tirto.id - Kekerasan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswa UGM Yogyakarta menjadi sorotan publik. Kasus ini mencuat setelah Badan Pers Mahasiswa Balairung UGM menerbitkan reportase soal kasus perkosaan yang terjadi saat KKN di Maluku.
Sayangnya, otoritas kampus terkesan tidak serius menangani kasus ini. Rifka Annisa, sebuah organisasi nirlaba yang konsen pada hak-hak dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta, menilai mekanisme penyelesaian internal yang dilakukan UGM belum tuntas dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban.
"Persoalan kekerasan seksual di kampus selama ini menjadi persoalan yang sulit diungkap dan diselesaikan, didasarkan pada pertimbangan nama baik kampus dan lemahnya komitmen civitas akademika untuk memberi perlindungan dan pemenuhan rasa keadilan bagi korban," kata Suharti, Direktur Rifka Annisa dalam rilis yang diterima Tirto.
Berdasarkan temuan Rifka Annisa, belum ada kampus di Yogyakarta, termasuk UGM, yang punya aturan soal pelecehan seksual, seperti sanksi bagi pelaku. Kebanyakan kasus yang terungkap cuma diselesaikan lewat jalur damai, tanpa sanksi tegas.
Salah satu kasus yang ditangani Rifka Annisa adalah pelecehan seksual yang dilakukan dosen UGM berinisial EH terhadap mahasiswanya. Kasus ini sempat ramai dan diberitakan The Jakarta Post pada Juni 2016.
Saat itu, TheJakarta Post menurunkan kisah korban EH yang bernama Maria. Menurut Maria, EH mengundangnya untuk konsultasi makalah di sebuah pusat studi dalam kampus pada pukul 8 malam. Dalam sesi konsultasi itu, Maria dikejutkan ulah EH yang tiba-tiba menggerayangi payudaranya dan menempelkan penis ke tubuhnya.
Korban EH ternyata bukan cuma Maria. Dalam surat pembaca ke The Jakarta Post, Margaretta Sagala, mantan mahasiswi EH, juga menceritakan pengalaman buruk. "Ironisnya, EH adalah orang yang mengajari saya teori-teori feminis. EH tahu kebanyakan korban pelecehan seksual tidak akan melapor," tulis Margaretta.
Lebih ironis lagi, menurut sejumlah mahasiswa yang kami tanyakan di lingkungan UGM, EH masih bekerja di kampus. Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto mengatakan, EH cuma diberi sanksi pemberhentian mengajar sementara dan tak diizinkan membimbing skripsi.
Erwan berkata "tidak bisa" memecat dosen cabul karena kewenangan itu ada pada Kementerian Ristekdikti dan Badan Kepegawaian Negara.
"Bisa saja rekomendasi sampai ke sana, tapi ada tahapannya, dari penonaktifan sampai konseling ke lembaga, yang bisa konseling untuk memperbaiki sikap,” ujar Erwan, Juni lalu.
Sementara terkait kasus Agni, Erwan Agus Purwanto menyatakan Dekanat Fisipol UGM sudah berkirim surat dengan Rektorat UGM untuk menyelesaikan kasus ini.
"Sejak adanya laporan dari penyintas, kami di dekanat telah melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan berkirim surat pada rektor [tanggal 22 Desember 2017] agar universitas segera menyelesaikan kasus ini," ujar Erwan melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (6/11/2018).
Saat reporter Tirto kembali menghubunginya untuk menanyakan kelanjutan status EH, pada Kamis (8/11/2018), Erwan tidak merespons. Sementara terkait kasus Agni, UGM sudah mengeluarkan pernyataan resmi atas laporan yang dikeluarkan BPPM Balairung.
Rektorat UGM berempati pada penyintas dan telah mengupayakan penyintas mendapat keadilan. Namun, jika merujuk laporan Balairung yang mengutip pengakuan Agni, pejabat kampus tetap melontarkan pernyataan yang memojokkan korban.
Menurut Sofia Rahmawati dari Rifka Annisa, salah satu tanggung jawab universitas adalah melindungi mahasiswanya. Birokrat kampus seharusnya paham posisi sebagai penjamin keamanan civitas akademika. Namun, kampus lebih mementingkan citra baik, sehingga mengungkapkan secara terbuka kasus-kasus pelecehan seksual ini dianggap "aib."
Penulis: Aulia Adam
Editor: Abdul Aziz