Menuju konten utama

Penerapan Cukai Minuman Berpemanis, Kemenkeu Mundur Teratur?

Batalnya penerapan cukai minuman berpemanis tahun ini berpotensi memperbesar risiko kesehatan yang dialami masyarakat di Indonesia.

Penerapan Cukai Minuman Berpemanis, Kemenkeu Mundur Teratur?
Pekerja menyusun aneka jenis minuman kaleng di salah satu grosir penjual makanan dan minuman kemasan di Pekanbaru, Riau, Senin (12/6). ANTARA FOTO/Rony Muharrman

tirto.id - Tren minuman manis semakin menjamur di Indonesia. Masyarakat bahkan rela mengantre berjam-jam demi mendapatkan sensasi kesenangan dari sajian yang menawarkan beragam variasi rasa .

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan dalam dua dekade terakhir konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mengalami peningkatan yang signifikan dari sekitar 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter di 2015. Akibatnya, Indonesia menempati posisi ketiga dengan konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.

Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan karena konsumsi MBDK yang tinggi memicu terjadinya obesitas. Berdasarkan laporan International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes tipe 1 di tanah air mencapai 41.817 orang pada 2022. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat teratas di ASEAN.

Hal itu pun tidak luput dari perhatian Kementerian Kesehatan. Guna menekan laju obesitas, penerbitan aturan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) perlu dilakukan. Pengenaan cukai tersebut mampu menjadi senjata ampuh untuk mengurangi konsumsi produk-produk yang tidak sehat. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kesehatan) sudah bersurat kepada Kementerian Keuangan ihwal penerapan cukai minuman berpemanis.

"Lebih bagus lagi kalau usulan kami, Kemenkes, ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dijadikan sebagai, terutama untuk gula ya, masuk ke dalam cukai. Itu sangat efektif sebenarnya," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2M) Maxi Rein Rondonuwu.

Namun, rencana penerapan cukai kembali tertunda hingga 2024 mendatang dari rencana awalnya pada tahun ini. Padahal Kemenkeu sudah mengkaji mekanisme cukai MBDK bersama Kementerian Kesehatan sejak tahun 2019. Kondisi perekonomian di tanah air yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19 menjadi alasan cukai belum juga diketok.

Ilustrasi Bubble Tea

Ilustrasi Bubble Tea. FOTO/iStockphoto

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menuturkan, menyusun dan melaksanakan kebijakan minuman berpemanis perlu mempertimbangkan berbagai hal. Mulai dari pembahasan dengan DPR, menyesuaikan dengan kondisi aktual pemulihan ekonomi, industri, hingga kondisi masyarakat. Askolani pun berjanji pihaknya bakal menetapkan aturan cukai MBDK pada 2024.

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa, Nirwala Dwi Heryanto mengklaim saat ini aturan cukai sedang dibahas secara intensif bersama pihak terkait mulai dari akademisi, kementerian kesehatan, BPOM , serta WHO. Nirwala juga mengklaim pihaknya sedang merancang aspek legal dan formal untuk pemberlakukan cukai MBDK di Indonesia.

"Apabila PP terkait cukai MBDK telah selesai diundangkan maka pemungutan cukai MBDK baru dapat diterapkan," katanya kepada Tirto, Kamis (27/7/2023).

Mundurnya penerapan cukai MBDK disayangkan CISDI. Project Lead Food Policy Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Calista Segalita, menganggap batalnya penerapan cukai tahun ini berpotensi memperbesar risiko kesehatan yang dialami masyarakat.

Alasan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih karena pandemi tidak relevan dengan penundaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Cukai MBDK yang dipungut tidak berasal dari kebutuhan pokok, melainkan minuman berpemanis, seperti teh, susu berpemanis, soda, hingga minuman serbuk dalam kemasan.

“Tahun lalu pemerintah juga menunda dengan dalih yang sama. Padahal, kondisi kesehatan juga erat hubungannya dengan kondisi ekonomi. Tingginya beban biaya kesehatan sebesar Rp 108 triliun (BPJS, 2019) yang diakibatkan penyakit terkait konsumsi gula, justru seharusnya membuat cukai MBDK menjadi kebijakan yang penting untuk segera diterapkan di Indonesia,” kata Calista.

Ilustrasi Minuman Manis

Ilustrasi Minuman Manis. FOTO/iStockphoto

Calista membeberkan, cukai MBDK sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023. Tapi, lagi-lagi pemerintah menunda pengesahannya tahun ini.

"Pemerintah seolah abai dengan fakta yang menunjukkan konsumsi minuman berpemanis terus meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir,” kata Calista.

Implementasi kebijakan cukai di lebih dari 49 negara juga telah terbukti efektif menurunkan tingkat konsumsi MBDK serta mendorong formulasi ulang produk menjadi lebih sehat (lebih rendah gula). Dalam jangka panjang, penerapan cukai minuman berpemanis berperan krusial dalam menurunkan angka obesitas, diabetes, dan risiko kesehatan lain yang berkaitan.

