Menuju konten utama

Penelitian: Orang Materialistis Cenderung Depresi dan Tidak Puas

Penelitian menunjukkan bahwa individu materialistis lebih cenderung mengalami depresi dan tidak puas dengan kehidupan.

Penelitian: Orang Materialistis Cenderung Depresi dan Tidak Puas
Ilustrasi pria depresi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Materialistis merupakan sifat seseorang yang memprioritaskan nilai berbentuk uang, harta, gengsi, dan popularitas. Orang-orang materialis menginginkan yang terbaik dari yang terbaik, seperti ponsel terbaru atau mobil kelas atas. Tetapi ketika keinginan itu tidak terpenuhi, ia tidak bahagia.

Penelitian menunjukkan bahwa individu materialistis lebih cenderung mengalami depresi dan tidak puas dengan kehidupan. Penelitian dalam jurnal Personality and Individual Differences menjelaskan orang materialistis merasa lebih sulit untuk bersyukur atas apa yang mereka miliki, yang menyebabkan mereka menjadi gelisah, sebagaimana dilansir dari laman Medical News Today.

Orang yang materialistis cenderung “berpusat pada kediriannya”. Mereka lebih cenderung berfokus pada apa yang tidak dimiliki dan tidak dapat bersyukur atas apa yang dimiliki.

Penelitian ini melibatkan 246 orang dari departemen pemasaran universitas yang rata-rata berusia 21 tahun. Peserta diwajibkan menyelesaikan survei daring dalam waktu 15 menit untuk mengukur materialistik, rasa terima kasih, kebutuhan akan kepuasan dan kepuasan hidup.

Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang mendapat penilaian rendah atas rasa terima kasih dan kepuasan kebutuhan hidup lebih cenderung materialistis dan kurang puas dengan kehidupan.

Seorang penulis bernama James Roberts, dari Hankamer School of Business Baylor University, mengatakan fakta bahwa kita dapat beradaptasi dengan baik ketika memahami bahwa harta benda tidak sama dengan kebahagiaan.

"Karena semakin banyak mengumpulkan harta, kami tidak mendapatkan yang lebih bahagia, hanya meningkatkan poin referensi. Rumah baru seluas 2.500 kaki persegi menjadi dasar keinginan untuk memiliki rumah yang lebih besar," ujar Roberts.

"Itu disebut ‘Treadmill of Consumption.’ Kami terus membeli lebih banyak barang tetapi kami tidak semakin dekat dengan kebahagiaan, kami hanya mempercepat treadmill (pekerjaan yang membosankan)." ujarnya.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan temuan serupa. Sebuah studi 2011 yang diterbitkan dalam Journal of Happiness Studies mengungkapkan bahwa tingkat rasa terima kasih yang tinggi dan tingkat materialisme yang rendah pada remaja dikaitkan dengan kepuasan hidup yang tinggi, integrasi sosial dan rendahnya iri dan depresi.

Steve Taylor Ph.D dalam Psychology Today menjelaskan materialistik merupakan reaksi terhadap ketidakpuasan batin. Sebagai manusia, normal bagi kita untuk mengalami perselisihan psikologis yang disebabkan oleh gejolak pikiran kita yang tak henti-henti sehingga memicu pikiran negatif.

Sumber lain dari perselisihan psikologis adalah kuatnya rasa keterpisahan dari apa yang dirasakan, perasaan sebagai individu yang terisolasi di dunia.

Manusia kemudian mencari hal eksternal untuk mencoba meredakan rasa tidak puas batiniah. Materialistik menjadi salah satu pilihan yang dapat memberi semacam kebahagiaan - sensasi sementara membeli sesuatu yang baru, dan sensasi egois untuk memilikinya. Manusia kemudian menggunakan kebahagiaan semacam ini untuk mencoba menimpa, atau mengimbangi ketidakbahagiaan mendasar dalam dirinya.

Selain itu, hasrat akan kekayaan adalah reaksi terhadap rasa kekurangan dan kerentanan yang ditimbulkan oleh rasa keterpisahan kita. Hal tersebut memunculkan keinginan untuk menjadikan diri lebih utuh, lebih signifikan dan kuat. Manusia mencoba untuk meningkatkan ego yang rapuh dan membuatnya merasa lebih lengkap dengan mengumpulkan kekayaan dan harta benda.

Kebahagiaan membeli atau memiliki barang baru jarang bertahan dalam waktu yang sangat singkat. Perasaan tingkat kebahagiaan yang dihasilkan oleh kekayaan atau harta mahal bisa lebih bertahan lama, tetapi juga sangat rapuh. Tergantung pada membandingkan diri seseorang dengan orang lain yang tidak sebaik.

Seberapa besar usaha manusia untuk melengkapi atau meningkatkan ego, ketidakpuasan batin dan ketidaklengkapan selalu muncul kembali, menghasilkan keinginan baru. Tidak peduli berapa banyak yang bisa didapatkan, itu tidak pernah cukup. Seperti yang diajarkan agama Buddha, keinginan tidak pernah habis. Kepuasan satu keinginan hanya menciptakan keinginan baru, seperti penggandaan sel.

Satu-satunya cara nyata untuk mengurangi perselisihan psikologis ini bukan dengan mencoba menghindarinya, tetapi dengan mencoba untuk menyembuhkannya.

Baca juga artikel terkait MATERIALISTIS atau tulisan lainnya dari Sarah Rahma Agustin

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Sarah Rahma Agustin
Penulis: Sarah Rahma Agustin
Editor: Alexander Haryanto

Artikel Terkait

Mild report
Kamis, 7 Juli 2016

Cukup dan Bahagia