tirto.id - Terlalu berliku jalan legalisasi Canabis atau marijuana, alias ganja di Indonesia. Jangankan bermimpi sebagai industri, pemanfaatan medis pun masih jauh panggang dari api. Aturan yang mengakomodir tumbuhan ini beserta implementasinya bertabrakan satu sama lain.
Di tengah pandemi tak berkesudahan dan ulah sengkarut lembaga-lembaga pemerintahan yang makin bikin pusing, angin segar datang dari Kementerian Pertanian (Kementan). Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) mencantumkan ganja sebagai tanaman obat komoditas binaan di bawah Direktorat Jenderal Holtikultura.
Baru saja disambut suka cita, semilir angin itu ternyata cuma numpang lewat. Keputusan Menteri Pertanian 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang diteken pada 3 Februari lalu buru-buru ditarik. Kementan mengaku akan mengkaji kajian ulang Kepmen setelah mendapat penolakan dari Badan Narkotika Nasional (BNN).
“... segera dilakukan revisi [setelah] berkoordinasi dengan stakeholder terkait,” kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha (29/8/2020).
Sejatinya Kementan sudah menggolongkan ganja sebagai komoditas tanaman obat sejak penerbitan Kepmentan No. 511 tahun 2006. Dalam aturan yang diteken Mentan Anton Apriyantono ganja masuk dalam komoditas biofarmaka, legal ditanam hanya bagi kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan.
Beberapa periode bergulir dan keputusan mentan berganti, tapi ganja tetap tercantum sebagai komoditas potensial tanaman obat. Entah kenapa baru sekarang kabar ini disorot dan mendapat perhatian khusus dari lembaga lain. Mungkin karena beberapa waktu belakangan narasi soal legalisasi ganja mencuat lagi.
Ganja bahkan dinilai mampu menjadi alternatif obat COVID-19. Namun, apakah sambutan positif sejumlah politikus ini menjadi pertanda baik menuju legalisasi ganja di Indonesia? Jawabannya masih samar.
“Ada persoalan besar pada dasar hukum di Indonesia yang belum berubah,” jelas Inang Winarso, Direktur Yayasan Sativa Nusantara mengurai akar masalah kepada Tirto, Selasa (1/9/2020).
Selama ini jalan yang diambil Kementan untuk meletakkan ganja sebagai komoditas tanaman obat binaan sudah lumayan tepat. Setidaknya mereka membuka peluang legalisasi dengan dasar ilmu pengetahuan. Meski sejak pertama kali masuk dalam Kepmentan (2006) belum ada petani ganja yang dibina Kementan dan secara legal menanam ganja medis.
Kementan justru mengarahkan petani-petani ganja untuk menanam komoditas lain dan memusnahkan hasil ganja mereka. Sementara lembaga pemerintahan lain seperti BNN dan Polri melihat persoalan legalisasi ganja sangat jauh menyimpang dari hukum yang berlaku.
Menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja masih termasuk dalam jenis narkotika golongan I bersama dengan sabu, kokain, opium, heroin. Namun, jika ditelisik, pasal 13 memperbolehkan narkotika diperoleh, ditanam, disimpan, dan digunakan untuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam persoalan ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebetulnya memiliki kapasitas sebagai penengah, membuat protokol ketat pemanfaatan ganja, sambil terus melakukan riset manfaat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Kemenkes tegas menolak ganja medis karena lebih khawatir terhadap penyalahgunaan.
Rekomendasi WHO dan Penolakan Indonesia
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengibaratkan ganja sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi tanaman ini menjadi jenis narkotika terlarang yang paling banyak dibudidayakan, diperdagangkan, dan disalahgunakan. Sekitar 2,5 persen populasi dunia mengonsumsi ganja.
Efek negatif dari penyalahgunaan tanaman ini mencakup gangguan perkembangan kognitif, kinerja psikomotorik, dan koordinasi motorik. Tapi studi-studi kesehatan tentang ganja juga menunjukkan hasil positif di bidang medis. Ganja, misalnya, berfungsi sebagai penghilang rasa mual-muntah.
Ganja juga menjadi alternatif obat asma dan glaukoma, antidepresan, perangsang nafsu makan, antikonvulsan (anti kejang pada epilepsi), dan anti-spasmodik (antikejang pada saluran cerna).
“Efek kesehatan itu yang sebagian besar tidak diketahui negara-negara berkembang karena penelitian terbatas dan non-sistemis,” terang WHO.
Menimbang peluang manfaat dari ganja, pada trimester akhir tahun lalu (Oktober 2019) WHO mengeluarkan rekomendasi 5.4 dan 5.5 tentang rencana legalisasi narkotika jenis ganja. Namun Indonesia tegas menolak rencana tersebut.
Dilansir dari Tempo, alasan penolakan ini didasarkan pada perbedaan komposisi ganja Indonesia dengan negara lain. Ganja Indonesia diklaim Kemenkes, BNN, dan Polri memiliki kandungan tetrahidrokanabinol (THC) tinggi (18 persen) dan cannabidiol (CBD) rendah (1 persen).
Kandungan THC inilah yang dianggap sangat berbahaya karena bersifat psikoaktif. Padahal kalau pemerintah niat melakukan riset ganja medis, kandungan dan dosis zat penyusunnya bisa disesuaikan. Saya yakin pemerintah memang belum mau saja, mereka tidak mungkin berpikir untuk mengonsumsi ganja secara utuh, bukan?
“Ganja untuk pengobatan salah satu caranya dengan menggunakan ekstrak minyak yang didapat dari penyulingan, lalu dipisahkan komponen-komponen penyusunnya,” jelas Musri Musman, profesor, ahli kimia bahan alam Universitas Syah Kuala.
Setidaknya ada lima senyawa besar yang terkandung dalam ganja: THC, CBD, cannabinol (CBN), cannabichromes (CBC), cannabigerol (CBG). Dari kelima komponen tersebut, terang Musri, hanya THC yang bersifat psikotropika. Lainnya teruji memiliki manfaat kesehatan murni. Meski begitu dalam konsentrasi tertentu THC juga bisa digunakan sebagai obat.
Badan Pengawas Pangan dan Obat Amerika (FDA) telah memberi izin THC digunakan secara luas untuk pereda mual dan muntah pada penyakit stadium lanjut seperti kanker dan AIDS. Bahkan jika dibudidayakan, kandungan senyawa dalam ganja bisa diatur dengan teknik pencahayaan, pengairan, atau masa panen.
“Memang ada penyalahgunaan karena demand tinggi tapi jangan menutup peluang medis. Kuncinya buat regulasi terikat, ketat,” ujar Musri, mencoba memberi saran kepada pemerintah.
Maju-Mundur Upaya Legalisasi Ganja
Hampir satu windu lamanya Musri bersama YSN dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) berjuang melegalisasi ganja lewat penelitian ilmiah. Mereka hendak meneliti ekstrak akar, bunga, dan biji ganja yang tumbuh di Indonesia sebagai alternatif obat diabetes. Supaya aman, usulan tersebut diajukan ke Kemenkes.
Dua tahun kemudian, tepatnya Januari 2015 Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek melalui ketua Balitbangkes yang saat itu dijabat oleh Yoga Tjandra Aditama menyetujui penelitian lewat Keputusan Menteri Kesehatan No. 118/2015.
Tapi berdasar Peraturan Menteri Kesehatan No. 132/2012, izin untuk memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan tanaman ganja hanya ada di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kemenkes di Tawangmangu, Solo. Tim peneliti juga harus mendapat persetujuan dari BNN.
“Kami lalu menyurati BNN namun tidak direspons hingga sekarang, bertemu pun sukar,” Musri menerangkan duduk perkara yang menghambat usaha penelitiannya.
Kemenkes dalam kasus ini setengah hati memberikan izin penelitian ganja. Padahal legalisasi dan pelarangan mestinya sama-sama didasari oleh studi yang teruji, bukan cuma kekhawatiran yang tak jelas tolak ukurnya.
Toh, Indonesia sejatinya sudah memberi izin jenis tanaman seperti opium untuk diolah menjadi morfin dan digunakan sebagai obat pereda nyeri. Artinya, tidak ada alasan untuk tidak melegalisasi ganja medis.
Editor: Windu Jusuf