Menuju konten utama
Newsplus

Penelitian Ganja Medis yang Hanya Jadi Wacana

Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan untuk melakukan penelitian ganja dan manfaatnya terhadap kebutuhan medis sejak tahun 2020 lalu.

Penelitian Ganja Medis yang Hanya Jadi Wacana
Ilustrasi baik-buruk ganja. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Badan Narkotika Nasional (BNN) menyampaikan komitmen untuk melakukan riset dan kajian mendalam terhadap pemanfaatan ganja sebagai kebutuhan medis atau yang kemudian disebut dengan ganja medis. Kepala BNN, Marthinus Hukom mengungkapkan bahwa lembaganya memiliki fasilitas yang memadai untuk meneliti ganja medis.

"Untuk masalah ganja, mohon izin, kami akan melakukan penelitian. (Dan menjadi) kebetulan kami punya laboratorium forensik sendiri dan cukup terbaik di Asia Tenggara," kata Marthinus dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Senin (5/5/2025).

Marthinus mengatakan akan mengajak instansi pemerintah lainnya, terutama Kementerian Kesehatan dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam riset ganja medis.

"Kami memohon waktu untuk melakukan penelitian. Karena masalah ganja ini masalah yang memang lagi diperbincangkan, apakah bisa di apa dilegalkan untuk masalah kesehatan? Kami butuh hasil riset yang lebih akurat,” ujarnya.

Pernyataan Marthinus muncul setelah, Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, mengungkit putusan Mahkamah Konstitusi yang mendorong pemerintah untuk melakukan penelitian ganja dan manfaatnya terhadap kebutuhan medis. Perintah tersebut tertuang dalam amar Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Hinca menyebut pemerintah terlalu lama dalam melakukan diskusi sehingga riset tak kunjung terlaksana. Terlebih amar putusan MK tersebut telah terbit tiga tahun lalu yang diperjuangkan oleh Santi Warastuti bersama sejumlah koalisi masyarakat sipil karena putrinya yang bernama Pika mengidap cerebral palsy dan membutuhkan ganja sebagai keperluan medis.

Kini Pika telah tiada. DPR menyebut, pemerintah yang terlalu lama berdiskusi terkait rencana riset ganja medis, turut andil terhadap hal itu.

“Hari ini tepat 48 hari Pika meninggal dunia. Seorang anak bangsa yang meninggal dunia bukan karena perang, bukan karena bencana, bukan karena ancaman lainnya, tetapi karena negara terlalu lama berdiskusi tentang sebuah riset yang tak kunjung dimulai,” kata Hinca.

Dia menambahkan kalau saat ini pun mereka cuman bisa menunggu aksi dari Kementerian Kesehatan. “Tapi sampai hari ini yang kita lihat justru institusi itu makin gelap suaranya hilang.”

Dalam aturan UU Narkotika, ganja masih masuk dalam kategori narkotika golongan I. Apabila merunut pada situs BNN, narkotika di kelompok ini paling berbahaya dan menempatkan ganja setara dengan heroin, kokain morfin hingga opium.

Dalam wawancara terpisah kepada awak media, Marthinus menegaskan bahwa riset terhadap ganja diperlukan agar masyarakat tidak terjebak terhadap beragam kepercayaan terkait tanaman tersebut. Dia berharap fakta mengenai ganja sebagai obat dapat terbukti melalui riset yang komprehensif dan sejumlah uji coba di laboratorium.

"Jangan kita berdiri kepada mitos, atau kepada apa katanya orang, tapi harus berdasarkan penelitian empiris bahwa ada penyakit yang bisa diobati dengan ganja," katanya usai rapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

Tirto mencoba untuk kembali mengelaborasi jawaban Marthinus terkait upaya BNN dalam meriset ganja medis, namun hingga artikel ini tayang, Perwira Tinggi Polri tersebut tak merespons pesan singkat maupun telepon kami.

Ilustrasi Ganja Medis

Ilustrasi Ganja Medis. foto/IStockphoto

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Aji Rokomyanmas, mengungkapkan bahwa hingga kini pihaknya belum menerima ajakan dari BNN untuk melakukan riset terkait ganja medis.

"Saya sudah cek ke internal, belum ada usulan dari BNN untuk melakukan riset soal penggunaan ganja untuk yankes (pelayanan kesehatan)," kata Aji saat dihubungi Tirto, Rabu (7/5/2025).

Lebih lanjut dia juga menyoroti penggunaan istilah, ‘ganja medis’, sebab sejauh ini aturan yang ada belum punya terma tersebut.

"Berdasarkan UU Narkotika yang berlaku saat ini, Narkotika golongan I tidak dapat digunakan untuk kepentingan medis di pelayanan kesehatan. Jadi sebenarnya tidak ada istilah ganja medis," kata Aji.

Apakah Indonesia Terlambat Riset Ganja Medis?

Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara (YSN), Dhira Narayana menyebut Indonesia tergolong lambat apabila baru akan memulai riset terhadap ganja medis. Dia menyebut sudah ada banyak negara yang telah melegalkan Cannabis sativa demi kepentingan medis. Beberapa negara bahkan membolehkannya untuk keperluan rekreasi.

"Kalau di Indonesia, kan narkotika berarti mulai dari tahun 1976. Sampai sekarang masih golongan I, belum ada perubahan penggolongan di situ," kata Dhira saat dihubungi Tirto, Selasa (7/5/2025).

Dia menjelaskan tanpa ada keterbukaan terhadap riset ganja, muncul potensi menjadikannya sebagai komoditas perdagangan di pasar gelap. Sebaliknya, bila riset dilakukan dan terbukti bahwa ganja memiliki manfaat sebagai obat, pemerintah dapat lebih mudah mengatur distribusinya, sebagaimana halnya dengan perdagangan produk farmasi di apotek atau rumah sakit.

"Ketika itu sudah diatur, lebih mudah kita untuk mengawasi penyalahgunaannya, dibanding situasi yang sekarang. Dalam konteks ganja medis, ketika nanti sudah diriset dan kemudian ditemukan manfaat dapat menjadi produk obat, artinya akan diatur oleh negara, itu akan sangat mudah diawasi dibanding kondisinya sekarang," kata Dhira.

GANJA DI INDONESIA

Ilustrasi. Daun Ganja. Foto/iStock

Dhira menjelaskan ada banyak kesalahan persepsi di publik terkait ganja medis. Dirinya menyebut bahwa masyarakat hanya mengetahui jika konsumsi ganja melalui proses pembakaran layaknya rokok atau kemudian dikenal dengan istilah, nyimeng. Padahal, kata Dhira, ada banyak cara untuk mengkonsumsi ganja sebagai obat.

"Produk ganja medis kalau di-search di banyak, ada bentuknya pil, bisa sirup," kata dia.

Dirinya juga mengharapkan dengan riset ganja secara komprehensif dan melibatkan banyak pihak, bisa menjadikannya sebagai produk olahan lain yang memiliki daya tunjang terhadap ekonomi.

"Riset ganja itu jangan hanya dibatasi pada medis saja, karena manfaat ganja yang lain seperti pakaian, rumah, sumber energi hingga itu semua ada potensinya ke arah sana," kata Dhira.

infografik sc manfaat ganja secara medis

infografik sc manfaat ganja secara medis. tirto.id/Sabit

Anggota Komisi III DPR RI, Hinca juga sepaham dengan ide Dhira. Dia beranggapan penelitian bisa menjadi titik awalnya. Nantinya, terkait manfaat turunan dari ganja akan dapat terukur.

"Sebaiknya lakukan riset, itulah alat ujinya, apa bagaimana kalau untuk ganja medis, untuk sandang dan lain-lain, dari situ kita buat regulasinya, riset itulah awal dan kuncinya," kata Hinca, lewat pesan singkat kepada Tirto, Selasa (7/5/2025).

Mahasiswa Doktoral dari School of Regulation and Global Governance, the Australian National University, Dio Ashar Wicaksana, mengatakan di berbagai negara pandangan negatif terhadap ganja juga mulai bergeser.

Beberapa negara maju sudah mulai melegalkan ganja untuk penggunaan medis. Dalam artikelnya untuk The Conversation, dia menyebut mulai terjadi pergeseran persepsi terhadap penggunaan ganja dalam konteks medis.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meski menyebut bahaya dari ganja, juga menyoroti hasil penelitian yang menunjukkan efek terapeutik ganja untuk mual dan muntah pada pasien yang menderita penyakit lanjut seperti kanker dan AIDS.

Institute of Medicine pada tahun 1982 bahkan telah menjajaki potensi ganja sebagai obat. Hasil penelitian menemukan ganja dan zat turunannya menjanjikan untuk beberapa gangguan kesehatan seperti glaukoma, asma, dan mengatasi mual.

Beberapa negara yang semula kontra dengan penggunaan ganja sebagai produk konsumsi medis juga mulai putar arah. Di Amerika Serikat (AS), negara bagian seperti California telah memberi akses bagi individu yang mengalami penyakit serius untuk memanfaatakan ganja medis. Hal ini tertuang dalam aturan the Health and Safety Code (Cannabis in Indonesia: Patterns in consumption, production, and policies), dengan syarat adanya pendekatan dan keputusan dari dokter yang menangani.

Negara lain, Belanda juga telah mengatur pemanfaatan ganja medis. Mereka bahkan punya divisi khusus dari Kementerian Kesehatan-nya yang menyediakan ganja untuk pengobatan dan penelitian ilmiah.

"Saat ini setidaknya ada 20 negara yang sudah meregulasi penggunaan ganja medis. Sementara, beberapa negara lainnya juga tengah melakukan penelitian untuk mengetahui manfaat ganja bagi kesehatan masyarakat," begitu tulis Dio, mengutip hempika.com.

Infografik Mozaik Merdeka Menghisap Ganja

Infografik Mozaik Merdeka Menghisap Ganja. tirto.id/Deadnauval

Libatkan Masyarakat Adat dalam Riset Ganja Medis

Mengutip riset Yayasan Sativa Nusantara, tradisi penggunaan ganja untuk konsumsi telah termaktub dalam khazanah nusantara. Salah satunya dalam manuskrip kuno kitab Tajul Muluk di Aceh. Hal itu menjadi catatan bahwa ganja telah digunakan sebagai bahan ritual, pengobatan campuran makanan hingga pertanian sejak ratusan tahun silam.

Dalam penelitiannya yang berjudul 'Cannabis in Indonesia: Patterns in consumption, production, and policies', Dania Putri menyebut penggunaan ganja secara tradisional sebenarnya telah banyak di bagian utara Sumatra, tepatnya di Provinsi Aceh.

Secara sejarah, pemanfaatan ganja di Tanah Air bahkan sudah mengakar sejak abad ke-10. Penggunaannya sebagai makanan, campuran kopi, dan tanaman herbal untuk diabetes sudah banyak praktiknya.

Hal ini menunjukkan histori yang kuat terkait ganja di Indonesia. Oleh karenanya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Albert Wirya meminta pemerintah untuk melibatkan masyarakat adat dalam proses perumusan riset ganja medis.

"Penelitian juga harus mencakup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat, sebagian masyarakat asli Indonesia sudah lama memanfaatkan ganja bagi kepentingan komunitasnya," kata Albert kepada wartawan Tirto, Selasa (7/5/2025).

Operasi pemusnahan tanaman ganja di aceh

Personel Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama TNI dan Polri mengumpulkan tanaman ganja sebelum dimusnahkan dengan cara dibakar di kawasan pegunungan Seulawah, Desa Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (15/8/2024). ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.

Demi membuktikan keseriusan pemerintah dalam riset ganja medis, Albert menegaskan perlunya diterbitkan aturan tegas atau regulasi transisi yang berbentuk peraturan pemerintah, atau peraturan setingkat menteri yang memungkinkan kegiatan riset dilakukan secara legal, transparan dan akuntabel.

"Namun memang kami meminta agar riset tersebut dilakukan dengan koridor yang sesuai, sehingga ia transparan, partisipatif, dan bisa mendengarkan orang-orang yang selama ini sudah dirugikan dengan kebijakan narkotika yang punitif," katanya.

Albert berharap pemerintah membuka ruang partisipasi publik yang bermakna, melibatkan masyarakat sipil, akademisi, korban kebijakan pelarangan ganja, serta masyarakat adat yang telah lama memanfaatkan ganja secara tradisional.

“Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang miskin, mereka yang sakit, masyarakat adat, dengan memastikan riset tersebut bersifat komprehensif, partisipatif, akademis, dan transparan," tambahnya.

Baca juga artikel terkait GANJA MEDIS atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto