tirto.id - Hinca Panjaitan, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, mendesak Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyelenggarakan riset tentang ganja untuk medis.
"Menteri Kesehatan tebus kesalahan menteri lalu, lakukan riset," kata Hinca dalam diskusi bersama BNN dan LBH Masyarakat di VOI.id, Kamis (18/6/2020).
Dalam diskusi tersebut Hinca mengaku pernah mendesak hal serupa ke Menteri Kesehatan periode sebelumnya, Nila F. Moeloek, akan tetapi minim respons. Nila, kata Hinca, mengatakan penelitian yang patut dilakukan adalah yang menghasilkan keuntungan besar. "Kalau penelitian sudah mahal dan benefitnya kecil," kata Nila sepenuturan Hinca, "rugi dong."
Hinca bilang dia mengusulkan ini karena perdebatan soal ganja tak pernah diselesaikan lewat ranah medis. "Negara harus turun mengatakan apakah ganja ini baik untuk kesehatan atau tidak. Telitilah, Menteri Kesehatan punya tanggung jawab untuk itu," katanya menegaskan.
Hal serupa pernah didesak oleh anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Rafli. Bahkan ia mendesak lebih tegas lagi: memberikan akses legal agar ganja bisa diekspor ke luar negeri untuk kebutuhan medis. Hal tersebut ia katakan dalam rapat bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di DPR RI, 30 Januari lalu.
Menurutnya, di Aceh ganja tumbuh subur dan "kita dapat memanfaatkannya untuk diekspor ke luar negeri." "Manfaatnya sudah terbukti banyak, salah satunya di farmasi."
Pernyataan itu ramai direspons oleh publik dan menuai pro-kontra dari berbagai elemen masyarakat.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto. Menurut dia ganja Aceh sebaiknya diekspor untuk kepentingan medis, dikelola dan diawasi pemerintah. Pernyataannya sekaligus mengklarifikasi maksud Rafli yang menurutnya ditafsirkan keliru oleh sebagian pihak. "Ganja sebagai bahan baku untuk diolah menjadi obat, bukan ganja mentah yang dapat diselewengkan," katanya.
Ganja untuk Medis
Di Indonesia, ganja dipercaya dapat menyebabkan efek negatif bagi penggunanya, dan oleh karena itu mereka dapat dihukum kalau ketahuan aparat. Tanaman ini akhirnya dianggap tak berguna, tak bisa dikonsumsi dalam bentuk apa pun.
Namun, seiring dengan semakin banyaknya riset yang menunjukkan bahwa ganja adalah obat, termasuk untuk penyakit 'kelas berat', pandangan negatif ini perlahan berubah. Beberapa jajak pendapat menyimpulkan terjadi perubahan persepsi publik yang semakin memandang ganja secara positif.
Di sejumlah negara seperti Jerman, Portugal, dan Argentina, ganja boleh dikonsumsi dengan aturan-aturan yang ketat. Kepemilikan ganja dalam takaran ringan tak akan membuat orang dipenjara atau didenda. Di negara lain seperti Australia, Belgia, Perancis, Meksiko, Selandia Baru, Slovenia, Spanyol, dan Sri Lanka, ganja hanya legal untuk konsumsi medis. Sementara di Amerika Serikat, ganja legal di beberapa negara bagian.
Lingkar Ganja Nusantara (LGN), salah satu lembaga independen yang fokus kampanye pemakaian ganja untuk medis, mengatakan salah satu manfaat pengunaan ganja adalah bisa menjadi obat alternatif pengganti opioid--obat pereda rasa sakit yang terbuat dari tanaman opium seperti morfin.
"...legalnya ganja medis di beberapa negara di dunia telah menurunkan dosis harian penggunaan opioid sebesar 2.21 juta per tahun. Penurunan dosis harian penggunaan opioid mencapai 3.74 juta per tahun," tulis LGN dalam salah satu artikelnya, mengutip studi JAMA Internal Medicine.
Tak hanya itu, kata LGN, beberapa penyakit radang sendi, diabetes, hingga pengidap autisme mendapat manfaat positif dari ganja yang digunakan secara hati-hati dan bijak.
Beberapa warga Indonesia bahkan sempat menggunakan ganja untuk kebutuhan medis karena dianggap memiliki khasiat, seperti Reynhart Rossy Siahaan dan Fidelis. Namun, nasib mereka sial. Mereka dikriminalisasi.
Segera Lakukan Penelitian
Guru besar kimia dan biologi dari Universitas Syiah Kuala, Aceh, Musri Musman, mengatakan setidaknya ada 36 penyakit yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan yang memiliki campuran bahan kimia cannabinoid--yang berasal dari ganja.
"Contoh, misalnya kanker dan epilepsi. Sejauh ini masih 36 penyakit berdasarkan literatur dan publikasi," kata Musri saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (22/6/2020) sore. "Mungkin ada yang sedang melakukan kajian dan belum dipublikasikan hingga saat ini," tambahnya.
Lewat penelitian, ia mengatakan bagian-bagian yang ada pada ganja, seperti akar, kayu, dan serat, bisa digunakan untuk keperluan medis manusia.
Beberapa penelusuran yang pernah dilakukan oleh dirinya dan para akademisi lain perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah lewat penelitian. Dengan begitu tak akan ada lagi pernyataan seperti Menteri BUMN Erick Thohir yang kebingungan mengapa Indonesia sebagai negeri agraria namun bahan obat-obatan masih impor.
"Kalau potensi di dalam negeri digunakan, kebingungan seperti itu tak akan muncul," katanya.
Musri menilai stigma buruk kepada ganja karena pengetahuan tentangnya terbatas dan tidak dipublikasikan. "Pengetahuan pada saat itu untuk memanfaatkan ganja masih sangat terbatas," katanya. Karena itu sama seperti Hinca, ia menegaskan penelitian memang perlu dilakukan. Penelitian dapat dilakukan dengan pertama-tama membuat sebuah konsorsium atau tim yang berisi akademisi-akademisi lintas ilmu. Tentunya, semua dengan standar yang ketat.
"Sumbernya dari mana, siapa yang akan bertanggung jawab, siapa yang mengekstrasinya, dokter mana yang terlibat di dalam aplikasi medisnya, seperti itu. Agar bisa dipertanggungjawabkan secara akademik," katanya. "Beri kesempatan kepada ilmuwan-ilmuwan ini, silakan diawasi, pakai video, transparan, terbuka, agar bisa dipertanggungjawabkan."
Ia juga mendesak ke pemerintah agar semua regulasi yang memasukkan ganja dalam Golongan I Narkotika untuk segera dicabut.
"Kita salah satu penandatangan protokol tunggal penggunaan narkotika di seluruh dunia. Tapi negara-negara lain melegalkan. Kita jangan sampai ketinggalan untuk memanfaatkan potensi yang ada, apalagi untuk kebutuhan medis," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino