tirto.id - Pemerintah Kanada bersiap melegalkan peredaran ganja. Dilansir dari BBC, pada Kamis (7/6) kemarin, Senat menyetujui pemberlakukan RUU C-45 yang secara garis besar isinya membolehkan ganja dipakai untuk hal-hal di luar kepentingan medis bagi mereka yang berusia di atas 18 tahun. Sebanyak 56 anggota mendukung RUU, 30 lainnya menolak, dan hanya satu yang abstain.
Dengan lolosnya RUU ini, Kanada bakal jadi negara anggota G7 pertama yang mengizinkan ganja diperjualbelikan khalayak ramai. Ada sekitar empat lusin perubahan yang dibuat Senat dalam RUU ganja. Namun, pemerintah harus menunggu selama 12 minggu ke depan untuk mengesahkan RUU ganja menjadi produk hukum karena RUU masih harus diserahkan ke House of Commons (sebuah komponen dalam parlemen Kanada) untuk dipertimbangkan lebih dulu.
Sedianya, mengutip The Guardian, undang-undang ganja tersebut nantinya bakal membagi peran dan tanggung jawab antara pemerintah federal dan provinsi. Ottawa mengatur sirkulasi produksi, sedangkan pemerintah provinsi mengatur bagaimana ganja didistribusikan dan dijual.
Pembahasan mengenai legalisasi ganja sudah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Senat melalui serangkaian studi dan diskusi. RUU ini juga didukung Perdana Menteri Justin Trudeau. Harapannya, RUU C-45 bisa diberlakukan mulai musim panas mendatang.
Menteri Keuangan Kanada, Bill Morneau, menyatakan bahwa salah satu tujuan legalisasi ganja adalah “membuat peredaran ganja keluar dari pasar gelap” serta “menyingkirkan para mafia yang bermain di sistem tersebut.”
Sementara anggota senat yang mensponsori RUU tersebut, Tony Dean, menyebut legalisasi ganja berarti juga dapat “menghindarkan anak-anak muda terhindari dari masalah” mengingat “pasar ganja ilegal punya nilai valuasi lebih dari $6 miliar per tahun.”
Upaya legalisasi ganja tidak bisa dilepaskan dari dorongan Trudeau dan Partai Liberal-nya. Sejak masa kampanye pada 2015 silam sampai menjabat, Trudeau, catat USA Today, konsisten mengampanyekan ganja sebagai barang yang sah dikonsumsi masyarakat.
“Ini tidak akan seperti membeli produk [bir] macam Budweiser,” terang Steve Rolls, analis Transform, lembaga think tank Inggris yang fokus pada isu obat-obatan. “Lebih mirip beli obat dari ahli kimia.”
Para analis menyatakan, dengan dibukanya pintu legalisasi ganja, Kanada diperkirakan bakal menarik investor dan perusahaan ganja di luar negeri, khususnya dari Amerika Serikat, yang selama ini merasa kesulitan beroperasi secara bebas karena berpotensi jadi target pemerintah federal. Alasannya: menjual ganja di AS bisa diartikan dengan aktivitas narkoba. Sebagai catatan, di AS, ganja baru dilegalkan secara penuh di sembilan negara bagian.
“Kanada menciptakan industri yang normal. Sedangkan apa yang kita lihat di Amerika adalah industri yang sangat tidak normal,” terang CEO BDS Analytics, firma data dan riset ganja, Roy Bingham. “Di Kanada, Anda bisa melihat ketika perusahaan tembakau, alkohol, dan farmasi begitu tertarik terlibat dalam pusaran bisnis ganja.”
Legalisasi ganja secara luas di Kanada ini menyusul capaian sebelumnya tatkala ganja diperbolehkan dalam rangka keperluan medis pada 2001.
Faktor Uang dan Upaya Menepis Stereotip
Selama ini, ganja kerap dipandang negatif masyarakat. Ia diasosiasikan dengan narkoba yang lebih banyak membawa dampak buruk. Namun, apabila ditelisik lebih jauh, ganja rupanya dapat memberikan manfaat—asalkan dikelola dengan baik dan benar.
Inang Winarso, Direktur Yayasan Sativa Nusantara (LGN), memaparkan tak ada yang sia-sia dari setiap bagian tanaman ganja; dari akar, batang, daun, bunga, bahkan sampai biji ganja. Masing-masing punya manfaat tersendiri. Ganja diidentifikasi memiliki 483 elemen kimia yang berbeda. Sebanyak 66 di antaranya disebut cannabinoid atau senyawa ganja yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat.
Selain cannabinoid, terdapat pula THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol). Zat ini memiliki efek analgesik (penghilang rasa sakit), sifat anti-spasmodik (menghilangkan kejang-kejang), anti-getaran, anti-inflamasi (mencegah pembengkakan), perangsang nafsu makan, dan anti muntah. THC juga diketahui bisa dipakai untuk mengurangi pertumbuhan tumor.
Zat lain yang terkandung dalam ganja adalah (E)–BCP (Beta-caryophyllene). Zat tersebut diyakini dapat digunakan sebagai pengobatan yang efektif untuk nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati), mual, osteoarthritis (penyakit sendi), sampai aterosklerosis (kondisi di mana dinding arteri menebal sebagai akibat dari kelebihan lemak seperti kolesterol).
“Ganja memiliki unsur-unsur medis yang mudah diterima oleh tubuh. Paling utama mampu memperbaiki sel-sel yang rusak, sehingga beberapa penderita kanker, radang, atau sel yang rusak bisa diremajakan,” tambah Inang.
Itu baru dari segi medis. Keberadaan ganja rupanya juga mampu menggenjot pendapatan daerah. Untuk poin satu ini, penelitian Colorado State University-Pueblo's Institute of Cannabis Research bisa dijadikan gambaran. Dalam penelitian mereka, seperti dilansir Forbes, legalisasi ganja menyumbang sekitar $58 juta untuk neraca perekonomian lokal.
Penelitian tersebut mengambil sampel daerah Pueblo County, Colorado, AS, yang melegalkan ganja secara luas pada Januari 2014. Dari pundi-pundi keuntungan itu, yang didapatkan dari pajak cukai ganja, pemerintah Pueblo County mampu menyediakan kesempatan beasiswa bagi 210 siswa senilai $420 ribu.
Jika diperluas lagi cakupannya, potensi keuntungan ekonomi ganja bisa mencapai angka yang fantastis. Riset bank investasi Cowen & Co., sebagaimana dilansir Bloomberg, legalisasi ganja di Amerika mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 200 ribu orang serta menghasilkan perputaran uang sebanyak $6 miliar pada 2016. Angka $6 miliar tersebut diperhitungkan bakal melonjak menjadi $50 miliar pada 2026.
Tak hanya mendongkrak ekonomi daerah, legalisasi ganja di Pueblo County juga menepis anggapan buruk yang melekat pada ganja sebagai sumber kejahatan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa legalisasi ganja tidak terbukti berkontribusi dalam peningkatan tunawisma maupun pemakaian ganja di kalangan remaja.
Senada dengan penelitian Institute of Cannabis Research, Mohammad Hajizadeh dalam “Legalizing and Regulating Marijuana in Canada: Review of Potential Economic, Social, and Health Impacts” (2016) yang dimuat International Journal Health Policy and Management menyimpulkan seandainya Kanada benar-benar melegalkan ganja, maka pemerintah berpotensi menghasilkan tambahan pajak pendapatan.
Di samping itu, catat Hajizadeh, keuntungan yang ditimbulkan dari pajak ganja bisa digunakan untuk mendukung program pendidikan dan kesehatan publik. Legalisasi juga diperkirakan bakal “menghapus elemen kriminal dari pasar ganja” serta “mengurangi pengaruh pasar gelap ganja di Kanada dan konsekuensinya bagi masyarakat.”
