Menuju konten utama

Jalan Berliku Legalisasi Ganja untuk Medis

Ganja Kerap dianggap sebagai zat tanaman racun yang memabukan dan merusak syaraf-syaraf dalam tubuh. Tapi ganja juga dapat berguna untuk kepentingan medis. Beberapa negara bahkan sudah melegalkan ganja karena manfaatnya menyembuhkan berbagai penyakit.

Anggota Polresta Aceh Besar mencabut tanaman ganja siap panen di hutan Desa Lamteba, Pegunungan Seulawah, Kabupaten, Aceh Besar, Aceh. ANTARA FOTO/Ampelsa

tirto.id - Sejarah peradaban manusia mencatat, tembakau dan ganja adalah dua jenis tanaman yang mengalami perubahan besar-besaran. Dalam kultur masyarakat Indian, tembakau pernah dianggap sebagai tanaman suci dan bisa membantu menghubungkan manusia dengan roh leluhur. Suku Indian pun menghisap tembakau dengan pipa panjang dalam upacara adat.

Begitu pula dengan ganja, yang juga kerap disebut sebagai mariyuana. Dipercaya, masyarakat India sudah kenal ganja sejak 1500 Sebelum Masehi. Bhang, salah satu minuman sesajen kepada Dewa Siwa, dipercaya terbuat dari campuran daun ganja, kacang almond, rempah-rempah, susu dingin, dan juga gula. Dalam kultur masyarakat Rastafari, ganja juga digunakan untuk meditasi dan ritual

Namun, dalam masyarakat modern, dua tanaman ini dianggap sebagai tanaman racun. Sementara tembakau masih digunakan untuk produk rokok yang legal, ganja benar-benar dianggap sebagai bagian dari narkoba dan dilarang penggunaannya.

Perlahan, keadaan mulai berubah. Banyak negara yang mulai melegalkan ganja untuk keperluan medis. Persepsi tentang ganja pun bergeser, tak lagi dilihat semata sebagai tanaman untuk teler.

Dari riset yang dilakukan oleh Gallup, tampak perubahan signifikan terkait persepsi ganja di Amerika Serikat. Tadinya, pada 1969, ada 84 persen masyarakat Amerika yang menganggap ganja memang seharusnya ilegal. Hanya 12 persen saja yang berpendapat ganja harus dilegalkan. Kemudian pada 2013, peta persepsi berubah. Sekitar 58 persen masyarakat Amerika Serikat percaya bahwa ganja harus dilegalkan. Sementara, 39 persen tetap menganggap ganja seharusnya ilegal.

Survei yang sama juga menunjukkan sekitar 38 persen masyarakat Amerika mengaku pernah mencoba ganja. Dengan berubahnya persepsi masyarakat ini, ditambah penelitian-penelitian tentang guna ganja untuk keperluan medis, muncul dorongan untuk melegalkan ganja di banyak negara bagian. Kebanyakan para pendukung gerakan ini adalah anak muda.

Anak muda kelompok 18 hingga 29 tahun, sekitar 67 persen menganggap ganja harus legal. Sedangkan mereka yang berumur 30 hingga 49 tahun, sekitar 62 persennya percaya kalau ganja seharusnya dilegalkan.

Gerakan legalisasi ganja ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja. Terhitung ada paling tidak 18 negara lain yang juga melegalkan ganja. Mulai dari Kanada, Ceko, Chili, Belanda, Uruguay, Rumania, Perancis, hingga Kolombia yang melegalkan ganja untuk kepentingan tertentu. Mulai medis hingga riset.

"Tujuan kami adalah membuat para pasien bisa mengakses pengobatan yang aman, berkualitas, dan juga mudah diakses. Legalisasi ganja juga membuka kesempatan untuk riset ilmu pengetahuan di negara kami," kata Presiden Kolombia Juan Manuel Santos.

Sementara itu, ganja di Indonesia masih ilegal. Indonesia bahkan termasuk dalam daftar negara yang paling ketat dalam mengatur soal ganja. Bersama dengan China, Jepang, Malaysia, Nigeria, hingga Arab Saudi.

"Jika kamu tertangkap membawa selinting ganja di Indonesia, kamu bisa dipenjara hingga empat tahun. Jika kamu sengaja mengimpor ganja, hukumanmu antara 5 sampai 10 tahun," tulis Johnny Green, aktivis ganja dari Oregon yang aktif menulis untuk The Weed Blog.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/09/30/Legalisasiganja-01.jpg" width="860" /

Ganja untuk Kepentingan Medis

Ganja, menurut Inang Winarso, Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara memiliki manfaat jadi sebagai obat berbagai penyakit. Ekstrak ganja pun bisa menghasilkan cukup banyak. Dari 100 kilogram ganja, bisa menghasilkan ekstrak 10 kilogram. Dosis untuk obat hanya memerlukan beberapa miligram saja, atau sebesar 1 biji beras.

Salah satu pasien yang memakai ekstrak ganja untuk tujuan medis adalah seorang anak berumur 11 tahun asal Yogyakarta. Dia menderita celebral palsy dan sudah tak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya.

Namun, setelah mengonsumsi ekstrak ganja sebanyak 1/3 butir beras setiap malam, dia mulai berangsur dapat mengfungsikan anggota badannya. Sang ibu memilih berani memberikan testimoni di salah satu majalah untuk membuka mata dunia bahwa Indonesia kaya ganja, tanaman bermanfaat yang malah dianggap sebagai barang haram.

Ganja belakangan ini memang banyak diteliti terkait kegunaannya untuk kepentingan medis. Salah satunya sebagai obat temporer glaukoma karena bisa menurunkan tekanan mata. Meski demikian, glaucoma. Org tidak merekomendasikannya untuk penggunaan jangka panjang karena ganja juga menurunkan tekanan darah. Turunnya tekanan darah berakibat pada menurunnya pasokan darah ke syaraf mata, dan efek jangka panjangnya justru bisa mengurangi penglihatan.

Selain itu, ganja juga digunakan untuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan syaraf, misalnya gejala kejang epilepsi. Baru-baru ini, ada Epidiolex, obat yang dihasilkan perusahaan farmasi, yang 99 persen ekstraknya adalah minyak murni dari cannabidiol (zat yang dikandung ganja). Badan Makanan dan Obat (FDA) di AS telah memberi beberapa izin bagi pusat pengobatan epilepsi untuk menggunakan obat ini untuk pasien epilepsi yang berat.

Komponen aktif ganja, cannabidoids, juga banyak diteliti terkait kegunaannya untuk mengobati tumor dan kanker. Banyak penelitian menunjukkan cannabidoids berpotensi sebagai agen antikanker. Tapi, fungsi ganja terkait kanker ini belum sepenuhnya terjelaskan mekanismenya, sehingga ganja belum jadi pengobatan standar.

Meski khasiat ganja untuk memerangi akar kanker masih kontroversial, penggunaannya untuk pereda rasa sakit yang menyertai terapi pada pasien kanker sudah banyak diakui. Selain kanker, ia juga membantu meringankan penderitaan orang-orang yang baru menjalani operasi sangat menyakitkan.

Namun, di Indonesia, legalisasi ganja untuk kepentingan medis masih sulit tercapai karena resistensi masyarakat besar. Kebanyakan masyarakat berpikir dan memahami ganja berdasarkan mitos dan mengabaikan temuan ilmiah terbaru.

Ganja untuk Obat di Indonesia

Pada tahun 2013, Inang bekerja sama dengan beberapa ahli kimia, salah satunya Musri Musman, ahli kimia dasar bahan alam dari Aceh meneliti ganja sebagai bahan baku obat diabetes. Mereka mengajukan penelitian ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di tahun itu, dan baru disetujui di tahun 2015.

Dua tahun perjalanan panjang untuk meyakinkan Kemenkes tak sia-sia. Kini walaupun baru sampai pada tahap protokol riset dan masih harus menjalani tahapan laboratorium, uji klinis ke binatang, dan uji coba ke manusia untuk mendapat pengesahan BPOM, setidaknya sudah ada satu langkah maju yang dicapai para aktivis legalisasi ganja ini.

"Walaupun sebenarnya karena terdesak, hasil penelitian ini sudah dipakai beberapa pasien kanker kelenjar getah bening dan kanker payudara untuk pengobatan. Tapi ini di luar uji formal kita," kata Inang.

Dengan segala manfaat kesehatan ganja, besar harapan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) agar ganja mulai dilegalkan untuk tujuan medis.

Baca juga artikel terkait MEDIS atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani