Menuju konten utama

Pengacara: HS Minta Maaf Bukan Berarti Akui Perbuatannya ke Agni

Menurut kuasa hukumnya, HS ternyata tidak bermaksud mengakui perbuatannya terhadap Agni saat menyampaikan permintaan maaf dalam kesepakatan penyelesaian kasus dugaan pelecehan seksual. 

Pengacara: HS Minta Maaf Bukan Berarti Akui Perbuatannya ke Agni
Pengacara HS Tommy Susanto saat memberikan keterangan pada awak media di Resto Cengkir, Yogyakarta, Jumat (8/2/2019). tirto.id/Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Kuasa hukum Hardika Saputra (HS), Tommy Susanto membenarkan kliennya meneken kesepakatan non-litigasi dengan Agni (bukan nama sebenarnya) dan Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kesepakatan itu berkaitan dengan kasus dugaan perkosaan dan pencabulan yang dilakukan HS terhadap Agni. Dalam kesepakatan itu, tertulis HS meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Namun, Tommy justru berdalih permintaan maaf dan penyesalan itu bukan berarti HS mengakui perbuatannya terhadap Agni.

"Bukan karena dia melakukan itu [pemerkosaan], tidak. Saya harus garis bawahi, sudah disampaikan oleh HS ke UGM juga, 'Pak, ini bukan karena saya melakukan itu...' Ini karena untuk menghentikan ini semua, sudahlah Dika, tanda tangan saja," kata Tommy kepada media di Resto Cengkir, Yogyakarta pada Jumat (8/2/2018).

Tommy mengakui dalam klausul kesepakatan tersebut memang tertera kata-kata minta maaf dan menyesal, tapi HS ternyata tidak bermaksud mengakui perbuatannya melalui kesepakatan itu.

"Kemarin memang ada kata-kata minta maaf dan menyesal. Saya harus sampaikan, minta maaf, menyesal, bukan [atas] perbuatan yang dituduhkan, tapi ada perkara yang menjadi masalah ini semua, jadi ramai ini loh," kata Tommy.

Dia juga enggan membeberkan detail isi kesepakatan non-litigasi itu kepada awak media, dengan dalih memenuhi permintaan HS. Selain itu, menurut Tommy, tidak ada kata-kata "damai" dalam kesepakatan itu.

Sebaliknya, menurut Pengacara Agni, Sukiratnasari (Kiki), klausul dalam kesepakatan itu mengacu pada judul yang tertera, sehingga ada permintaan maaf dan kewajiban menjalani mandatory konseling.

Judul kesepakatan non-litigasi itu adalah "Kesepakatan Penyelesaian Perkara Laporan Polisi nomor LP/764/XII/2018/SPKT". Dalam perkara tersebut, HS dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 85 KUHP tentang tindak pidana perkosaan juncto Pasal 289 tentang pencabulan.

Oleh karena itu, menurut Kiki, permintaan maaf HS yang termaktub dalam kesepakatan itu berarti dia meminta maaf atas dugaan tindakan pemerkosaan dan pencabulan.

"Ada dalam klausul permintaan maaf atas dasar laporan tindak pencabulan dan dugaan pemerkosaan, dari sudut pandang kami, kami melihatnya begitu [minta maaf sesuai dengan laporan]," ujar Kiki dalam konferensi pers di kantor Rifka Annisa, lembaga pendamping penyintas kekerasan seksual, Kamis kemarin.

Menurutnya, draf awal kesepakatan itu semula tidak menyebut tindakan asusila atau pemerkosaan dan hanya disederhanakan dengan kalimat "kasus yang terjadi saat KKN." Namun, Agni dan pengacaranya menolak hal itu sehingga kemudian direvisi.

"Kami enggak mau kayak gitu [disederhanakan jadi kasus KKN], ini [harus] didudukkan dalam permasalahan apa. Ancaman terbesar kan di laporan polisinya. Kalau dia minta maaf berarti kan konsekuensinya dia minta maaf atas LP [kasus di laporan polisi], itu ada di judulnya [kesepakatan non-litigasi]," ujar Kiki.

"Dari perspektif kami dia [HS] minta maaf karena itu, melakukan pelecehan seksual," Kiki menegaskan.

Baca juga artikel terkait KASUS AGNI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Addi M Idhom