tirto.id - Pemerintah menjawab alasan menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan menerbitkan Perpres 64 tahun 2020. Selain faktor untuk menjaga keuangan BPJS Kesehatan dan kekosongan hukum, pemerintah menyebut kenaikan berkaitan dengan keuangan negara akibat COVID-19.
Plt Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan memaparkan sejumlah alasan tersebut. Pertama, pemerintah harus menerbitkan aturan karena berpacu dengan waktu sebab ada kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Agung dalam Perpres 75 tahun 2019.
"Itu memang kan ada kewajiban harus ada karena pasalnya itu dicabut dan waktu itu sekitar 90 hari menjadi harus ada untuk menjawab kekosongan hukum," kata Abetnego saat dikonfirmasi, Kamis (14/5/2020).
Alasan kedua adalah faktor untuk menjaga kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Abetnego mengatakan, kenaikan iuran akan mampu meningkatkan kemampuan BPJS Kesehatan dalam membayar kepada pihak terkait pelayanan kesehatan.
Hal tersebut berbanding lurus dengan keinginan pemerintah untuk memperkuat sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) sesuai amanat undang-undang, kata Abetnego.
Abetnego menambahkan, kenaikan iuran juga sudah dibahas jauh-jauh hari antara pemerintah dengan instansi terkait.
Menurut dia, kenaikan iuran pun sudah berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan dan pihak terkait sehingga pemerintah menerbitkan Perpres 64 tahun 2020 dengan nilai iuran yang tidak jauh berbeda dengan Perpres 75 tahun 2019.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang menjadi polemik di tahun 2019. Dalam penelusuran Tirto, DPR menolak rencana kenaikan iuran dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki masalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2 September 2019. Namun pemerintah tetap menaikkan iuran dengan menerbitkan Perpres 75 tahun 2019.
Keputusan tersebut kemudian menimbulkan penolakan dari masyarakat. Pada November-Desember 2019, Kusnan Hadi, salah satu warga Jawa Timur dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) secara terpisah menggugat Perpres 75 tahun 2019.
Pada 18 Februari 2020, DPR kembali menyoalkan kenaikan iuran kepada pemerintah.
Niat pemerintah menaikkan iuran pun kandas setelah Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan KPCDI pada 9 Maret 2020. Mahkamah Agung membatalkan Pasal 34, yakni pasal besaran iuran dalam Perpres tersebut hingga akhirnya pemerintah menerbitkan Perpres 64 tahun 2020 pada 5 Mei 2020.
Ketiga, kata Abetnego, Perpres tersebut memuat semangat gotong royong. Sebab, kenaikan iuran diikuti dengan subsidi dari pemerintah untuk bantuan di luar PBI.
"Jadi artinya yang PBI yang tetap ditanggung pemerintah semua yang bukan peserta iuran tapi ada untuk dibantu sebesar selisihnya. ini yang memang untuk kelas III untuk itu," kata Abetnego.
Mantan Direktur Eksekutif Nasional Walhi ini pun menjawab alasan pemerintah menaikkan iuran di tengah pandemi. Selain faktor keterbatasan waktu untuk mengisi kekosongan hukum setelah putusan MA, keuangan pemerintah juga terdampak akibat Covid-19.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah menaikkan iuran agar tidak berdampak lebih buruk ke keuangan negara.
"Jangan sampai nanti hanya karena persepsi atau pandangan atau pendapat kita bahwa harus sama dengan yang lalu justru menciptakan persoalan yang yang lebih besar juga ke keuangan negara. Jadi semangat gotong royongnya tadi itu juga harus menjadi perhatian kita di dalam konteks penyesuaian dari iuran BPJS ini," kata Abetnego.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz