Menuju konten utama

Momentum Legalisasi Ganja untuk Medis

Tanaman ganja punya dua sisi yang saling berlawanan, selain jadi barang terlarang, ganja juga diyakini menjadi alternatif obat berbagai macam penyakit. Hasrat untuk melegalkan ganja untuk kepentingan medis terus disuarakan.

Momentum Legalisasi Ganja untuk Medis
Ilustrasi. Ganja yang sudah dikeringkan. Foto/iStock

tirto.id - Seorang pria dengan setelan kemeja hitam tampak berjongkok, memegang pundak seorang bocah yang tertunduk murung. Keduanya larut dalam haru di pemakaman Yeni Riawati. Pria itu diketahui bernama Fidelis Arie Sudarwoto, suami dari Yeni. Fidelis warga Sanggau, Kalimantan Barat harus datang ke pemakaman istrinya dengan pengawalan ketat aparat keamanan karena jadi tersangka kepemilikan 39 batang ganja.

Fidelis Arie terpaksa menanam ganja di rumahnya untuk mengambil ekstrak ganja yang diyakini bisa memberikan kesembuhan untuk sang istri, yang mengidap penyakit Syringomyelia. Selama mengonsumsi ganja, sang istri mengalami perkembangan positif dari penyakit yang dideritanya. Namun, sebelum sang istri sembuh, Fidelis Arie keburu diciduk polisi dan Yeni pun meregang nyawa.

Kisah Fidelis Arie dan istrinya contoh nyata bagaimana daun ganja masih menjadi dilema bagi kebutuhan pengobatan atau medis. Secara hukum, ganja sebagai narkotika golongan I dan sebagai zat adiktif yang memberi efek candu. Namun, di sisi lain kandungan ganja diklaim mampu jadi alternatif obat, bahan baku industri, hingga produk kecantikan. Ini karena daun ganja memiliki beberapa zat khusus yang terkandung di dalamnya.

Kandungan dan Manfaat Ganja

“Tanaman ajaib ciptaan Tuhan,” begitulah ganja dideskripsikan Inang Winarso, Direktur Yayasan Sativa Nusantara (LGN) kepada Tirto.

Inang Winarso memaparkan tak ada yang sia-sia dari setiap bagian tanaman ganja, mulai dari akar, batang, daun, bunga, bahkan biji ganja dapat diolah dan bermanfaat. Ganja diidentifikasikan memiliki 483 konstituen kimia yang berbeda. Sebanyak 66 diantaranya disebut cannabinoid, senyawa ganja yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat.

Selain cannabinoid, terdapat pula THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol) sebagai senyawa paling aktif dalam psikologis ganja. Zat ini memiliki efek analgesik atau penghilang rasa sakit, sifat anti-spasmodik atau bisa menghilangkan kejang-kejang, anti-getaran, anti-inflamasi atau bisa mencegah pembengkakan, perangsang nafsu makan dan anti muntah. THC telah diketahui untuk mengurangi pertumbuhan tumor dan mengurangi perkembangan aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh kelebihan lemak di dinding arteri) pada tikus.

Zat lain yang terkandung dalam ganja adalah (E)–BCP (Beta-caryophyllene). Zat ini diyakini dapat digunakan sebagai pengobatan yang efektif untuk nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati), mual, osteoarthritis (penyakit sendi), aterosklerosis (kondisi di mana dinding arteri menebal sebagai akibat dari kelebihan lemak seperti kolesterol), dan penyakit lainnya.

INFOGRAFIK Ganja

Zat lainnya adalah Cannabichromene (CBC) yang dapat membantu menciptakan sifat penyembuhan pada ganja dengan mendorong efek dari THC. Lalu ada Cannabidiol (CBD) sebagai komponen non-psikoaktif ganja, kehadiran CBD dalam ganja dapat menekan efek euforia dari THC.

CBD memiliki sifat anti-inflamasi, anti-biotik, anti-depresan, anti-psikotik, anti-oksidan, penenang, imunomodulator (penyesuaian sistem imun), dapat meredakan kejang, radang, gelisah, dan mual. Untuk mengobati penyakit kronis, CBD harus disinergikan dengan THC.

Zat lain dalam ganja yang dapat dipergunakan dalam medis adalah Cannabigerol (CBG) sebagai cannabinoid pertama dan pencetus biogenetis dari semua senyawa ganja. CBG memiliki efek sedatif dan sifat antimikroba, dan menyebabkan rasa kantuk. CBG dapat mengurangi tekanan intraokular (tekanan cairan pada mata) pada pasien glaukoma (pasien yang mengalami gangguan mata di mana saraf optik mengalami kerusakan pada penglihatan yang permanen dan bisa mengakibatkan kebutaan jika tidak diobati) dan berkontribusi terhadap sifat anti-biotik pada ganja.

“Ganja memiliki unsur-unsur medis yang mudah diterima oleh tubuh. Paling utama mampu memperbaiki sel-sel yang rusak, sehingga beberapa penderita kanker, radang, atau sel yang rusak bisa diremajakan,” kata Inang.

Penelitian Ganja di Indonesia

Dengan segala kaya kandungan zat dan manfaatnya, ganja telah dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas. Di Amerika, Inggris, Tiongkok, dan Jepang, ganja sudah dimaksimalkan sebagai bahan baku industri. Yang paling menonjol adalah industri medis di Amerika dan Inggris. Di Cina dan Jepang lebih condong memanfaatkan ganja sebagai bahan baku industri kosmetik dan tekstil. Di Indonesia, masih menempatkan tanaman ini sebagai barang ilegal.

“Indonesia sungguh tertinggal karena ketakutan yang tidak beralasan. Takut ditangkap, akhirnya ilmu pengetahuan tentang ganja tidak berkembang di sini,” kata Inang.

Sejatinya, penelitian mengenai kemungkinan ganja sebagai obat penyakit diabetes pernah diusahakan oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di 2014. Saat itu, tepatnya pada bulan Oktober, Musri Musman, seorang Ahli Kimia Bahan Alam dari Universitas Syiah Kuala Aceh bersama LGN mengirimkan permohonan izin kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Isinya meminta izin penelitian mengenai manfaat ekstrak ganja untuk pengobatan diabetes.

Pada Januari 2015 Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek melalui ketua Balitbangkes yang saat itu dijabat oleh Yoga Tjandra Aditama menyetujui penelitian dengan syarat harus dilakukan di laboratorium pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 132/2012, izin untuk memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan tanaman ganja hanya di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kemenkes di Tawangmangu, Solo. Maka terbitlah Keputusan Menteri Kesehatan No. 118/2015 yang meloloskan izin penelitian LGN. Namun dalam perjalanannya penelitian ini tertunda.

Kasus Yeni bisa jadi momentum bahwa ganja tak hanya dilihat dari satu sisi saja. Ganja yang juga punya manfaat lain, sebagai alternatif obat di Indonesia. Orang-orang seperti Inang Winarso sudah mencoba mencari celah untuk legalisasi ganja guna keperluan medis. Keputusan ada di tangan pemerintah, dan saat ini jadi momentumnya.

Baca juga artikel terkait GANJA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra