tirto.id - Dalam sebuah paper bertarikh 1990 yang berjudul The Anthropology of Infectious Disease, dijelaskan bahwa “penyakit menular merenggut lebih banyak nyawa dibandingkan gabungan korban meninggal dari perang, penyakit tidak menular, dan bencana alam.”
Influenza (seasonal flu), misalnya. Menurut Dr. Thomas Frieden, Direktur pada Centers for Disease Control and Prevention, salah satu narasumber dalam peper tersebut, penyakit itu “telah menewaskan lebih dari 10.000 warga Amerika pada ‘tahun-tahun baik’ hingga hari ini.”
Ia juga menambahkan: “Ketika ‘tahun buruk’ menghampiri, jumlah korban tewas akibat flu dapat melonjak hingga lima kali lipat. Namun, seandainya flu jadi pandemik, situasinya akan sangat mengerikan.”
Ketakutan soal penyakit yang dapat menjadi pandemik dan membunuh umat manusia tidak hanya dipikirkan oleh Friedman. Bill Gates, sosok yang mendirikan Microsoft pada 1975 bersama bersama Paul Allen, juga khawatir. Sebab itu, ia bahkan melangkah lebih jauh untuk mencegah pandemik terjadi.
Berkaca pada Ebola dan Flu Spanyol
“Ketika saya masih anak-anak, bencana yang paling ditakuti keluarga saya adalah perang nuklir,” tutur Bill Gates, tatkala menjadi pembicara TEDpada 2015 silam. “Itulah mengapa saya memiliki tong di ruang bawah tanah, berisi berkaleng-kaleng makanan dan minuman. Ketika serangan nuklir terjadi, kami tinggal turun berlindung dan makanan dari tong-tong itu.”
Namun, menurut Gates, kekacauan global hari ini tidaklah bersumber dari perang nuklir. “Yang memungkinkan membunuh 10 juta jiwa dalam beberapa dekade ke depan adalah virus, bukan perang. Mikroba, bukan misil,” tegasnya.
Masalahnya, negara-negara dunia lebih banyak menghabiskan uang memodernisasi persenjataan mereka untuk memenangkan pertempuran nuklir alih-alih melawan penyakit.
Sejak 1940 hingga 1996, Amerika Serikat, misalnya, telah menghabiskan uang sebesar $9,49 triliun, dalam nilai dolar saat ini, untuk pengembangan persenjataan. Cina, pada 2018 saja, telah membelanjakan $239,2 miliar untuk alat-alat militer. Lalu Rusia mengucurkan dana hingga $70 miliar dalam membentuk pasukan khusus guna menghadapi perang nuklir.
Dana untuk menghadapi serangan virus mematikan terbilang minim. AS, sebagai contoh, hanya mengalokasikan bajet $12 miliar untuk Center for Disease Control and Prevention. Sementara itu, banyak negara lain di dunia lebih memakai dana khusus, yang hanya digunakan ketika wabah menyerang, untuk menghadapi serangan mikroba.
“Kita mengeluarkan sedikit sekali untuk berinvestasi dalam membangun sistem pengendali epidemi,” tegas Gates.
Masih menurut Gates dalam TED 2015 tadi, meskipun Ebola membunuh sekitar 10.000 jiwa, dunia sepatutnya bersyukur karena penyakit itu tidak menyebar masif. Jika penyebaran Ebola menggila, maka menurut Gates itu akan menjadi sebuah “kegagalan global”.
“Tidak ada seorang pun di sana untuk melihat upaya penanganan Ebola. Tidak seorang pun melihat diagnosisnya. Tidak ada seorang pun menentukan alat apa yang harus digunakan. Sebagai contoh, kami mengambil darah orang yang selamat, memprosesnya, dan memberikan plasma untuk melindungi mereka. Namun, itu tidak pernah dicoba. Jadi banyak hal yang tidak tepat. Dan ketidaktepatan itu adalah sebuah kegagalan global,” urai Gates.
