Menuju konten utama

Kasus Agni Berakhir "Damai": Cermin Buram Kasus Pelecehan di Kampus

Penasihat hukum Agni berkata kesepakatan "penyelesaian non litigasi" adalah jalan terbaik di tengah posisi "terjepit" Agni.

Kasus Agni Berakhir
Mahasiswa menggelar aksi "Besarkan Bara Agni" di Rektorat UGM sambil membentangkan spanduk yang berisi tanda tangan peserta aksi pada Kamis (29/11/2018). tirto.id/Dipna Videlia

tirto.id - Kasus pelecehan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya) saat kuliah kerja nyata berujung antiklimaks. Sebab, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono menyebut Agni dan HS--pelaku pelecehan seksual--sepakat kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

Penandatanganan kesepakatan ini dilakukan pada Senin, 4 Februari 2019, oleh tiga pihak: Agni, HS, dan Panut, yang disaksikan Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto dan Dekan Teknik UGM Nizam, ayah HS, serta pengacara korban, Sukiratnasari.

“HS menyatakan menyesal, mengaku bersalah dan memohon maaf atas perkara yang terjadi pada Juni 2017 kepada pihak saudari AN disaksikan pihak UGM. Saudara HS, AN, dan UGM menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai,” kata Panut di UGM.

Panut mengatakan dalam kesepakatan termaktub kewajiban bagi HS untuk menjalani konseling wajib (mandatory counseling) dengan psikolog klinis yang ditunjuk UGM, atau yang dipilihnya sampai dinyatakan selesai.

Sementara Agni diwajibkan mengikuti konseling trauma dengan psikokog klinis yang ditunjuk atau yang dipilihnya sampai dinyatakan selesai oleh psikolog yang menanganinya.

Selain dua kewajiban itu, UGM menanggung biaya konseling serta pendidikan dan biaya hidup untuk Agni yang setara dengan komponen dalam beasiswa bidikmisi.

Panut juga menugaskan Fakultas Teknik dan Fisipol untuk mengawal studi HS dan AN, sehingga keduanya bisa menyelesaikan studi dan lulus pada Mei 2019, dengan catatan sudah menjalani persyaratan yang diwajibkan.

Karena kasus ini telah berakhir "damai", Panut menyatakan akan menyerahkan hasilnya secara resmi pada kepolisian untuk dijadikan pertimbangan polisi dalam menyelidiki kasus pelecehan seksual ini.

Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto berkata kesepakatan ini dibuat tanpa pemaksaaan terhadap kedua pihak. Sebelum pertemuan hari ini, HS dan Agni sudah diberitahu mengenai isi kesepakatan dan diminta untuk mempertimbangkan sebelum penandatanganan.

"HS dan AN diminta untuk mencermati [kesepakatan]. AN diminta melihat. Prosesnya sangat hati-hati, tidak memaksa," ujar Erwan.

Namun, Erwan menyebut dalam kesepakatan tidak disebut secara eksplisit kesalahan apa yang dilakukan HS. Di situ hanya dinyatakan HS melakukan "kesalahan saat KKN Juni 2017". Tidak ada terminologi "pelecehan seksual", "kekerasan seksual", "pencabulan", maupun "pemerkosaan".

"Ini lebih ke klausul menyelesaikan persoalan secara damai. Melakukan kesalahan tidak disebut secara eksplisit kesalahan apa,” kata Erwan.

Pengacara Agni: Kami Meminimalisasi Risiko untuk Agni

Sukiratnasari, penasihat hukum Agni, berkata kesepakatan ini merupakan jalan terbaik di tengah posisi "terjepit" Agni.

Perempuan yang akrab disapa Kiki ini berkata bahwa banyak pertimbangan yang dipikirkan Agni sebelum memutuskan menerima tawaran UGM menandatangani "kesepakatan penyelesaian non litigasi" itu.

Kiki menyebut proses yang dijalani Agni untuk mendapatkan keadilan semakin hari kian berat untuk dijalani. Selain menjalani proses hukum yang semakin rumit, Agni harus berkali-kali melakukan pertemuan dengan Rektorat UGM dan menjalani konseling.

"Kalau kemudian banyak yang menilai 'Akhirnya kok begini doang?' ... karena kami memang menghitung risikonya. Banyak yang di luar kendali dan tidak menguntungkan Agni. Banyak pihak yang seolah-olah bicara untuk Agni, padahal tidak," ujar Kiki kepada reporter Tirto, Senin (4/2/2018).

Selain itu, Kiki meminimalisasi potensi kriminalisasi terhadap Agni dan BBPM Balirung. Potensi kriminalisasi membesar sebab, menurut hasil penyidikan, polisi menyatakan ada perbedaan kronologi antara cerita Agni di Balairung dan fakta yang ditemukan polisi di lapangan.

Namun, kata Kiki, Agni berharap lewat kasus ini UGM akan punya mekanisme yang tepat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Kasus Agni ini diharapkan membuka jalan baru bagi kasus-kasus serupa ke depan agar tidak dibiarkan berlarut-larut.

Proses Agni untuk menerima kesepakatan ini, kata Kiki, tidaklah mudah. Agni dan Kiki melewati negosiasi alot dengan rektorat hingga sampai pada kesepakatan yang dirasakan adil bagi Agni.

"Enggak sesederhana yang dipikirkan orang-orang. Kami menimbang segala macam risiko dan mengutamakan hak-hak Agni. Jadi ini bukan 'Kok jadi damai?'"

"Ini bukan damai, tapi mengupayakan cara untuk meminimalisasi risiko untuk Agni,” kata Kiki.

Kondisi Agni saat ini, kata Kiki, sudah lebih lega dari sebelumnya, sudah tidak terlalu emosional. Sebab, Agni merasa sudah ada titik terang pada kasusnya dan kini bisa fokus menyelesaikan pendidikannya.

Dengan berbagai pertimbangan itu, menurut Kiki, Agni kemudian menerima tawaran UGM untuk menandatangani kesepakatan tersebut.

Hasil Komite Etik Tak Dibuka ke Publik

UGM membentuk Komite Etik untuk menyelidiki apakah kasus Agni merupakan pelanggaran pelecehan seksual yang berat, ringan, atau sedang. Komite Etik merupakan tindak lanjut dari hasil temuan Tim Investigasi yang menyatakan terjadi pelecehan seksual terhadap Agni saat KKN.

Temuan Komite Etik sudah disampaikan kepada Agni dan HS.

Namun, dokumen hasil Komite Etik tak pernah diungkap publik.

Menurut Kiki, terminologi yang digunakan anggota Komite Etik berbeda-beda. Ada yang menyebut peristiwa itu merupakan "pelecehan seksual" tapi ada pula yang menyebut "tindakan asusila".

"Komite tidak menyimpulkan karena ada dissenting opinion, ada perbedaan pendapat, maka kemudian memilih untuk tidak menyimpulkan,” ujar Kiki merujuk pada penuturan Agni usai membaca hasil Komite Etik.

Hingga berita ini ditulis, Ketua Komite Etik Sriwiyanti belum bersedia diwawancarai karena "kesibukan."

Sementara Rektor UGM Panut Mulyono menyatakan langkah kesepakatan damai yang diambil sesuai rekomendasi atau masukan dari Komite Etik yang sudah diterima rektorat sejak Desember 2018.

"Mereka memperoleh hasil dan diberikan ke rektor. Rektor memanfaatkan hasil dari Komite Etik untuk melakukan langkah selanjutnya. Jadi ... apa yang dilakukan rektor itu basisnya hasil kerja Komite Etik," ujar Panut.

Namun, Panut enggan mengungkap hasil penyelidikan Komite Etik dengan dalih "demi keamanan psikologis anak-anak".

Hal itu ditegaskan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM Paripurna. Ia menyatakan UGM memutuskan untuk tidak membuka hasil penyelidikan Komite Etik.

“Kami memutuskan untuk tidak membuka hasil karena itu merupakan masukan. Pada saat mengambil keputusan untuk memfasilitasi, itu yang menjadi keputusan universitas sehingga rekomendasi Komite Etik tidak kami ungkap, demi keamanan psikologis adik-adik sekalian, demi masa depan mereka,” kata Paripurna.

Kiki menyatakan sesudah proses penyelesaian ini, bagaimanapun, kasus Agni telah membuat gerakan solidaritas untuk penanganan dan pemulihan kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

"Harapannya mampu memberikan pencerahan mengenai cara pandang terhadap penyintas sehingga tidak ada lagi victim blamming, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyintas, sistem mekanisme penanganan dan pemulihan kasus yang lebih transparan, efektif, dan mengedepankan hak-hak penyintas, serta memberikan rasa keadilan untuk penyintas."

Baca juga artikel terkait KASUS AGNI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Abdul Aziz