tirto.id -
Tim kuasa hukum Agni (bukan nama sebenarnya) mahasiswa yang jadi korban kekerasan seksual saat pelaksanaan KKN, meminta Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk membantu menghentikan upaya kriminalisasi dan victim blamming terhadap Agni dan pihak-pihak tertentu.
Ketua Tim Kuasa Hukum Agni, Catur Udihandayani memandang terdapat upaya mengkriminalisasi Agni dalam kasus ini. Apalagi, setelah Arif Nurcahyo, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PKKKL) UGM melaporkan kasus ini ke Polda DIY.
"Kami minta UGM untuk ikut menghentikan perilaku victim blamming dan tendensi-tendensi untuk mengkriminalisasi penyintas dari pihak mana pun sebagai konsekuensi dari laporan polisi yang dibuat Kepala PKKL UGM tanpa consent penyintas," ujar perempuan yang disapa Udi ini pada awak media, Kamis (10/1/2018).
Menurut Udi, laporan yang dibuat Kepala PKKKL UGM tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Berdasarkan pertemuan penyintas, Rektorat, didampingi Rifka Annisa muncul kesepakatan kasus tidak akan dibawa ke ranah hukum.
Namun, pada pada 9 Desember 2018, Polda DIY menerima laporan polisi nomor LP/764/XII/2018/SPKT dengan pelapor tercatat bernama Arif Nurcahyo, Kepala PKKKL UGM.
Atas pelaporan tersebut, maka menurut Udi, Agni tidak punya pilihan lain selain mengikuti proses hukum, meski awalnya Agni tidak mau melapor.
"Pak Nurcahyo lapor, padahal dia psikolog yang mengawal kasus ini dari awal, itu yang membuat kami tidak habis pikir, lah kok malah Pak Nurcahyo yang melapor. Karena delik ini bukan delik aduan, jadi siapa pun bisa melapor. Tidak ada pilihan penyintas selain menghadapi proses hukum," tutur Udi.
Menurut Udi, ada beberapa alasan mengapa penyintas tidak ingin lapor polisi, di antaranya jika melapor maka pelaku tidak akan mendapat konseling untuk perubahan perilaku. Selain itu, proses hukum akan menyita waktu sementara saat itu kondisi psikologis Agni belum siap.
Agni juga enggan melapor karena sikap yang ditunjukan dosen-dosen UGM yang dianggap tak berpihak pada penyintas. Menurut Udi, ketika Agni melaporkan peristiwa ini ke Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN, responsnya justru meminta Agni untuk diam dan melupakan peristiwa kekerasan seksual itu.
"Ketika menyampaikan ke beberapa orang UGM, 'jangan sampai mencemarkan nama baik UGM' itu yang diwanti-wanti. Kalau penyintas lapor polisi, lebih menyakitkan yang dirasakan penyintas karena masih proses lapor ke dosen pun tidak nyaman," ujar Udi.
Selain meminta UGM untuk membantu menghentikan tendensi kriminalisasi dan victim blamming, Udi juga meminta UGM memenuhi hak-hak Agni, di antaranya hak atas informasi perkembangan penanganan kasus, memulihkan nama baik penyintas, dan memberikan perlindungan maksimal untuk penyintas.
Kuasa Hukum Agni ini juga meminta agar polisi menuntaskan proses penyidikan sehingga kasus ini dapat diproses secara adil dan setara sampai di pengadilan sebagai bentuk pemenuhan keadilan terhadap penyintas.
Meskipun jalur hukum bukan keinginan penyintas sejak awal, tapi Udi memastikan penyintas dan para pendampingnya akan menghadapi proses hukum hingga tuntas.
"Kasus ini seharusnya tidak dihentikan penyelidikannya (SP3) karena akan memberikan preseden buruk pada penanganan kasus kekerasan seksual lainnya," pungkas Udi.
Saat ini Tim Kuasa Hukum Agni sedang memperjuangkan agar Polda DIY mengizinkan dilakukan visum et repertum psikiatrikum karena dampak yang dirasakan Agni adalah dampak psikis.
Sebelumnya Polda meminta Agni untuk melakukan visum et repertum tapi ditolak dengan pertimbangan kejadian yang sudah lama berlalu sehingga hasil visum tidak akan membantu.
Baca juga artikel terkait KASUS AGNI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra
tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Nur Hidayah Perwitasari
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Nur Hidayah Perwitasari