lagi ancaman sedimentasi di sungai akibat laju erosi yang besar di kawasan hulu.
- Penurunan permukaan tanah
Menurut Takagi et al. (2015), hingga tahun 2050 diproyeksikan luasan banjir akibat penurunan tanah bertambah hingga 110.5 km2, setara dengan 75 persen luas wilayah Jakarta Utara. Beban bangunan di permukaan dan ekstraksi air tanah berlebih turut mempercepat laju penurunan tanah.
Saat ini masih ada 35 persen warga Jakarta yang menggunakan air tanah untuk kebutuhan harian. Akibatnya, tinggi muka air tanah di Jakarta semakin dangkal dan kapasitas simpan air menjadi lebih rendah.
Editor: Yantina Debora