Namun, bukan berarti ganja terus memberikan dampak positif. Hajizadeh menggarisbawahi legalisasi ganja dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan masyarakat seperti potensi meningkatnya penggunaan narkoba, kecelakaan, dan cedera. Kendati demikian, imbas negatif itu bisa diminimalisir seandainya “pemerintah Kanada mengembangkan strategi tepat guna serta efektif dalam menjauhkan pengaruh ganja bagi anak usia di bawah umur” dan “meningkatkan edukasi maupun kesadaran mengenai efek berbahaya ganja.”
Menyusul yang Lain
Jika RUU legalisasi ganja betul-betul disahkan, Kanada praktis menyusul negara lain yang lebih dulu melakukan hal serupa.
Lima tahun yang lalu, Uruguay menjadi negara pertama yang melegalkan ganja secara menyeluruh. Ganja diperbolehkan dijual di apotek lokal meskipun jumlah pembeliannya dibatasi. Negara Amerika Latin lainnya, Peru, juga memperbolehkan ganja dipakai untuk kepentingan pribadi, keperluan medis, sampai produksi dan perdagangan.
Bergeser ke Eropa, di Spanyol, ganja hanya diizinkan untuk pemakaian pribadi. Kemudian di Belanda, ganja bisa dibilang ilegal. Tapi, pihak berwenang pada umumnya bakal menutup mata. Menjual ganja merupakan aktivitas “ilegal namun tidak dihukum.” Toko-toko diberi akses untuk berjualan selama mengikuti aturan yang ada—tidak memasang iklan dan menimbulkan gangguan.
Sementara di negara Eropa lainnya macam Jerman, Yunani, Kroasia, Finlandia, Turki, Republik Ceko, Swiss, Makedonia, dan Italia, masyarakat bisa memanfaatkan ganja jika ada resep medis dari dokter. Kemudian di Afrika, peredaran ganja baru dilegalkan di dua negara: Zimbabwe dan Lesotho. Untuk Lesotho sendiri, ganja malah menjadi penopang utama perekonomian negara.
Di Amerika, legalisasi ganja secara keseluruhan hanya berlaku di sembilan negara bagian (Alaska, California, Colorado, Maine, Massachusetts, Nevada, Oregon, negara bagian Washington, dan Washington DC). Empat puluh enam negara bagian lainnya masih membatasi penggunaan ganja untuk keperluan medis semata.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sampai tulisan ini dibuat, pemerintah masih melarang peredaran ganja, baik secara medis maupun untuk kebutuhan rekreasi-konsumsi. Sikap tegas pemerintah diejawantahkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja termasuk dalam narkotika golongan I. Disebutkan dalam undang-undang, narkotika golongan I bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan syarat memperoleh izin dari menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Tapi, bagi mereka yang ngeyel menggunakan ganja tanpa persetujuan menteri (menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan dalam bentuk tanaman), maka sesuai Pasal 111 UU Narkotika, dapat dipidana dengan penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun serta denda minimal Rp800 juta dan maksimal Rp8 miliar. Hukuman bakal meningkat apabila tanaman yang diproduksi beratnya melebihi satu kilogram.
Dampak adanya aturan tegas tersebut, menurut Inang, adalah tertinggalnya Indonesia dalam pemanfaatan ganja secara medis sebab para pihak terkait “takut ditangkap aparat.” Yang lebih buruk lagi, larangan ganja—sekalipun untuk pengobatan—bisa jadi membuat nyawa orang tak terselamatkan, seperti yang menimpa Yeni Riawati, istri Fidelis Arie, warga Sanggau, Kalimantan Barat, selepas pengobatan alternatif berbasis ekstrak ganjanya berhenti karena suaminya dicokok polisi.
Editor: Windu Jusuf