Jika melihat peta persebaran Ebola pada 2014 silam, Ebola praktis hanya menjangkiti enam negara Afrika: Sierra Leone, Liberia, Senegal, Nigeria, Mali, dan Republik Demokrasi Kongo (Congo-Kinshasa). Selain Afrika, Ebola hanya sempat menyebar ke Italia (1 kasus), Amerika Serikat (4 kasus), Spanyol (1 kasus), dan Inggris (1 kasus).
Salah satu alasan mengapa penyebarannya terbilang minim adalah kala itu, konektivitas Afrika dan dunia internasional relatif minim, yang diakibatkan oleh ekonomi yang masih lemah. Di dekade 2010-an misalnya, hanya ada satu penerbangan langsung dari Afrika ke Cina, dan sebaliknya. Kini, jumlahlahnya meningkat hingga delapan penerbangan langsung per minggu.
Karena itu, Gates kemudian menegaskan bahwa “di masa depan, kita mungkin tidak seberuntung itu.”
Di tahun yang sama ketika konferensi TED dilangsungkan, Gates menulis dalam opininya di The New York Times, bahwa “Ebola menyebar hanya melalui sentuhan langsung, dan ketika seseorang terinfeksi, orang itu mengeluarkan tanda-tanda khusus yang mudah dideteksi.”
Namun, wabah Flu Spanyol yang terjadi pada 1918 dengan jumlah korban mencapai 30 juta jiwa, adalah contoh lain di mana orang-orang yang terlihat sehat justru membawa virus di tubuhnya, lalu menyebarkan ke pihak-pihak yang rentan.
“Bayangkan jika wabah seperti Flu Spanyol (dan Ebola) muncul dalam kehidupan masa kini di mana orang-orang memiliki mobilitas tinggi.”
Bill Gates, mantan orang terkaya nomor satu di dunia, yang mungkin akan tetap di posisi itu seandainya saya dan juga Anda tidak membajak Windows atau Office, berkali-kali memperingatkan dunia atas wabah yang dapat memusnahkan umat manusia.
Kristin Toussaint, dalam ulasannya di Fast Company, mencatat bahwa pada 2010, Gates menulis di blog pribadinya mengenai keberuntungan masyarakat dunia karena wabah H1N1 tidak buruk dalam konteks penyebaran.
Dalam wawancara dengan BBC tahun 2016, Gates menegaskan sistem global untuk merespon wabah tidak cukup kuat. Setahun kemudian, dalam sebuah konferensi di Munich, Gates kembali berbicara mengenai topik yang sama.
Ia menyebut, para ahli epidemiologi telah memperkirakan bahwa dalam 10 hingga 15 tahun ke depan akan muncul patogen udara yang bergerak cepat dan dapat membunuh lebih dari 30 juta orang dalam waktu kurang dari setahun. Lalu, pada 2018, dalam acara Massachusetts Medical Society, ia lagi-lagi berujar:
“Dunia tidak membuat banyak kemajuan dalam menghadapi pandemi.”
Menurut perkiraan Gates pula, wabah penyakit yang akan menghancurkan umat manusia di masa depan akan lahir dari negara miskin yang tidak memiliki sistem pencegahan.
Dan tatkala dunia gegap-gempita menyambut kelahiran 2020 sebagai dekade baru, ketakutan Gates terbukti: SARS-CoV-2, virus di balik Covid-19, lahir.
Negara-Negara Harus Segera Beraksi
SARS-CoV-2, virus di balik Covid-19, muncul di akhir tahun 2019 lalu di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Covid-19, wabah yang mengacaukan dunia saat ini, memang tidak lahir di negara miskin seperti perkiraan Bill Gates. Namun, kemunculannya ditanggapi dengan penanganan level negara-negara miskin.
Musababnya, dalam riset yang ditulis Prof. Chaolin Huang, hingga 2 Januari 2020, 41 orang terbukti secara laboratorium terjangkit virus yang melahirkan gejala mirip pneumonia tersebut. Sayangnya, kemunculan virus baru itu tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah Cina.
