tirto.id - Suatu hari, lebih dari 30 tahun lalu, kala bekerja membersihkan kamar di Hotel Puri Rama Cottages, Kuta, Bali, Made Sutomo dihampiri oleh seorang turis --atau bule, meminjam istilah ciptaan Bennedict Anderson-- Rusia. Barangkali karena bosan dengan kegiatan liburan yang kebanyakan dihabiskan di pantai, bule ini bertanya pada Made: mana tempat jual beli buku yang bisa didatangi.
Saat itu Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia, belum hadir di Bali. Apalagi toko buku impor seperti Periplus atau Books & Beyond. Made sempat bingung menjawab pertanyaan turis itu. Maka dengan bahasa Inggris logat Bali yang dikuasainya secara otodidak, dia menjawab, "di sini belum ada tempat jual beli buku."
Jawaban itu ternyata tidak membuat turis asing itu menyerah. Ia malah bertanya hal-hal personal, seperti berapa penghasilannya sebagai petugas kebersihan hotel. Lalu apakah gaji itu cukup untuk membiayai keluarganya. Terakhir, dia malah meminta Made menjadi penjual buku.
"Kalau di sini belum ada, buka saja, pak. Dikerjain saja," ujar si turis ke Made. "Kalau tidak bisa jual buku baru, paling tidak jual saja buku-buku bekas," lanjutnya, seraya menegaskan bahwa buku selalu dicari bule yang datang ke Bali, dan ini akan sangat menguntungkan bagi siapapun yang melakoni bisnis itu.
Mendengar saran tersebut, Made kebingungan. Bukan bingung apakah akan mengikuti saran bule itu atau tidak, melainkan ia bingung di mana tempat mencari pasokan buku-buku bekas itu. Made mengaku hanya pernah memegang buku ketika masih sekolah.
Si bule itu bisa membaca kebingungan Made. Ia kemudian menyarankan Made untuk pergi ke hotel-hotel di Bali guna mengumpulkan buku yang biasanya ditinggal oleh para turis. Akhirnya, Made mengikuti nasihat sang bule Rusia itu.
"Saya mencari buku ke hotel-hotel di Sanur, ke Nusa Dua, ke berbagai tempat di Bal. Saya juga dapat donasi dari bule-bule yang mendatangi saya," ujar Made.
Maka Made Book Shop pun berdiri pada 1986. Kios pertamanya ada di Jalan Poppies Lane, Kuta. Ia lama bertahan di sana. Ketika pandemi menghantam, ia terpaksa pindah lokasi ke daerah Seminyak dengan menyewa kios berukuran 5 kali 5 meter seharga Rp1 juta per bulan yang kemudian diubahnya mirip seperti Toko Buku Djawa di Jalan Braga, Bandung (kini menjadi kafe--dan Made mengaku sedih mendengar toko buku legendaris ini tutup permanen). Di tempat baru itu, Made mentransformasi Made Book Shop menjadi Seminyak Bookshop by Made.
Made berkelakar, toko buku miliknya yang independen ini harusnya membuat toko buku impor lain gentar. Ini karena buku bekas di tokonya lebih murah, dengan gagrak yang lebih beragam. Tak hanya itu, pilihan bahasa buku yang dijual Made juga aneka rupa, karena turis yang datang ke Bali dan menjual bukunya ke Made tidak hanya dari negara berbahasa Inggris, tapi juga Jerman, Rusia, Prancis, bahkan Spanyol.
Yang tak disangka Made: penjualannya naik selama pandemi. Menurutnya ini bisa terjadi karena kala itu nihil penerbangan ke/ dari Bali, hingga membuat turis asing terpaksa tinggal di Bali.
"Banyak dari bule ini membaca buku untuk menghabiskan waktu," ujarnya.
Meskipun didirikan untuk menjadi sumber penghidupan keluarganya, Made mengaku Seminyak Bookshop by Made "bukan sekadar untuk mencari untung saja," tetapi juga untuk mendukung penyebaran ilmu pengetahuan serta gagasan.
Musababnya, meskipun kini internet memudahkan penyebaran pengetahuan serta informasi, tegas Made, "buku tetap jendela dunia." Dan karenanya buku wajib selalu dibaca--yang kemudian diterjemahkan Made untuk tak selalu menjual buku dengan uang, tapi juga dengan cara barter buku.
Sampai sekarang, mayoritas pembeli di Made Bookshop adalah turis asing. Ia kadang gundah juga dengan fakta ini. Dia mengambil kesimpulan: orang Indonesia tidak terlalu suka membaca.
Kegelisahan serupa juga dialami Ni Luh, pemilik toko buku independen yang terletak sekitar 100 meter dari Tugu Peringatan Bom Bali. Mengaku bahwa buku yang dijajakannya hanya dibeli turis-turis asing, atau tidak pernah sekalipun warga lokal berkunjung ke tempatnya, Ni Luh menyebut bahwa para turis asing ini "...tak hanya mikirin perut kenyang, mereka juga mikirin otak kenyang."
Masih Jauh Tertinggal
Indonesia memang sering jadi sorotan perihal literasi. Ada yang ironis di sini. Dari data Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia punya sekitar 1.300-an penerbit buku yang menerbitkan kurang lebih 24.000 judul buku non akademik tiap tahunnya. Ini lebih unggul ketimbang Malaysia (18.000 terbitan), Thailand (13.000 terbitan), serta Singapura (12.000 terbitan). Dengan jumlah terbitan itu, ternyata Indonesia masih berada di peringkat 62 dari 70 negara perihal tingkat literasi.
Lantas, merujuk temuan UNESCO pada 2013 silam, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang rutin membaca buku sebagai hiburan. Dan, menukil temuan Central Connecticut State University dalam studi berjudul World's Most Literate Nation, Indonesia bertengger di posisi ke-60 dari 61 negara tentang minat membaca.
Di sisi lain, dalam survei yang dilakukan PewResearch, tiap warga Amerika Serikat rata-rata membaca 12 judul buku non-akademik saban tahunnya. Lalu, dalam temuan World Economic Forum, orang-orang Eropa rata-rata menghabiskan waktu sekitar 13 menit untuk membaca buku per hari.
Tentu saja minat membaca ini tak berdiri sendiri. Ia banyak ditentukan oleh faktor lain, seperti akses ke bacaan, misalkan. Belum lagi faktor-faktor lain, seperti aneka pajak dalam produksi buku di Indonesia, yang membuat harga buku semakin melambung tinggi. Hal itu kemudian dipertajam dengan semakin banyaknya distraksi hari ini: ritme hidup makin cepat, internet, media sosial, dan seterusnya.
Yang menarik, melalui bukunya, Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain (2007), Maryanne Wolf, Profesor Ilmu Pendidikan pada University of California, Los Angeles, menyebut bahwa alasan dasar terhadap ketiadaan (atau penurunan) minat baca dalam satu individu itu karena, "membaca buku bukanlah kebiasaan natural manusia [...] dan tak pernah diturunkan pula melalui kode genetik antar generasi keturunan."
Dan, lanjut Wolf, merunut sejarah panjang umat manusia, membaca memang merupakan aktivitas baru "yang lahir beberapa ribu tahun lalu atau tidak berbarengan dengan kemunculan manusia di bumi." Membaca adalah kegiatan yang lahir sebagai buah dari semakin kompleksnya aktivitas/pemikiran yang harus dilakukan manusia.
Namun, meskipun membaca bukanlah kerja natural manusia, dari hasil analisis otak yang dilakukan Wolf sebagai pijakan buku tersebut, membaca merupakan satu-satunya aktivitas manusia yang dapat membuat otak berkembang--entah secara psikologis maupun intelektual." Selain itu, tambah Wolf, otak bisa mengasah fungsi-fungsinya.
Maka rasanya benar belaka apa yang digaungkan Joseph Epstein: "we are what we read."
Artinya, tanpa membaca buku, manusia bukanlah siapa-siapa.
Editor: Nuran Wibisono