tirto.id - Sebuah aksi akuisisi besar mewarnai dunia penerbitan global jelang akhir tahun 2019. Pada 18 Desember lalu, Pearson mengumumkan menjual 25 persen sahamnya di Penguin Random House, korporasi media asal Jerman, Bertelsmann.
Penguin Random House adalah hasil merger antara penerbit Penguin yang dimiliki Pearson dan penerbit Random House milik Bertelsmann. Saat kedua penerbit besar itu mulai dimerger pada 2012, Bertelsmann menguasai 53 persen saham dan Pearson memiliki 47 persen sisanya. Pada 2017, Pearson lalu menjual 22 persen sahamnya kepada Bertelsmann.
Dengan penjualan terakhir tersebut, kini Penguin Random House adalah sepenuhnya milik Bertelsmann.
"Peningkatan kepemilikan 100 persen ini adalah tonggak sejarah bagi Bertelsmann. Bagi kami dan pemegang saham kami, transaksi ini menarik secara komersial, karena laba para pemegang saham di grup Bertelsmann akan meningkat lebih dari 70 juta euro per tahun,” kata CEO Bertelsmann, Thomas Rabe, sebagaimana dikutip Publisher Weekly.
Akuisisi total ini menandai akhir dari kepemilikan Pearson atas penerbit Penguin yang telah merentang selama 50 tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan konglomerasi ini diketahui mengalami penurunan pendapatan di Amerika Serikat. Lini bisnisnya di bidang penerbitan buku pendidikan kesulitan beradaptasi dengan digitalisasi. Maka itu, penjualan saham ini memang tak terhindarkan bagi Pearson.
"Dengan penjualan sisa saham kami kepada mitra kami, Bertelsmann, kami tahu perusahaan berada di tangan yang baik,” kata CEO Pearson John Fallon.
Laman Sky News menyebut, usai Penguin Random House diakuisisi, maka tak ada lagi penerbit yang termasuk “Lima Besar” penerbit buku berbahasa Inggris yang dimiliki oleh orang Inggris.
Penerbit Macmillian yang didirikan pada 1843 sudah lebih dulu diakuisisi oleh grup penerbitan Jerman Georg von Holtzbrinck sejak 20 tahun lalu. Penerbit John Murray, yang memperkenalkan novelis Jane Austen dan Sir Arthur Conan Doyle, dibeli oleh Hachette Book Group dari Perancis pada 2002. HarperCollins, penerbit asli Bronte Bersaudara dan H.G. Wells, telah bergabung dengan News Corp sejak 30 tahun lalu. Lalu Penerbit Simon & Schuster, yang juga pernah dimiliki Pearson, kini jadi bagian konglomerasi media AS, ViacomCBS.
Akuisisi Penguin Random House juga menjadi tengara berakhirnya era jaya penerbit mayor tersebut. Selama puluhan tahun Penguin Books menjadi penerbit buku berkualitas dan salah satu yang terbesar di dunia. Ia dianggap pionir dalam memproduksi buku “bagus tapi murah” yang memengaruhi kebiasaan membaca di Inggris.
Dimulai dari Modal Sendiri
Di Inggris, cerita tentang asal-usul Penguin Books sudah selaiknya legenda.
Cerita bermula pada 1935, ketika depresi ekonomi membayangi dunia usaha di Inggris Raya. Kondisi itu bikin pusing pula Allen Lane yang mesti melanjutkan bisnis penerbitan Bodley Head peninggalan pamannya. Namun, sesuatu terjadi saat ia hendak kembali ke London usai berpelesir di perdesaan Devon.
Untuk mengisi waktu saat hendak naik kereta tujuan London dari stasiun Exeter, Lane coba-coba mencari bacaan di beberapa toko di sana. Hasilnya nihil karena di kebanyakan toko hanya ada majalah dan novel picisan. Hal itu membuatnya kesal, sebelum ia terpikirkan sesuatu: sebuah ide bisnis.
“Bayangkan jika buku-buku berkualitas tersedia di tempat umum macam kios-kios di stasiun kereta api ini dan dijual dengan harga yang wajar—yah, seharga sebungkus rokok, mungkin?” pikirnya.
Kelaziman di masa itu buku “bagus” umumnya diterbitkan dalam bentuk sampul keras. Buku bersampul lunak alias paperback biasanya adalah buku-buku picisan yang identik dengan kualitas rendah. Maka itu, Lane berinisiatif menerobos stigma tersebut dengan menghadirkan bacaan bermutu dan terjangkau siapa saja.
Sesampainya di London, Lane lantas membicarakan ide tersebut dengan direksi Bodley Head. Sayang sekali, tak ada yang tertarik dengan ide itu karena dianggap tak efisien. Pasalnya, buku sampul lunak musti dicetak dalam jumlah lebih besar untuk sekadar mencapai impas, sementara perekonomian masih lesu.
“Sir Allen beralasan, dengan harga rendah orang-orang yang biasa pinjam buku dari perpustakaan umum mungkin bisa terbujuk untuk beli buku kesukaannya sendiri,” tulis Ian King dari Sky News.
Alasan itu tetap tak bisa meyakinkan para direksi Bodley Head. Ogah menunggu lama, Lane lalu mengumpulkan modal bersama kedua adiknya untuk merealisasikan ide tersebut.
“Dengan dua saudara lelakinya, Richard dan John, dan modal $500, ia memulai Penguin Books dan segera mengundurkan diri dari Bodley. [...] Dia mencari hak penerbitan 12 buku bagus sebagai permulaan, dan seorang publisis Inggris yang simpatik bernama Jonathan Cape memberinya sepuluh judul—termasuk karya Hemingway, Maurois dan Compton Mackenzie,” demikian laporan The New York Times yang terbit pada 8 Juli 1970.
Pada 30 Juli 1935, Penguin Books mulai merilis sepuluh bukunya yang pertama. Harganya benar-benar sangat murah untuk ukuran saat itu. Sebuah buku, misalnya, hanya seharga 2,5 pence, setara sepuluh batang rokok saja. Masing-masing dicetak dalam jumlah besar, 17.000 eksemplar, dan diedarkan tak hanya di toko buku, tapi juga kios rokok, agen koran, dan juga di toserba.
Tapi jangan salah, semuanya adalah buku fiksi dari penulis-penulis pilih tanding. Di antara sepuluh judul itu ada novel The Mysterious Affair at Styles anggitan penulis kisah detektif terkenal Agatha Christie, A Farewell to Arms-nya Ernest Hemingway, hingga The Unpleasness at the Bellona Club karya Dorothy Sayers.
Peruntungan yang Berbalik
Meski upaya Lane terwujud, dugaan direksi Bodley Head bahwa Penguin Books akan mengalami seret laba di bulan-bulan awal berdiri, terbukti benar. Pasalnya, banyak toko buku tak antusias karena labanya yang kecil. Kios rokok dan pengecer koran juga ragu terhadap daya jual buku-buku tersebut. Membeli buku di kios rokok memang bukanlah kebiasaan pada saat itu.
Peruntungan Lane berbalik setelah Woolworth, jaringan toserba asal Australia, memesan ribuan novel yang ditawarkan Penguin Books.
“Ketika Woolworth memesan 63.000 kopi, Penguin akhirnya mapan secara finansial. Kepercayaan Lane bahwa ada 'publik pembaca yang luas untuk buku-buku cerdas dengan harga murah' telah terbukti sahih,” tulis laman The Literary Shed.
Sejak saat itu, bisnis Penguin Books jadi lebih mulus.
Pada 1937, Penguin Books berhasil menerbitkan sekira seratus judul novel. Seri baru pun dimunculkan, seperti Penguin Specials dan Penguin Classics. Tahun itu juga lini penerbitan nonfiksinya, Pelican, mulai beroperasi. Lalu pada 1940, lini baru bernama Puffin dibentuk untuk menggarap segmen buku anak-anak.
Selain harga, desain adalah kunci sukses Penguin Books. Lane tak ragu membayar salah satu desainer grafis muda berbakat di Inggris era itu, Edward Young, lalu mengirimnya langsung ke London Zoo untuk mengamati penguin di sana.
Hasilnya: sebuah logo penguin dengan kepala menghadap kanan yang begitu ikonik dan bertahan hingga kini.
Desain sampul buku-buku Penguin Books pun diperlakukan khusus. Young merancang template sampul yang minimalis untuk menonjolkan brand-nya. Selain itu juga terdapat ruang putih di tengah bidang untuk menuliskan judul buku dan nama penulis dengan jenis font Gill Sans-Serif. Sementara bidang selebihnya diberi kode warna yang menunjukkan genre bukunya.
“Jingga mewakili fiksi umum, hijau untuk fiksi kriminal, dan biru tua untuk biografi. Logonya sendiri diletakkan di bagian bawah dan di punggung buku, supaya pembaca benar-benar yakin bahwa yang dia baca adalah Penguin Books,” demikian keterangan The Literary Shed.
Setelah Perang Dunia Kedua, Penguin Books semakin membesar. Puncaknya pada 1961, Penguin Books bertransformasi jadi perusahaan publik setelah mencatatkan sahamnya di London Stock Exchange. Sayang sekali, pada 1971, Lane wafat karena kanker. Beberapa minggu kemudian, saham mayoritas Penguin Books dibeli oleh Pearson.
Editor: Eddward S Kennedy