Bahkan, Li Wenliang, salah satu dokter pertama yang mengabarkan kemunculan virus baru itu, dianggap “bergosip” melalui WeChat oleh otoritas setempat. Sebelum akhirnya Wenliang meninggal karena penyakit yang ditimbulkan virus tersebut.
Julia Belluz dari Vox menulis, lambannya Cina menangani Covid-19 terjadi karena otoritas di Wuhan tidak memiliki cukup informasi tentang apa yang terjadi. Selain itu, Cina juga memiliki hierarki publikasi informasi yang rumit, khususnya terkait hal-hal yang sensitif. Situasi ini mirip seperti wabah SARS yang terjadi pada 2003 silam. Kala itu, Cina dikritik karena lamban merespon SARS hingga menyebabkan sekitar 774 jiwa tewas.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, sebagaimana diperkirakan Gates, Covid-19 juga menyebar dalam “senyap” mirip Flu Spanyol.
Jane Qiu, dalam tulisannya di Nature, menyebut sekitar 60 persen orang-orang yang terjangkit Covid-19 tidak menunjukkan gejala apapun. Di Wuhan sendiri, diperkirakan 37.400 orang yang terinfeksi tidak sadar bahwa dirinya terinfeksi. Atas kenyataan ini, didukung dengan konektivitas manusia yang semakin tinggi, Covid-19 menyebar hampir ke segala pelosok dunia.
Gates, dalam paparannya yang tayang di The New England Journal of Medicine, menyatakan: “Covid-19 menyebar dengan sangat efisien. Satu orang yang terinfeksi, dapat menyebarkan pada dua hingga tiga individu lain. Covid-19 melaju secara eksponensial.”
Salah satu poin yang ditekankan Gates untuk membendung Covid-19 adalah pemimpin negara-negara dunia harus segera beraksi dan dalam jangka panjang mereka harus berupaya meningkatkan kemampuan negara mencegah wabah terjadi.
Menyumbang Banyak Uang
Sebagai orang yang memiliki kekayaan yang nyaris tak terbatas, Gates tidak hanya berargumen.
Melalui Bill and Melinda Gates Foundation, Gates telah menggelontorkan uang senilai $53,8 miliar yang mayoritas dialokasikan untuk meningkatkan sistem kesehatan di negara-negara miskin. Selain itu, khusus untuk menanggulangi Covid-19, bersama Wellcome dan Mastercard, Bill and Melinda Gates Foundation juga mengucurkan uang hingga $125 juta untuk melakukan riset yang dapat mengakhiri wabah corona.
Dalam pemaparan Dylan Matthews untuk Vox, Gates disebut sebagai filantropi istimewa. Di saat banyak sumbangan orang kaya yang berakhir hanya sebagai menghambur-hamburkan uang, Bill and Melinda Gates Foundation adalah kesuksesan.
Titik kesuksesan Bill and melinda Gates Foundation adalah bagaimana mereka mendonasikan dana mengikuti cara startup didanai. Awalnya, Gates hanya memberikan dana kecil. Jika sukses, ia akan menambah dana. Dan jika lebih sukses, Gates tak segan mengajak organisasi lain untuk ikut mengucurkan dana.
Gavi, organisasi nonprofit yang rajin memberikan vaksin di negara-negara miskin contohnya. Kala itu, di tahun 2000, Gates hanya menggelontorkan uang senilai $750 juta sebagai “seed funding.” Karena sukses, Gates memberikan dana tambahan hingga $4 miliar. Kini, atas urunan lain dari World Bank, UNICEF, the World Health Organization, hingga Pemerintah AS, Gavi memiliki dana senilai $18 miliar.
Bak Paman Ben yang berpesan kepada Peter Parker, Gates menegaskan: “Tanggung jawab mendasar dari orang-orang yang kebanyakan uang, selain membahagiakan diri sendiri dan keluarga, adalah ikut serta menolong masyarakat.”
Editor: Eddward S Kennedy