Bahkan, menurut estimasi Kementerian Keuangan, cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukan negara sekitar Rp 2,7 triliun hingga Rp 6,25 triliun per tahun. Potensi tambahan penerimaan negara ini dapat digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat di Indonesia yang alokasi anggarannya selama ini masih sangat minim, khususnya terkait penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas.

Masyarakat Butuh Aturan Minuman Berpemanis

Senada dengan CISDI, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E. Halim pun kecewa dengan keputusan Kemenkeu. Pasalnya, masyarakat saat ini membutuhkan aturan ketat terkait minuman berpemanis.

Produk makanan dan minuman manis masih sangat mudah dijangkau masyarakat tanpa pengawasan yang ketat. Pembeli hanya diberikan kebebasan memilih berdasarkan informasi kandungan gula yang tertera pada label makanan dan minuman.

Dengan meningkatnya kasus anak penderita diabetes setiap tahunnya, Rizal mendesak pemerintah membentuk regulasi yang mewajibkan produsen memberi label dan tidak hanya mencantumkan informasi kandungan gula dalam setiap minuman.

“Pemerintah tidak boleh diintervensi oleh pelaku usaha (industri) dalam merumuskan kebijakan pembatasan gula, kasus diabetes anak dikhawatirkan akan semakin meningkat dan tentu akan menambah beban biaya kesehatan yang ditanggung oleh negara," ucap Rizal.

Rizal juga menghimbau kepada orang tua agar lebih selektif dalam mengatur pola konsumsi anak. Khususnya, terhadap makanan dan minuman yang mengandung gula.

Selain itu, orang tua juga diharapkan lebih cermat dalam mengenali gejala diabetes pada anak. Sebab, pada sebagian anak penderita diabetes, tidak adanya gejala atau keluhan.

Pentingnya Penerapan Cukai Minuman Berpemanis di Indonesia

Dalam laporan Unicef, penerapan cukai dapat menutup biaya langsung maupun tidak langsung yang timbul dari konsumsi minuman berpemanis. Kebijakan tersebut juga dinilai sebagai alat yang efektif untuk mencegah kelebihan berat badan dan penyakit tidak menular (PTM) terkait pola makan.

Sebuah studi pemodelan dampak cukai di Indonesia menemukan hasil yang positif dalam hal penurunan kelebihan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2, stroke dan penyakit jantung iskemik. Unicef juga menilai, dengan adanya cukai bisa menghasilkan pendapatan pemerintah yang signifikan dan dapat diinvestasikan kembali untuk kesehatan serta kesejahteraan masyarakat.

Unicef mencatat dampak cukai terhadap sosial dan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan secara substansial. Terdapat bukti banyak negara mengumpulkan pendapatan besar melalui cukai. Meksiko salah satu negara yang berhasil memperkenalkan cukai sebesar satu peso per liter atau 10 persen pada Januari 2014.

Berkat aturan itu, harga minuman berpemanis naik sekitar 1 peso atau 11 persen. Akibatnya, pada tahun 2014 penjualan mereka turun rata-rata 6-8%,sedangkan penjualan minuman yang tidak kena cukai meningkat 4-6%. Terutama penjualan air putih.

Dampak terbesar tercatat untuk rumah tangga dengan status sosial ekonomi rendah, berada di perkotaan, dan rumah tangga dengan anak-anak. Menurut pemerintah Meksiko, cukai menghasilkan sekitar 1,2 miliar dolar AS selama tahun pertama pada 2014.

Ilustrasi minuman manis dingin

Satu gelas minuman manis dingin. FOTO/Istockphoto

Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengklaim, adanya penerapan cukai ke minuman berpemanis akan menimbulkan penurunan omzet dari para pengusaha atau industri.

"Jadi soal cukai minuman berpemanis meskipun kerugian buat kesehatan, biaya BPJS kesehatan juga cukup tinggi untuk minuman berpemanis. Tapi kan sepertinya masih tertahan terus begitu, karena kekhawatiran adanya omzet dari industri makanan minuman yang turun," ungkap Bhima.

Lebih lanjut, Bhima menilai, penerapan cukai ke minuman berpemanis di Indonesia terbilang lambat. Karena, saat ini sudah banyak negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut.

"Nah nantikan yang terpenting pembahasan soal earmarking-nya, bagaimana dari pendapatan cukai minuman berpemanis itu bisa masuk ke dalam pos belanja kesehatan," bebernya.

Dia mencontohkan pendapatan cukai bisa dialokasikan untuk menambal defisit BPJS kesehatan. Kemudian, upaya pencegahan dan sosialisasi untuk mengurangi ketergantungan pada minuman berpemanis.

Alokasi belanja diharapkan dapat lebih transparan sehingga bisa menambah penerimaan negara dan merubah perilaku masyarakat dengan dana hasil cukai minuman berpemanis.

"Apalagi sudah dibekali pemerintah dengan Undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan. Ada lebih banyak cara gitu ya bagi pemerintah untuk cepat mengeksekusi perluasan objek kena cukai," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait CUKAI MINUMAN BERPEMANIS atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari & Intan Umbari Prihatin

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari & Intan Umbari Prihatin
Editor: Intan Umbari Prihatin