tirto.id - Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda DIY Kombes Hadi Utomo telah melakukan penyidikan kasus dugaan pemerkosaan Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta saat menjalani Kuliah Kerja Nyata di Pulau Seram, Maluku, Juli 2017.
Dari hasil penyidikan itu, ada beberapa hal yang disebutnya tak sesuai dari kronologi kejadian yang ditulis Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM dalam 'Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan'.
"Di [tulisan] itu diisukan, pondokannya jauh, kemudian ada babi hutan dan jauh dari perkampungan. Itu ternyata bukan. Itu cuma 50 meter saja [jarak pemondokan perempuan dan laki-laki]," kata Kombes Hadi Utomo, di Yogyakarta, Senin (21/1/2019).
Pernyataan Hadi itu dilandasi dari "temuan lapangan" usai melakukan penyidikan di Pulau Seram, berjarak satu hari perjalanan dari Ambon. Hadi mengklaim telah melihat rumah pemondokan dan mengamati kamar yang diduga tempat kejadian perkosaan.
Hadi berkata kepada para wartawan bahwa apa yang ditulis dan dinarasikan oleh Balairung "tidak sepenuhnya benar." Bahkan, ia mengibaratkan laporan yang ditulis Balairung seperti "novel, bukan berita."
"Itu di perkampungan ramai orang. Saya sebut itu bukan berita, itu novel. Saya ke sana, saya tanya warga," katanya.
"Sekarang saya akan kroscek yang ditulis itu benar atau tidak, itu saja. Kenapa? Karena sumbernya, katanya dari saudara Agni," kata Hadi, yang mengklaim telah melakukan pemeriksaan terhadap lima saksi di Maluku dan menyebut kelimanya "tidak ada perbedaan keterangan."
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mewakili kuasa hukum Balairung, mengkritik langkah Polda Yogyakarta yang memanggil Citra Maudy dan Thovan Sugandi, dua wartawan Balairung, sebagai saksi dalam kasus Agni. Citra dimintai keterangan polisi pada 7 Januari, sementara Thovan dipanggil oleh kepolisian sebagai saksi pada 17 Januari.
Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli menilai pemanggilan mereka sebagai hal "janggal." Jika memang yang dipersoalkan adalah berita yang ditulis Balairung, ujar Yogi, seharusnya tidak dengan pendekatan hukum pidana.
“Kalau kemudian yang dipersoalkan itu beritanya, silakan menempuh mekanisme yang berlaku di Undang-Undang Pers, melalui Dewan Pers misalnya, atau mekanisme yang berkaitan dengan proses-proses yang berkaitan dengan jurnalistik,” kata Yogi.
Sukiratnasari, kuasa hukum Agni, menyebut langkah pemeriksaan polisi itu kemungkinan akan jadi kriminalisasi bagi Agni atau pihak Balairung. Karena itu, Kiki menyebut hingga saat ini dia selalu berkoordinasi dengan LBH Yogyakarta.
"Kami sih membaca ada kemungkinan ke situ [kriminalisasi]. Artinya, kalau misalnya ini SP-3 [surat perintah penghentian penyidikan], jadi tidak terbukti pidana, bisa jadi Agni atau Balairung dikriminalisasi oleh pihak-pihak tertentu. Itu yang kami khawatirkan," kata Kiki.
Kasus Agni jadi sorotan publik dan pemberitaan nasional setelah Balairung menulis laporan pada awal November 2018. Agni sendiri tak ingin kasus ini dibawa ke proses hukum, melainkan menuntut tanggung jawab UGM. Laporan ke polisi atas kasus ini dilakukan oleh Arif Nurcahyo, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan UGM, pada 9 Desember 2018.
Dalam laporan polisi nomor 764/XII/2018/SPKT yang diajukan Arif Nurcahyo, terduga pelaku berinisial HS disangka melanggar Pasal 285 tentang perkosaan juncto Pasal 289 tentang pencabulan.
====
Catatan: Judul artikel ini diubah dari semula "Usai Penyidikan, Polisi Temukan Perbedaan Kronologi Kasus Agni." Perubahan judul dilakukan demi prinsip fairness yang menyertakan konfirmasi dari Balairung sebagai subjek yang jadi sasaran pernyataan Polda Yogyakarta.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Dipna Videlia Putsanra